Aksi massa dari masyarakat Myanmar masih berlangsung hingga hari ini dalam rangka menolak kudeta junta militer Myanmar. Sikap represi militer dan minimnya keterlibatan aktor internasional mempersulit terjadinya proses de-eskalasi konflik. Melihat situasi ini, lantas apakah Myanmar akan menjadi failed states?
Myanmar saat ini berada pada status state of emergency atau keadaan darurat akibat kudeta yang dilakukan oleh militer Myanmar, Tatmadaw. Kudeta tersebut mengakibatkan aksi protes secara nasional dan telah melayangkan 560 nyawa, termasuk anak-anak.
Semua ini diawali dari hasil pemilu Myanmar yang berlangsung pada 2020 lalu. Militer melalui partainya Union Solidarity and Development Party (USDP) kalah telak dan hanya memperoleh kursi yang sedikit di parlemen. Militer menganggap partai yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, National League for Democracy (NLD), melakukan kecurangan pada pemilu.
Kudeta ini diawali dengan penahanan Aung San Suu Kyi, Presiden U Win Myint, beberapa menteri, oposisi politik, penulis dan aktivis. Jenderal Min Aung Hlaing, panglima tertinggi pemegang komando junta militer, adalah sosok yang memimpin Myanmar saat ini.
Setelah kudeta dilakukan, militer pun segera mengontrol infrastruktur, memberhentikan penyiaran televisi, menghentikan penerbangan domestik dan internasional, serta mematikan layanan internet dan telepon.
Aksi massa diawali dengan damai oleh masyarakat, seperti melakukan aktivitas kreatif untuk mengejek militer semata. Namun, eskalasi konflik meningkat secara progresif ketika dua warga sipil yang tidak memegang senjata terbunuh di tangan militer, salah satunya anak berumur 16 tahun.
Masyarakat menjalankan gerakan pembangkangan sipil untuk menolak kudeta. Rakyat sipil melawan militer dengan senjata seadanya dan melakukan pemogokan massal. Hingga saat ini, eskalasi konflik terus meningkat dan pelanggaran HAM oleh militer kian bertambah.
Melihat kondisi tersebut, apakah Myanmar akan menjadi failed states? Terlebih lagi kondisi Myanmar yang merupakan salah satu negara termiskin di regional Asia Tenggara dan pandemi yang berdampak pada ekonomi nasional.
Gejala Status Failed States
Negara gagal atau failed states berbeda konsepnya dengan negara berkembang atau negara lemah. Negara gagal memiliki keterbatasan kapabilitas dalam memerintah negaranya yang dipengaruhi oleh beberapa aspek.
William Zartman dalam bukunya Collapsed States: The Disintegration and Restoration of Legitimate Authority menjelaskan failed states dengan sederhana. Zartman mengatakan bahwa failed states merupakan kondisi negara yang tidak dapat menjalankan fungsi dasarnya. Fungsi tersebut berupa fungsi politik, ekonomi, sosial, keamanan dan sebagainya.
Senada dengan Stewart Patrick dalam tulisannya Weak States and Global Threats: Assessing Evidence of Spillovers, Ia menjelaskan bahwa failed states merupakan kegagalan negara dalam memenuhi fungsi kenegaraannya, yakni keamanan, legitimasi politik, institusi, manajemen keuangan dan kesejahteraan sosial. Negara dalam status failed states akan menimbulkan permasalahan humanitarian, legal dan keamanan.
Berangkat dari definisi tersebut, ada beberapa indikator yang dapat menentukan sebuah negara merupakan failed states atau bukan. Patrick mengatakan dari segi sosial, negara gagal untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya dan dari aspek ekonomi, negara tidak mampu menciptakan iklim ekonomi yang kondusif.
Jika dilihat dari aspek politik, negara tidak memperoleh legitimasi politik, akuntabilitas pemimpin, tidak menjamin keterlibatan publik dan hak dasar masyarakat. Dari sisi keamanan, negara gagal menciptakan rasa aman dan ketertiban umum.
Penjabaran ini selaras dengan Elaheh Koolaee dan rekannya melalui tulisannya Causes of the failure of the state in Syria (2010-2019). Koolaee menyebutkan ada tiga indikator failed states, yakni indikator sosial, ekonomi, serta politik dan keamanan.
