Dengarkan artikel ini:
Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong mengakui bahwa agensi dari Singapura menyepakati perjanjian ekslusivitas dengan Taylor Swift. Mengapa menjadi sulit untuk Taylor bisa ke Indonesia di masa mendatang?
“I think I’ve seen this film before and I didn’t like the ending” – Taylor Swift, “exile” (2020)
Mungkin, banyak orang pernah baru merasa sadar atau baru teringat ketika tengah menonton sebuah film lama. “Sepertinya, aku pernah menonton film ini,” pungkas diri bila melihat lagi film tersebut.
Namun, tidak semua film memiliki akhir yang bahagia. Ada sejumlah film yang berakhir dengan ending yang sedih, misal dengan akhir perpisahan.
Salah satu film dengan akhir sedih mungkin adalah La La Land (2016). Dalam film tersebut, Seb dan Mia yang memiliki mimpi yang berbeda jalur dan berbeda tempat ini akhirnya harus berpisah meski memiliki perasaan cinta pada satu sama lain.
Mungkin, perpisahan dan perasaan sedih karena tidak bisa bertemu seperti inilah yang juga dirasakan oleh para penggemar Taylor Swift yang mana turut melantunkan lagu “exile” (2020). Para Swiftie – sebutan untuk penggemar Taylor – terpaksa menerima kenyataan bahwa Taylor tidak akan mengadakan konser di Indonesia dalam turnya yang bertajuk The Eras Tour.
Namun, sadar atau tidak, terdapat sejumlah faktor politis yang turut mempengaruhi hilangnya mimpi para Swiftie Indonesia. Di sela-sela KTT ASEAN-Australia 2024 di Melbourne, Australia, Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong mengakui hal ini.
Saat ditanya oleh wartawan, Lee mengatakan bahwa kesepakatan yang dibuat oleh Singapura dan Taylor tidak dimaksudkan untuk merugikan negara-negara tetangganya. Menurutnya, itu hanyalah sebuah kesepakatan yang menguntungkan dua belah pihak, baik Singapura maupun Taylor.
Pertanyaan-pertanyaan soal Taylor ini bermula dari klaim PM Thailand Srettha Thavisin yang mengatakan bahwa Singapura melakukan taktik “cerdik” dengan membuat kesepakatan yang melarang Taylor untuk melakukan tur di negara-negara Asia Tenggara selain Singapura.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) RI Sandiaga Uno-pun turut mengomentari persoalan ini. Sandi menilai bahwa ini bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia agar lebih bisa menangkap peluang Swiftnomics di masa mendatang.
Namun, mengapa Singapura yang akhirnya bisa membujuk Taylor untuk menggelar konser The Eras Tour-nya? Mengapa sulit bagi Sandi dan pemerintah Indonesia untuk melakukan hal serupa?
Swifties “Haji” ke Singapura Demi Taylor Swift?
Mungkin, sejumlah pihak bertanya-tanya: Mengapa Taylor tidak mampir ke Indonesia? Jumlah Swiftie jugalah tidak kecil di Indonesia. Bukannya ini bisa jadi pasar menjanjikan bagi Taylor?
Well, persoalan ini tidak sesederhana itu. Pasalnya, Asia Tenggara merupakan kawasan yang disebut memiliki jumlah Swifties terbanyak di dunia.
Berdasarkan data tangga lagu, Taylor kerap berada di puncak di sejumlah negara Asia Tenggara, mulai dari Filipina, Singapura, Malaysia, hingga Indonesia. Tentu saja, bagi Taylor, mengadakan tur ke Asia Tenggara merupakan sebuah kewajiban.
Namun, bagi Taylor, perhelatan konser bisa menjadi lebih efisien bila dilakukan dalam satu tempat. Belum lagi, keuntungan lebih bisa didapatkan melalui kesepakatan yang ditawarkan oleh Singapura.
Sejalan dengan rational choice theory, opsi untuk hanya berkonser di Singapura bisa menjadi pilihan yang paling menguntungkan. Apalagi, Swifties bukanlah penggemar biasa.
Layaknya komunitas penggemar pada umumnya, para Swifties bisa dinilai sangat setia pada idolanya. Namun, ada satu hal yang membuat Swifties berbeda. Mereka bisa dibilang menjadi komunitas penggemar yang paling berdedikasi dan berjumlah besar.
