Dengarkan artikel berikut
Usai pengumuman KPU, isu pengguliran hak angket DPR kembali berbunyi. Kira-kira akankah Surya Paloh dan Megawati Soekarnoputri mendorongnya?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya mengumumkan hasil perhitungan suara akhir Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), pada Hari Rabu (20/3/2024). Jujur, hasilnya mungkin tidak begitu ditunggu-tunggu orang karena berdasarkan perhitungan beberapa hari terakhir, hampir semua bahwa pasangan calon (paslon) Prabowo-Gibran memang akan menang dalam satu putaran.
Hal yang mungkin justru cukup dipertanyakan orang-orang saat ini adalah langkah apa yang akan dilakukan paslon 01 dan 03 selanjutnya. Salah satunya yang menarik adalah terkait kelanjutan dari wacana penggunaan hak angket di DPR.
Sebagai pengingat, pada 5 Maret 2024, PDIP, PKS, dan PKB, sudah menyuarakan akan menggunakan hak angket. Partai NasDem sebagai bagian Koalisi Perubahan memang tidak ikut menyuarakannya saat sidang paripurna, tetapi, mereka berulang kali menegaskan tetap memiliki niatan untuk menggulirkan hak angket.
Namun, pertanyaannya adalah, setelah pengumuman 20 Maret kemarin, apakah para partai koalisi 01 dan 03 tetap akan menggunaan hak angket di DPR?
Well, kalau kita melihat perkembangan beritanya, PDIP dan Partai NasDem belakangan tunjukkan gestur-gestur yang sangat menarik. Partai NasDem melalui Ketua Umumnya, Surya Paloh, berkata: “Dengan energi partai NasDem yang relatif masih amat terbatas, kalaupun NasDem mendorong hak angket, itu semata-mata karena penghormatan kepada hak konstitusional yang dimiliki oleh seluruh anggota dewan.”
Pernyataan ini memberi sinyal kuat bahwa NasDem tampaknya sedang berpikir ulang soal hak angket.
Sementara itu di sisi lain, PDIP melalui politisi kondangnya, Adian Napitupulu, hanya menyebut menunggu arahan dari Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri. Padahal, Megawati sendiri belakangan memberikan sinyal yang bercampur terkait penggunaan hak angket.
Megawati tercatat tidak pernah berbicara langsung terkait hal itu, hanya melalui orang-orang dari tim Ganjar-Mahfud, seperti melalui Mahfud MD sendiri. Dan ketika disampaikan oleh seseorang pun, Megawati sendiri tampak tidak berikan sinyal jelas apakah akan menggunakannya atau tidak.
Hal-hal ini lantas munculkan pertanyaan, mengapa para partai penyorak hak angket seakan-akan terus menunda sikapnya?
Hak Angket Jadi Pisau Bermata Dua?
Ada beberapa hal yang bisa kita jadikan alasan kuat mengapa partai anggota koalisi 01 dan 03, (khususnya PDIP dan Nasdem), hingga kini menahan diri dari menunjukkan keseriusan mereka menggunaan hak angket. Bahkan, alasan-alasan ini bisa jadi faktor yang kuat untuk memprediksi PDIP dan NasDem mungkin tidak akan menggunakan hak angket.
Pertama, di dalam dunia komunikasi politik, ketika muncul suatu intrik politik, sikap seorang tokoh elite kunci, seperti Paloh dan Megawati kerap menjadi episentrum dari perkembangan isu tersebut. Hal ini karena para tokoh politik dan bisnis yang memantau isu itu sering menjadikan sikap tokoh-tokoh kunci tersebut sebagai patokan dari dinamika suatu agenda politik.
Jika tokoh-tokoh kunci tersebut memperlihatkan sikap yang ‘aktif’ dan terlibat langsung dalam pengkomunikasiannya, maka hampir bisa dipastikan ia benar-benar serius ingin menggerakkan isu tersebut. Namun, bila sebaliknya, ada kemungkinan besar isu tersebut tidak akan digulirkan.
Logika seperti ini bisa berlaku di dalam dunia politik karena komunikasi politik yang efektif kerap disampaikan melalui bentuk komunikasi yang tidak langsung, seperti politik-politik simbol dan gestur para tokoh kunci itu sendiri.
Pandangan ini bisa jadi alasan pertama kita untuk menyebut hak angket tidak akan digulirkan, karena Megawati dan Paloh cenderung pasif menanggapinya.
Kedua, penggunaan hak angket bisa menjadi pisau bermata dua bagi PDIP dan NasDem sendiri. Todung Mulya Lubis, Ketua Tim Demokrasi Keadilan Ganjar-Mahfud pada 26 Februari silam sempat menyebutkan bahwa Megawati tidak ingin menjadikan hak angket sebagai alat “penggoyah” pemerintah. Megawati, kata Todung, hanya ingin hak angket digunakan untuk ungkap dugaan kecurangan.
Pernyataan ini menjadi menarik jika kita mengingat bahwa penggunaan hak angket sesungguhnya berfungsi untuk menguak dugaan intervensi oleh pemerintah secara keseluruhan. Padahal, PDIP dan NasDem sendiri sebetulnya masih menjadi bagian dari pemerintahan.