Indikator tersebut dapat membantu kita lebih memahami apakah Myanmar ada di status failed states atau tidak.
Dalam konteks ekonomi, Myanmar merupakan negara termiskin di Asia Tenggara. Selama pemerintahan Aung San Suu Kyi, ekonomi Myanmar stagnan dan tidak ada peningkatan yang signifikan. Pendapatan Myanmar bergantung pada investasi asing, namun konflik mengancam investasi senilai miliaran.
Gerakan pembangkangan sipil juga mengakibatkan ribuan pekerja mogok kerja. Negara juga tidak menerima pendapatan karena pajak rakyat yang tidak dikumpulkan.
Secara politik, junta militer tidak memiliki legitimasi politik. Berdasarkan hasil pemilu 2020, Partai NLD telah memenangkan 85 persen atau 346 kursi di parlemen. Sedangkan USDP kalah telak karena hanya memperoleh 33 dari 476 kursi yang tersedia. Dari segi sosial, ribuan masyarakat Myanmar telah mengungsi ke Thailand. Thailand pun diprediksi akan menerima gelombang pengungsi dari Myanmar sehingga banyak pengungsi yang ditolak di perbatasan oleh aparat Thailand.
Selain itu, mogok kerja akibat pembangkangan sipil mengakibatkan operasional pelayanan publik tidak berjalan dengan maksimal. Seperti, pegawai kementerian dan pekerja bank sentral yang turun aksi. Polisi ikut mogok kerja karena menolak bekerja bersama militer.
Pun begitu dengan para tenaga medis di Myanmar . Alhasil dua per tiga rumah sakit di Myanmar yang menangani pasien Covid-19 tidak dapat beroperasi secara maksimal.
Dilihat dari aspek keamanan, junta militer gagal menciptakan rasa aman karena telah melakukan penangkapan semena-mena dan bertanggung jawab atas kematian lebih dari 500 orang akibat aksi represif militer. Gerakan pembangkangan sipil juga menjadi bukti bahwa militer tidak berhasil menciptakan ketertiban sosial di masyarakat.
Berangkat dari indikator tersebut, ada kecenderungan Myanmar menjadi failed state di masa depan. Terlebih, komunitas internasional masih belum berkontribusi secara siginifikan untuk menyelesaikan konflik di Myanmar.
Baca Juga: Arti Kudeta Myanmar Bagi Jokowi
Namun, dengan menjawab empat indikator tersebut sebenarnya tidak serta merta dapat mengategorikan Myanmar sebagai failed states. Perlu melihat aspek lainnya dalam melihat failed states pada Myanmar.
Robert Rotberg dalam tulisannya Failed States, Collapsed States, Weak States: Causes and Indicators, mengatakan ciri-ciri negara failed states adalah perang saudara. Negara dengan status failed states akan dihadapkan pada situasi di mana aparat keamanan pemerintah melawan angkatan bersenjata dari masyarakat sipil.
Untuk konteks Myanmar, hal ini tidak, atau belum terjadi. Sudah ada rencana untuk mewujudkan “federal army” yang merupakan formasi kelompok bersenjata dari berbagai etnis di Myanmar untuk melawan Tatmadaw. Namun, ide ini masih jadi perdebatan di publik.
Maka dari itu, walaupun keempat indikator menjawab gejala menjadi failed states, namun perlu dilihat aspek lainnya dalam melihat permasalahan tersebut. Dalam konteks Myanmar, perlu melihat aspek yang lebih luas. Berangkat dari pernyataan Rotberg, Myanmar belum dapat dikatakan failed states karena ketiadaan perang saudara. Setidaknya untuk saat ini.
Terpenting, dibutuhkan upaya yang signifikan dari masyarakat internasional untuk melakukan de-eskalasi konflik di Myanmar. Walaupun belum ada tindakan fisik yang signifikan, setidaknya masyarakat internasional mengecam tindakan Tatmadaw atas kudeta junta militer.
Ada beberapa aktor penting yang dapat membantu penyelesaian konflik di Myanmar. Namun, aktor krusial itu lebih memilih untuk bertindak pasif atau bahkan mendukung Tatmadaw. Kira-kira siapa aktor yang mendukung lengsernya Aung San Suu Kyi dan mengapa mereka bertindak demikian?
