Menko Polhukam, Mahfud MD membuat pernyataan bahwa selalu terdapat kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. Tidak hanya menyinggung pemilu era Orde Baru, Mahfud pun menyebut bahwa pemilu pasca reformasi juga demikian. Lantas, kenapa kecurangan dalam pemilu tidak pernah hilang?
“Tugas politik yang menyedihkan adalah menegakkan keadilan di dunia yang penuh dosa” – Reinhold Niebuhr.
Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu perwujudan atau ciri yang dimiliki oleh sebuah negara yang demokratis.
Indonesia, sebagai salah satu yang mengadopsi nilai nilai demokrasi tentunya juga menerapkan sistem pemilu dalam suksesi kepemimpinan pada jabatan presiden, gubernur hingga bupati/wali kota. Bisa dibilang, pemilu menjadi salah satu titik tumpuan dan harapan akan kepemimpinan yang baik dan jujur.
Ngomong-ngomong soal pemilu, Menko Polhukam, Mahfud MD menyebut bahwa pemilu itu selalu diwarnai kecurangan. Tentunya pernyataan ini berlawanan dengan ekspektasi masyarakat soal nilai “fungsional” dari pemilu.
Mahfud sendiri mengatakan hal tersebut dalam acara cangkrukan Menko Polhukam, yang disiarkan lewat kanal YouTube Kemenko Polhukam RI.
Kecurangan yang dikatakan oleh Mahfud bukan hanya terdapat pada Pemilu masa Orde Baru, melainkan juga banyak terjadi di pemilu pasca-reformasi. Namun ia menggariskan bahwa terdapat perbedaan kecurangan yang terjadi pada dua masa tersebut.
Menurutnya, kecurangan pada masa Orde Baru dilakukan dengan sistematis oleh pemerintah pada masa itu. Sementara di pemilu pada masa pasca-reformasi, kecurangan tersebut terjadi diantara kontestan kontestan pemilu.
Apa yang dikatakan Mahfud sendiri bisa dikatakan tidak hanya asal berbicara, karena mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut punya pengalaman berkecimpung dalam berbagai pemilu di Indonesia.
Seperti pengalamannya semasa di PKB di tahun 1999, serta pengalamannya saat menjadi Hakim MK, tentu bukan sebuah hal yang bisa dianggap remeh. Lalu, jika seorang Menko Polhukam saja sudah berkata seperti itu, bisakah kita memisahkan pemilu dan kecurangan kedepannya?
Manusia Suka Curang?
Pemilu merupakan bagian dari sistem demokrasi, yang kini banyak digunakan di negara negara dunia. Demokrasi sendiri merupakan suatu sistem yang dibuat oleh manusia, untuk memperluas keterlibatan pihak-pihak ataupun individu lain dalam kehidupan politik di dalamnya.
Dengan semakin luas peran dari banyak manusia di dalamnya, maka pemilu, selain identik dengan kebebasan dan persamaan, juga melekat bersamanya kerentanan akan kecurangan. Bersamanya, kini setiap pihak ataupun setiap kontestan bisa melakukan kecurangan dalam proses pemilu. Namun, kira-kira apa penyebabnya?
Well, jawabannya sebenarnya sangat sederhana, yaitu karena manusia mencintai kemenangan dan juga benci akan kekalahan. Hal inilah yang mendorong perbuatan kecurangan yang merupakan perwujudan dari “menghalalkan” segala cara demi meraih kemenangan.
Seperti kata Diego Zabala, seorang pengacara yang berspesialisasi soal kepatuhan perusahaan global, yang menyatakan bahwa sebenarnya setiap orang menyukai kecurangan, dalam berbagai bentuk. Persoalan pentingnya hanya pada kerahasiaan dari tindakan tersebut.
Hal ini juga didukung oleh David Callahan, dalam bukunya yang berjudul The Cheating Culture: Why more Americans are doing wrong to get ahead, yang menyebutkan bahwa hampir di seluruh bidang kehidupan pasti akan terjadi kecurangan, seperti bisnis, jurnalisme, politik, hukum, hingga kesehatan, dan pendidikan.
Tindakan seperti overbilling yang dilakukan oleh pengacara atau dokter misalnya, yang kerap melebih-lebihkan gejala penyakit yang dialami oleh pasien, hingga perbuatan mekanik yang melakukan perbaikan yang tidak perlu demi bayaran lebih. Contoh-contoh tersebut menunjukkan seberapa “suka” manusia pada kecurangan.
Sebagai akibatnya, ketika lebih banyak manusia yang terlibat dalam kegiatan politik, maka tugas politik untuk menegakkan keadilan semakin sulit. Sesuai kutipan dari Riengold Niebuhr yang disebutkan di awal tulisan ini, di dunia yang penuh dosa seperti sekarang, sulit bagi politik untuk menegakkan keadilan.