Fenomena Swifties ini bisa dijelaskan dengan konsep collective effevescence dari Émile Durkheim. Konsep ini menjelaskan bahwa sebuah komunitas biasanya bisa berkomunikasi dalam satu pikiran dan berpartisipasi dalam satu tindakan sehingga mempersatukan mereka sebagai sebuah komunitas.
Dalam beberapa laporan media, banyak Swifties rela menghabiskan ribuan dolar Amerika Serikat (AS) hanya untuk bisa menonton konser Taylor di Singapura. Reuters, misalnya, menyebutkan bahwa ini semacam “haji” bagi para Swifties,
Ekonom di Maybank, Chua Hak Bin, juga memperkirakan bahwa tujuh dari 10 penonton konser Taylor di Singapura justru berasal dari luar negeri. Tentu, Taylor tidak perlu takut akan kehilangan pasar yang besar dalam keputusannya untuk berkonser hanya di Singapura.
Namun, mengapa Singapura? Bisakah hal yang sama dilakukan oleh Sandi dan pemerintah Indonesia untuk membujuk Taylor?
The Chokepoint Destiny: Mustahil untuk Indonesia?
Sebagai orang Indonesia yang melihat hilangnya peluang agar Taylor mampir, tentu perasaan sedih dan kecewa muncul. Namun, pertanyaan lanjutanpun kemudian muncul: Bisakah Indonesia melakukan hal yang sama seandainya menjalankan strategi ala Singapura?
Jawabannya bisa jadi tidak. Lho, mengapa demikian? Mungkin, ini terkesan aneh tetapi alasannya adalah takdir.
Singapura bisa dibilang mampu memanfaatkan keuntungan atas lokasi geografisnya. Terletak di Selat Malaka, Singapura menjadi salah satu negara dengan pelabuhan terbesar di chokepoint.
Sejalan dengan penjelasan Maria Zanchetta dalam tulisannya yang berjudul Maritime Geopolitics and the Role of Port Cities and International Straits in a Multilateral Context, chokepoints menjadi salah satu titik bumi yang penting karena turut menentukan sejarah global (global history) melalui salah satunya perdagangan.
Wong Lin Ken dalam tulisannya yang berjudul The Strategic Significance of Singapore in Modern History menjelaskan bagaimana Singapura memiliki lokasi yang strategis secara geopolitik sejak Britania (Inggris) Raya dan Prancis saling berebut pengaruh di India di era kolonial.
Lokasi ini akhirnya berdampak pada Singapura yang akhirnya menjadi kota pelabuhan yang strategis. Singapura menjadi pusat perdagangan yang mendominasi chokepoint Malaka.
Dengan dominasi ini, tentunya aliran kapital juga meningkat. Ini membuat Singapura menjadi penting dalam perdagangan global.
Aliran kapital ini juga membuat pemerintah Singapura memiliki modal lebih untuk menjalankan kebijakan-kebijakannya. Layaknya efek domino, infrastruktur yang baik dan memadai turut terbangun.
Alhasil, mobilitas manusia yang melalui Singapura juga semakin tinggi, menciptakan permintaan yang lebih banyak untuk perjalanan udara. Ini menjadi salah satu alasan yang menyebabkan Bandara Internasional Changi menjadi salah satu bandara dengan penerbangan internasional terbanyak di dunia – bahkan nomor satu di Asia Tenggara.
Perkembangan-perkembangan sejarah bagaimana Singapura mendominasi chokepoint Malaka ini bisa dibilang turut berkontribusi terhadap kemajuan Singapura. Dan, bukan tidak mungkin, ini juga yang membuat Singapura menjadi salah satu negara yang paling “seksi” untuk konser Taylor.
Lantas, mungkinkah Indonesia bisa merebut dominasi ini dari Singapura? Well, tidak ada yang tidak mungkin. Siapa tahu suatu hari nanti Taylor akhirnya lebih tertarik untuk konser di Indonesia?
Namun, pertanyaannya, bisakah upaya menjadi dominan di Malaka diwujudkan dalam waktu dekat? Mungkin, pertanyaan ini masih butuh bertahun-tahun untuk bisa dijawab sepenuhnya. (A43)