Dukungan Negara Super Power ?
Masyarakat internasional menunjukkan sikap empati atas krisis humanitarian di Myanmar dan menolak kudeta junta militer. Namun, ada aktor yang sebenarnya mendukung junta militer, seperti Rusia.
Rusia secara gamblang menujukkan dukungannya terhadap junta militer Myanmar. Rusia melalui Deputi Menteri Pertahanan Alexander Fomin hadir saat Hari Angkatan Besenjata pada 27 Maret lalu. Dalam pidatonya, Fomin menyatakan bahwa Rusia mendukung dan ingin menjalin persahabatan dengan Tatmadaw.
Aktor kedua yang diduga kuat mendukung kudeta Myanmar adalah Tiongkok yang notabene memiliki hubungan erat dengan Myanmar.
Tiongkok sebenarnya salah satu kunci utama dalam melaksanakan strategi de-eskalasi konflik Myanmar. Tiongkok sebagai salah satu investor terbesar Myanmar dapat melakukan embargo ekonomi untuk melukai perekonomian Myanmar. Hal ini dapat menjadi bahan untuk mengancam Tatmadaw agar menghentikan aksi kudeta junta militer.
Baca Juga: Ada Tiongkok di Drama Myanmar?
Namun, Tiongkok memilih untuk tidak ikut campur. Tiongkok berdalih bahwa konflik Myanmar merupakan masalah internal dan tidak perlu adanya intervensi dari pihak luar. Menteri Luar Negeri Rusia juga memiliki pandangan yang sama dengan Tiongkok.
Tindakan Rusia dan Tiongkok bukan tindakan “membantu” Myanmar semata. Berdasarkan tulisan Morgenthau yang berjudul Politics Among Nations, negara bertindak untuk mendapatkan power di mana hal itu dapat diukur melalui kekuatan ekonomi, militer, kultur dan lain sebagainya. Negara yang memiliki power dapat bertindak untuk mencapai kepentingan nasionalnya.
Berangkat dari pemikiran realis Morgenthau, ada harapan hubungan timbal balik dari tindakan Rusia dan Tiongkok terhadap Myanmar. Rusia dan Tiongkok adalah negara super power yang memiliki power melalui kekuatan ekonomi dan militernya. Dengan power tersebut,maka negara dapat mencapai kepentingan nasionalnya.
Rusia yang memiliki power dalam militer memiliki kepentingan bisnis alutista dengan Myanmar. Dukungan terhadap Tatmadaw menguntungkan Rusia secara finansial karena Myanmar merupakan pelanggan setia bagi Rusia untuk penjualan alutista. Myanmar dan Rusia memiliki hubungan militer yang kuat terlihat ketika Myanmar secara berkala juga mengirimkan aparat dan kandidat militer untuk sekolah di Rusia
Tiongkok merupakan negara yang memiliki power ekonomi yang besar, sehingga dapat menggunakannya untuk memperoleh kepentingan nasional melalui Myanmar. Embargo ekonomi atas Myanmar dari negara luar dapat menjadi peluang bagi Tiongkok. Ini menimalisir kompetisi ekonomi dan dapat melaksanakan agenda ekonominya lebih leluasa di Myanmar.
Tiongkok dan Myanmar juga memiliki proyek bersama demi kelancaran proyek One Belt One Road Tiongkok melalui konstruksi China-Myanmar Economic Corridor. Ini menunjukkan bahwa Myanmar dan Tiongkok memiliki hubungan ekonomi yang baik dan ada hubungan timbal balik di antara keduanya.
Pada kesimpulannya, konflik yang berlangsung di Myanmar mungkin saja membawa Myanmar menuju failed states. Namun, label failed states masih terlalu dini untuk mendeskripsikan Myanmar saat ini karena konflik baru terjadi selama dua bulan dan diperlukan variabel lainnya dalam menganalisa hal tersebut.
Selain itu, Rusia dan Tiongkok dapat menjadi kunci utama untuk melakukan de-eskalasi konflik di Myanmar. Namun, kedua negara menunjukkan dukungan terhadap Tatmadaw dan sepertinya memperoleh kepentingan nasional di dalam konflik Myanmar. (R66)