Hal ini tentunya membuat pernyataan dari Menko Polhukam tentang kecurangan dalam setiap pemilu semakin masuk akal. Karena hal ini, di pemilu masa reformasi seperti sekarang, setiap pihak dan kontestan ingin meraih sebuah kemenangan, alhasil dia akan melakukan segalanya untuk mendapat hal tersebut. Muncullah kemudian praktik seperti politik uang, dan lain sebagainya.
Maka dari itu, satu-satunya cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan regulasi dan pengawasan. Tentunya kita tidak bisa menekan dan menghilangkan budaya kecurangan ini secara menyeluruh, tapi kita tetap bisa membatasi ruang kegiatan tersebut. Oleh karena itu, KPU dan Bawaslu memiliki peran yang sangat vital dalam hal ini.
Pertanyaan besarnya adalah, apakah institusi institusi tersebut masih bisa diharapkan berfungsi optimal?
Demokrasi “Prematur” Indonesia
Masa Reformasi bisa dibilang sebagai masa “pembaharuan” dan “pemurnian” sistem demokrasi di Indonesia. Seharusnya,. berakhirnya masa Orde Baru, yang kerap dipandang sebagai masa-masa diktatorial, mampu membuat harapan akan proses demokratisasi di Indonesia semakin besar.
Proses reformasi di Indonesia bisa dibilang merupakan salah satu proses demokratisasi paling damai di dunia. Karena jika berkaca pada proses di negara negara lain, seperti di wilayah Timur Tengah misalnya, proses demokratisasi di Indonesia dapat dikatakan relatif lebih lancar.
Kebebasan yang lebih luas berhasil didapatkan oleh masyarakat, dan semakin banyak kebebasan berbicara dan berpendapat, serta partisipasi politik yang semakin meningkat.
Namun bagi sebagian analis, demokrasi di Indonesia tidaklah berkembang pesat seperti yang diharapkan. Selain budaya kecurangan, berupa tindakan seperti politik uang hingga penggiringan informasi hoax, Indonesia kini masih berhadapan dengan budaya patronase di sebagian besar kontestan pemilunya.
Eve Warburton dalam tulisannya Deepening Polarization and Democratic Decline in Indonesia, mengutip penelitian yang dilakukan Dan Slater, menyebutkan bahwa patronase politik selalu jadi tujuan terbesar dari kompetisi para partai politik di Indonesia.
Patronase sendiri dapat diartikan sebagai sebuah dorongan, hadiah, dan hak istimewa yang diberikan kepada seseorang atau sebuah kelompok atas dukungan yang telah diberikan. Sementara dalam politik, patronase dapat dipahami sebagai sebuah penghargaan dan hadiah kepada seseorang maupun sebuah kelompok atas dukungan elektoral yang mereka berikan.
Patronase dilakukan dengan tujuan utama untuk menarik kelompok kelompok lintas ideologi dalam mendukung salah satu pihak di sebuah pemilu. Praktik patronase yang banyak terjadi di Indonesia, menunjukkan seberapa tidak terpolarisasi nya Indonesia selama beberapa waktu.
Keputusan Prabowo untuk masuk ke dalam kabinet Jokowi misalnya, serta masuknya Gerindra ke koalisi pemerintah, menjadi contoh terbaru patronase dalam kehidupan politik Indonesia.
Patronase sendiri bukanlah hal yang dilarang, namun arti tersirat dari banyaknya praktik patronase di Indonesia, menunjukkan seberapa mudahnya kontestan Pemilu untuk meninggalkan “identitas” atau ideologi mereka, demi mendapat akses ke kekuasaan dan sumber daya negara.
Jika identitas mereka sebegitu mudahnya ditanggalkan, tentu menjadi sebuah pertanyaan, apakah kejujuran juga masih mereka pegang? Sikap yang cenderung menghalalkan segala cara seperti ini, dapat menimbulkan kekhawatiran akan kualitas dari demokrasi di Indonesia.
Sebagai perenungan bersama, dan tentunya sebagai warga biasa, kita hanya bisa berharap para elite politik Indonesia dapat memperjuangkan identitas dan kejujuran dalam pemilu mendatang. Komposisi oposisi dan pemerintah harus saling berimbang, untuk ciptakan pemerintahan yang transparan.
Dan seharusnya, ke depannya pemilu dipandang sebagai sebuah arena untuk “memperebutkan” hak mengurus kepentingan masyarakat dan negara, bukan hanya untuk mencari akses ke kekuasaan dan sumber daya. (R87)