HomeNalar PolitikMusuh Itu Bernama Neolib

Musuh Itu Bernama Neolib

Bermula dari campur tangan pihak asing terhadap penetapan amandemen UUD 1945 kemudian ada isu radikalisme yang ternyata ‘diboncengi’ neoliberalisme (neolib). Ini menjadi bukti bahwa musuh Indonesia yang sebenarnya adalah neolib.


PinterPolitik.com

“…..Demokrasi Liberal adalah demokrasi dengan politik rongrong-merongrong, rebut merebut, jegal menjegal dan fitnah memfitnah…..”   (Soekarno)

[dropcap size=big]R[/dropcap]upanya Indonesia telah masuk radar Amerika sebelum mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Presiden Lyndon Johnson menyatakan kekayaan alam Indonesia yang melimpah sebagai alasan Amerika mendekati dan “membantu” Indonesia (Johnson Library: 1967). Akan tetapi, hasrat untuk mengelolah kekayaan alam Indonesia baru tercapai saat Soeharto berkuasa.

Pada tahun 1967 pula Undang-Undang Nomor 1 tentang Penanaman Modal Asing disahkan pemerintah. Perusahaan asal Amerika, Freeport merupakan korporasi asing pertama yang memanfaatkan undang-undang tersebut. Pada tahun 1980-an Indonesia melakukan liberalisasi sektor keuangan dan perbankan secara siknifikan, khususnya setelah keluar Pakto 88 melalui tangan Trio RMS (Radius-Mooy-Sumarlin).

Di awal 1990-an, Indonesia sangat menggalakkan investasi asing dan swasta untuk menggenjot pertumbuhan. Akibatnya hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak dari US$ 1,8 miliar pada tahun 1975 menjadi US$ 18,8 pada 1990. Tujuh tahun kemudian hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak 4,5 kali lipat menjadi US$ 82,2 miliar. Beban hutang yang sangat besar inilah yang membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap krisis dan meledak pada pertengahan 1997 (Muttaqin: 2002).

Sementara itu tekanan beban hutang Orde Baru mendorong pemerintah melakukan privatisasi sejumlah BUMN di pasar modal Indonesia dan internasional sejak tahun 1991 hingga 1997. Dana hasil privatisasi pada periode tersebut sebagian digunakan untuk membayar cicilan hutang pemerintah (Muttaqin: 2008). Indonesia juga terlibat dalam liberalisasi perdagangan dan pasar bebas khususnya setelah bergabung dengan World Trade Organization (WTO), APEC, dan AFTA.

Kebijakan neolib di Indonesia semakin tidak terkendali dengan masuknya IMF dalam penataan ekonomi sejak akhir 1997. Melalui kontrol yang sangat ketat, IMF memaksa Indonesia menjalankan kebijakan neolib, termasuk menalangi hutang swasta melalui BLBI dan merekapitalisasi sistem perbankan nasional yang tengah ambruk dengan biaya Rp 650 trilyun. Momen ini juga dimanfaatkan Bank Dunia, ADB, USAID, dan OECD untuk meliberalisasi ekonomi Indonesia melalui program pinjaman yang mereka berikan.

Suharto saat menandatangani kesepakatan dengan IMF, disaksikan oleh Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus (Foto: media.viva.id)

Pemerintahan neolib di Indonesia telah berlangsung sejak kekuasaan Orde Baru hingga saat ini. Sepanjang itu, pemerintahan neolib mengukir prestasi meningkatkan hutang negara dua kali lipat dalam waktu 10 tahun dari US$ 67,3 miliar menjadi US$ 65,7 miliar untuk hutang bilateral/multilateral dan Rp 972,2 trilyun dalam bentuk hutang obligasi. Karenanya, pemerintahan Soerharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY-JK dan Jokowi-JK menjadi bagian tidak terpisahkan dari penerapan kebijakan ekonomi neoliberal.

Baca juga :  Betulkah Jokowi Melemah? 

Amandemen UUD 1945 Ditunggangi Kepentingan Neolib

Di era Reformasi, amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan empat kali menimbulkan banyak prasangka. Amandemen tersebut dianggap bukan proses melengkapi UUD 1945 agar senapas dengan kemajuan jaman, namun diklaim sebagai upaya mengotak-atik isinya dan membuang segala fondasi UUD 1945 yang berbau anti-kolonialisme dan pro-kesejahteraan rakyat. Amandemen justru menjadi “kuda tunggangan” agenda neolib dan neo-kolonialisme.

Ditemukan ada campur tangan asing dalam sidang MPR mengenai amandemen UUD 1945. Pihak asing itu adalah NDI (National Democratic Institute). NDI merupakan Lembaga Swadaya Masyarakata (LSM) yang berasal Amerika Serikat. NDI memang memiliki program Constitutional Reform yang salah satunya menargetkan Indonesia. Di Indonesia, NDI mengucurkan dana hingga $4,4 miliar untuk mendanai proyek legislasi. Tak hanya itu, untuk memberi akses legislasi secara terbuka, NDI mendapat fasilitas di Badan Pekerja (BP) MPR sehingga agen NDI dengan mudah mengikuti rapat-rapat di MPR. Hasilnya adalah lahirlah UU Migas, UU Listrik, UU PMA, UU Perburuhan, UU Migas, serta produk hukum lainnya yang pro kapitalisme.

Keterlibatan pihak asing dalam amandemen UUD 1945 juga tercium oleh Salamuddin Daeng, peneliti dari Institute For Global Justice (IGJ). Menurut Daeng, seluruh rencana amandemen terhadap UUD 1945 tercantum dalam puluhan Letter Of Intent (LOI) dan Memorandum of Understanding (MOU) antara pemerintah Indonesia dengan International Monetery Fund (IMF). Di dalam puluhan LOI dan MOU tersebut berisi perintah tentang pasal mana saja yang mesti diubah dalam UUD 1945. Jadi, menurut Daeng, desakan amandemen konstitusi tidaklah murni dari dalam, yakni kehendak rakyat, melainkan karena ada kepentingan asing untuk menjalankan liberalisasi di Indonesia.

