HomeNalar PolitikMustahil PDIP Hindari Kejatuhan?

Mustahil PDIP Hindari Kejatuhan?

PDIP seolah terus “menabung” impresi dan preseden minor akibat berbagai isu kontraproduktif terhadap citra maupun reputasi partai, termasuk isu rasuah yang menjerat para kadernya. Lantas, mungkinkah keterpurukan bagi PDIP akan menjadi sebuah keniscayaan pada kompetisi politik yang akan datang?


PinterPolitik.com

Bara kasus korupsi bantuan sosial atau bansos eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara, terus menyala. Laporan Koran Tempo yang memunculkan narasi baru dengan sebuah istilah menarik, yakni “madam”, seolah menjadi hembusan angin yang membuat sorotan pada kasusnya tak akan padam begitu saja dari perhatian publik.

Madam sendiri, sebagaimana dilaporkan Tempo, mengacu kepada petinggi atau elite di PDIP. Ihwal yang kemudian tampak direspons Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan memanggil anggota DPR dari Fraksi partai berlambang kepala banteng, Ihsan Yunus pada Rabu lalu, meski dirinya kemudian mangkir.

Terlepas dari pro-kontra terkait optimisme terhadap KPK yang dipertanyakan apakah akan menuntaskan kasus tersebut hingga ke akarnya, tetap eksisnya sorotan pada kasus suap itu di saat yang sama tampak semakin menggerus citra dan reputasi PDIP.

Bahkan belakangan, sorotan bertendensi minor itu seolah semakin tajam, saat beriringan dengan rilis terbaru Transparency International mengenai indeks persepsi korupsi di Indonesia yang mengkhawatirkan.

Peringkat Indonesia anjlok cukup parah ke urutan 102 dari 180 negara, dari sebelumnya di peringkat 85 pada tahun 2019.

Transparency International sendiri dalam rilis itu mengkaji korelasi antara tingkat korupsi dan respons negara-negara terhadap pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Dikaji pula bagaimana korupsi telah berdampak pada reaksi banyak negara dalam hal investasi pada sistem kesehatan dan penanggulangan krisis kesehatan.

Baca juga: Madam Bansos, Mungkinkah PDIP Dibubarkan?

Selain itu, ditelisik juga mengenai sejauh mana konteks korupsi berhubungan dengan bagaimana norma dan lembaga demokrasi bekerja, dalam artian diperkuat atau justru dilemahkan selama pandemi.

Satu yang dikedepankan dan menjadi tajuk utama rilis itu ialah “2020 has shown corruption can kill people” atau tahun 2020 telah menunjukkan bahwa korupsi dapat membunuh manusia.

Dan kembali lagi, secara khusus kombinasi realita di atas juga secara tidak langsung tampak menambah keras hantaman isu korupsi kepada PDIP, yang semakin mengguncang dan mulai menyasar sejumlah elitenya. Plus, ditambah akumulasi dari isu-isu minor lain mengenai PDIP selama ini.

Lalu, dengan serangkaian isu dan preseden negatif yang terus menumpuk dan menggerus citranya, mungkinkah dalam kontestasi elektoral kelak PDIP dapat bertahan dan tetap berjaya? Atau justru sebaliknya?

Jeratan Siklus Kekuasaan

Sekali lagi, tak dapat dipungkiri bahwa berbagai isu yang menerpa hingga sejauh ini membuat pamor PDIP tampak di ujung tanduk. Sebuah torehan sejarah yang kiranya akan cukup kelam bagi PDIP, dan seolah berbanding terbalik dengan alasan yang dahulu membawa parpol besutan Megawati Soekarnoputri itu berjaya saat ini di kekuasaan.

Ketika berbicara konteks sejarah, ihwal itu sendiri sejatinya tidak linier, melainkan seperti sebuah siklus yang terus berulang. Paling tidak itulah yang dikatakan oleh filsuf Prancis Michel Foucault.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Jika diaplikasikan secara politik dan kekuasaan, postulat itu sendiri tampak selaras dengan konsep “sirkulasi elite” yang dikemukakan oleh filsuf dan sosiolog Italia, Vilfredo Pareto. Konsep tersebut menjelaskan bahwa dalam setiap era, akan selalu ada sirkulasi atau perputaran elite. Baik elite yang satu digantikan oleh elite yang lainnya, maupun aktor atau pihak non-elite yang justru menggantikan elite yang tengah berkuasa.

Memang sejak pemilu langsung bergulir di Indonesia, perputaran kekuasaan politik tanah air dapat dibaca dengan cukup jelas. Pada case menurunnya tendensi kepercayaan publik pada PDIP saat ini, seolah tampak mengulangi apa yang terjadi pada Partai Demokrat dahulu.

Baca juga: Dari Munir, Nazaruddin, hingga Harun Masiku

Seperti halnya PDIP kini, permasalahan rasuah juga menjadi faktor yang dinilai paling signifikan dalam penurunan tajam pamor, kepercayaan publik, hingga elektabilitas Partai Demokrat yang notabene juga merupakan partai penguasa selama dua periode.

Efek preseden minor itu langsung tergambar di hasil pemilu legislatif tahun 2014, di mana Demokrat dengan mudah tersalip oleh parpol lain, serta kemudian hanya menjadi parpol papan tengah hingga kini.

Dari situ, tampak bagaimana sirkulasi elite bekerja, ketika di era berkuasanya Demokrat, tak ada yang menyangka bahwa PDIP akan mengampu kekuasaan dengan level “cengkraman” seperti yang terjadi saat ini.