Maka dari itu, kita bisa berasumsi bahwa PDIP dan NasDem mungkin belajar dari sesuatu yang disebut Streisand Effect, yakni suatu keadaan di mana satu tindakan mengungkap suatu masalah berpotensi menjadi awal dari terkuaknya hal-hal lain yang sebetulnya tidak berkaitan dengan isu awal, tapi tetap berkaitan dengan para aktor yang terlibat.
Sederhananya, jika PDIP ataupun NasDem memang akhirnya gulirkan penggunaan hak angket, besar dugaannya mereka pun bisa ikut terseret dalam investigasi yang dilakukan. Tentunya, masuk akal bila mereka tidak ingin menjadikan hak angket sebagai sesuatu yang bisa ‘jeopardize’ posisi mereka sendiri yang sekarang relatif aman.
Ketiga, hak angket itu sendiri ada kemungkinan hanya menjadi “political noise” semata. Seperti yang telah berulang kali dibahas di beberapa media, penggunaan hak angket DPR tidak punya kekuasaan untuk merubah hasil Pemilu. Padahal, suatu proses investigasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Secara rasional, tentu wajar bila para partai yang ‘vokal’ dalam menyuarakan penggunaan hak angket sebetulnya berpikir bahwa hal itu hanya akan merugikannya. Terlebih lagi, PDIP dan NasDem kini sudah bisa dipastikan akan masuk sebagai partai parlemen. Mereka akan perlu mengeluarkan tenaga dan uang yang lebih besar lagi di luar dana kampanye untuk benar-benar bisa menggunakan hak angket secara efektif. Apakah Megawati dan Paloh rela melakukan itu? Well, mungkin tidak.
Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa isu hak angket itu masih saja digulirkan hingga sekarang?
Ada Kekuatan Lain Selain Mega & Paloh?
Pada 10 Maret 2024, Majalah Tempo membuat tulisan berjudul “Siapa Motor Hak Angket Kecurangan Pemilu 2024?”, di dalamnya, diasumsikan bahwa Megawati bisa jadi adalah “motor” di balik pengguliran isu hak angket. Namun, seperti yang sempat disinggung di atas, kalaupun Megawati adalah penggeraknya, mengapa ia tidak tunjukkan sikap yang serius soal hak angket?
Kepala Divisi Keimigrasian Kantor Wilayah Kemenkumham DKI Jakarta, Sandi Andaryadi, pada November 2023 sempat menyinggung adanya potensi “pihak-pihak asing” yang berpotensi merusak damainya proses Pemilu 2024. Pihak-pihak asing itu disebut Sandi bisa melalui bentuk yang beragam, seperti media, organisasi nirlaba, dan lain-lainnya.
Menariknya, jika kita amati, perbincangan soal hak angket sebetulnya sangat ramai bahkan tanpa terlibatnya para elite politik seperti Megawati dan Surya Paloh. Di media sosial seperti X misalnya, hingga hari ini, kita senantiasa akan menemukan perbincangan-perbincangan tentang pentingnya penggunaan hak angket. Hal ini lantas memunculkan pertanyaan, apakah ada kemungkinan pihak asing terlibat dalam pengguliran wacana hak angket?
Dana Roberson dan T.J. Raphael dalam tulisan mereka yang berjudul A Brief History of U.S. Intervention in Foreign Elections, menyebutkan bahwa badan intelijen AS memang kerap menggunakan taktik klandestin untuk menempatkan pemimpin yang dinilai menguntungkan kepentingan nasional Paman Sam.
Roberson dan Raphael mencontohkan, bahwa beberapa bulan setelah dibentuk pada tahun 1947, Badan Intelijen Pusat (CIA) diperintahkan untuk ikut campur dalam pemilihan umum Italia tahun 1948 untuk mendukung kandidat pro-Amerika yang bersaing dengan kandidat pro-Moskow. Pada saat itu, CIA berhasil melaksanakan misinya.
Tentu penjelasan Roberson dan Raphael ini hanyalah sebuah contoh, karena sebuah intervensi pemilu sebetulnya bisa dilakukan oleh banyak negara, selain AS semata.
Namun, penting untuk kita ingat bahwa kemenangan Prabowo-Gibran merupakan keberlanjutan dari pemerintahan era Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan kebetulan, Jokowi memiliki satu program yang kerap disebut dibenci oleh negara-negara asing, yakni soal hilirisasi ekonomi. Hal ini bisa menjadi sedikit dasar kecurigaan bahwa pihak asing sebetulnya punya alasan yang kuat untuk menggoyahkan hasil Pilpres 2024.
Kendati demikian, tentu ini semua hanyalah interpretasi belaka. Yang jelas, secara rasionalitas politik, para tokoh elite kunci seperti Megawati dan Paloh sebetulnya tidak memiliki alasan kuat untuk gulirkan hak angket DPR. Kalaupun isu ini tetap berbunyi kencang, well, bisa jadi itu bukan muncul dari hasil godokan para partai politik. (D74)