Salah satu aksi unjuk rasa melawan neolib di Indonesia (Foto: Viva.co.id)

Hal serupa dinyatakan oleh tokoh nasional Rizal Ramli. Rizal menyatakan banyak titipan kepentingan IMF dan Bank Dunia dalam empat kali amandemen uud 1945. Begitu juga dengan penyusunan UU di bawahnya, banyak yang disponsori lembaga-lembaga asing. Setelah amandemen terhadap UUD 1945, pekerjaan IMF dilanjutkan oleh Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB), yang mensponsori lahirnya sejumlah perundang-undangan yang berbau neolib.

 Neolib Merongrong Pancasila

Posisi pancasila sebagai falsafah negara Indonesia akhir-akhir ini terancam oleh kemunculan isu radikalisme maupun intoleransi. Hal ini menyebabkan pemerintah menetapkan Perpu Ormas dan mengundang para jendral ke istana guna membahas upaya untuk kembali menegakkan nilai-nilai pancasila. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan di sini adalah apakah benar radikalisme yang merongrong pancasila? Atau hanya sekedar pengalihan isu politik? Atau bisa jadi ada neolib di belakang isu radikalisme?

Baca juga :  Connie: From Russia with Love

Kebijakan neolib selalu dibungkus secara apik sebagai bentuk kebohongan publik untuk menghindari protes dari masyarakat. Misalnya, globalisasi dan pasar bebas digemba-gemborkan sebagai jalan menuju kemakmuran atau privatisasi dianggap sebagai upaya untuk memperluas kepemilikan masyarakat. Dalam situasi Indonesia, kebijakan neolib yang korup dibungkus secara apik melalui pembangunan infrastruktur sedangkan mengenai isu radikalisme dianggap sebagai salah satu bentuk kamuflase neolib. Kenyataan menunjukkan bahwa paham neolib membawa implikasi yang merugikan bagi keadilan sosial dan kesejahteraan umum seluruh komponen rakyat Indonesia. Hal ini tentu saja bertentangan dengan pancasila.

Secara ideologis, pancasila mempunyai tujuan untuk menghapus neolib dari Indonesia. Sebagai ideologi perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan global, pancasila seringkali juga mengalami reduksi dalam sejarah kenegaraan karena sering diabaikan oleh rezim penguasa. Parahnya lagi pasca era reformasi pancasila tersungkur dengan bebas masuknya paham neolib.

Neolib dinilai bertentangan dengan sila-sila dalam pancasila. Yang pertama, dalam sila kedua, paham neolib menggerus nilai-nilai kemanusiaan dan konsep keadilan. Hal ini terlihat lewat proyek-proyek ekonomi Amerika di Indonesia lebih banyak merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan segelintir orang. Yang kedua, dalam sila ketiga, paham neolib memecahbelahkan persatuan di Indonesia. Usaha itu dilakukan dengan memboncengi radikalisme untuk merongrong pancasila dan keutuhan NKRI. Yang ketiga, dalam sila keempat, paham neolib yang menekankan kebebasan individu bertentangan dengan konsep demokrasi yang mengutamakan musyawarah dan mufakat. Hal ini terlihat dalam campur tangan pihak IMF, ADB, NDI dan Bank Dunia yang mencampuri keputusan MPR dalam menentukan amandemen UUD 1945 pasca reformasi. Yang keempat, dalam sila kelima, paham neolib bertentangan dengan konsep keadilan yang menyeluruh bagi seluruh masyarakat. Hal ini terlihat dalam proyek eksploitasi alam yang dilakukan PT. Freeport di Papua yang hanya menguntungkan Amerika secara sepihak dan menelantarkan masyarakat setempat.

Melihat arah sistem demokrasi Indonesia yang belum menemukan arah yang pasti dan sistem ekonomi yang masih bergantung pada intervensi Amerika yang berbau neolib, maka kesenjangan ekonomi dan sosial masih akan tetap berlangsung. Amandemen UUD 1945 yang digadang-gadang sebagai revolusi bagi UUD 1945 yang asli, justru melunturkan  fondasi UUD 1945 yang berbau anti-kolonialisme dan pro-kesejahteraan rakyat.  Selain itu, isu radikalisme ternyata dipakai oleh neolib untuk mengoyang posisi pancasila yang dinilai menghambat kerjanya di Indonesia. Dengan demikian, aktor belakang layar yang selama ini merongrong pancasila dan UUD 1945 adalah neolib. Bagaimana pendapat anda? (dari berbagai sumber/K-32)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

PDIP dan Gerindra Ngos-ngosan

PDI Perjuangan dan Gerindra diprediksi bakal ngos-ngosan dalam Pilgub Jabar nanti. Ada apa ya? PinterPolitik.com Pilgub Jabar kian dekat. Beberapa Partai Politik (Parpol) pun mulai berlomba-lomba...

Arumi, ‘Srikandi Baru’ Puan

Arumi resmi menjadi “srikandi baru” PUAN. Maksudnya gimana? PinterPolitik.com Fenomena artis berpolitik udah bukan hal baru dalam dunia politik tanah air. Partai Amanat Nasional (PAN) termasuk...

Megawati ‘Biro Jodoh’ Jokowi

Megawati tengah mencari calon pendamping Jokowi. Alih profesi jadi ‘biro jodoh’ ya, Bu? PinterPolitik.com Kasih sayang dan pengorbanan seorang ibu laksana lilin yang bernyala. Lilin...