Namun dengan berbagai akumulasi citra dan preseden kontraproduktif PDIP saat ini, plus dengan ekspos media dan sorotan publik yang masif, bukan tidak mungkin pada kontestasi elektoral 2024 kelak, PDIP akan larut dalam sirkulasi yang pernah dialami Partai Demokrat di masa silam.

Lalu pertanyaannya, apakah variabel itu memang cukup untuk mengatakan bahwa PDIP akan terjerembab di 2024?

Tak Adaptif, Titik Terlemah PDIP?

Kalkulasi memang harus dengan cermat dimainkan oleh setiap parpol demi strategi terbaik pada pesta demokrasi tahun 2024. Satu hal yang tampaknya menjadi vital ialah bagaimana strategi yang ada dapat bermuara pada rengkuhan dukungan dari kalangan pemilih milenial dan generasi Z yang akan mendominasi pemilih tiga tahun mendatang.

Namun sayangnya, ketika berbicara karakteristik pemilih yang punya persentase cukup besar tersebut, PDIP agaknya kurang memiliki prospek yang baik.

Dalam Gen Z, Millennial voters embrace activism and voting, Michelle Lee menjelaskan bahwa terdapat antusiasme dari kalangan milenial dan generasi Z ketika media sosial – sebagai platform paling berpengaruh dalam kesehariannya – menjadi battleground menarik atas diskursus dan aktivisme politik yang terkait erat dengan kehidupan mereka.

Para pemilih muda juga dikatakan telah sangat memahami bahwa kehidupan sipil mereka begitu erat dengan politik dan itu merupakan sebuah hal yang harus diaktualisasikan, seperti bersikap kritis, memprotes, hingga memberikan pilihan dalam pemilu.

Ketika berangkat dari media sosial dan korelasinya dengan bagaimana milenial dan generasi Z melihat dinamika politik dan pemerintahan yang ada, jika diamati atmosfer skeptisme cenderung membayangi PDIP dalam sejumlah isu kekinian.

Baca juga :  PDIP and the Chocolate Party

Misalnya kekecewaan atas transformasi Presiden Jokowi dan PDIP yang tadinya dianggap merakyat namun kini justru sebaliknya. Lalu intrik di internal PDIP yang kerap menimbulkan kesan drama-drama yang tidak perlu, seperti pada kasus kritik Masinton Pasaribu, Rieke Diah Pitaloka, hingga Ribka Tjiptaning, plus persoalan dan diskursus mengenai meritokrasi dan regenerasi parpol.

Baca juga: Ribka-Jokowi, Drama Vaksin PDIP?

Problematika terakhir lantas jamak dinilai menjadi pangkal “benalu” dari sekian masalah sebelumnya, yang mana tampaknya juga telah cukup dipahami oleh kalangan milenial maupun generasi Z saat ini.

Sepertinya tepat ketika Fareed Zakaria dalam Meritocracy is Under Attack menyebut bahwa meritokrasi menjadi ihwal yang sedang dalam bahaya. Idealisme meritokrasi dikatakan terus dikerdilkan dengan argumen dan tendensi negatif seperti tertutup dari inovasi maupun adaptasi, sampai lekat dengan elitisme dan ketidaksetaraan.

Kenyataannya, urgensi aspek adaptif dan kompetitif dalam dinamisnya persaingan yang disebutkan Michael E. Porter dalam The Competitive Advantage of Nations, kiranya dapat diadopsi ke dalam politik, dan lebih spesifik pada bagaimana seharusnya PDIP menyongsong persaingan politik ke depan.

Seperti yang secara luas telah diketahui, Megawati tampak masih memegang kendali absolut dengan “veto”-nya, atas berbagai keputusan di PDIP yang tak jarang menghambat regenerasi serta progresivitas partai.

Fenomena ini juga sekaligus dapat menggambarkan bagaimana fenomena gerontokrasi tengah terjadi dalam konteks internal PDIP. Gerontokrasi sendiri merupakan kepemimpinan parpol yang dikendalikan dan bertumpu pada figur-figur tua dengan pemikiran yang konservatif.

Hal ini pernah disinggung oleh peneliti politik, Nico Hardjanto, yang menilai masih ada parpol di Indonesia dengan gambaran yang demikian, dan kemungkinan besar mengarah pada PDIP.

Padahal jika berkaca pada parpol lain saat ini, regenerasi dan rebranding tengah digencarkan, seperti yang telah dilakukan Partai Demokrat, PKS, hingga yang terbaru PPP dengan kepengurusan barunya.

Karenanya, variabel itu seolah meningkatkan probabilitas terdegradasinya PDIP, baik secara pamor maupun elektabilitas kelak di kancah politik nasional.

Persoalan rasuah bansos yang masih terus bergulir, hingga yang masih misteri seperti kasus Harun Masiku dinilai menjadi diskursus pengiring yang kiranya juga cukup berkontribusi bagi momentum “giliran” PDIP dalam sirkulasi elite seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Kendati demikian, sesungguhnya rakyat tak menginginkan terulangnya siklus yang sama dalam konteks kekuasaan dan pemerintahan maupun parpol sebagai penyambung lidah mereka.

Oleh sebab itu, aktor dan pihak manapun yang meneruskan tampuk kekuasaan kelak, diharapkan benar-benar dapat belajar dari kesalahan dan kemudaratan yang ada, untuk kemudian mengartikulasikannya ke dalam perilaku politik yang positif dan konstruktif bagi kepentingan rakyat. (J61)

Baca juga: Berani KPK Periksa Megawati Soal Bansos?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?