Site icon PinterPolitik.com

Muslim Uighur, Dilema Jokowi?

Muslim Uighur, Dilema Jokowi

Foto : Istimewa

Pada kadar tertentu, tidak mencampuri urusan domestik negara lain itu wajar dalam politik internasional, namun sikap Jokowi terhadap isu penindasan muslim Uighur yang terkesan netral justru berpotensi merugikannya dalam konteks politik domestik.


PinterPolitik.com

[dropcap]I[/dropcap]su penindasan muslim Uighur yang kencang berhembus akhir-akhir ini menyisakan sejumlah polemik. Desas-desus penindasan yang terjadi terhadap kaum muslim di wilayah Xinjiang, Tiongkok ini sontak menghidupkan kembali solidaritas di kalangan umat muslim di tanah air.

Dalam kesempatan ini, pemerintah pun didesak untuk segera menentukan sikap terhadap kasus ini untuk memberikan bantuan secara diplomatik terhadap rakyat Uighur. Beberapa pihak seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Komunitas Relawan Sadar Indonesia (Korsa), Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), segera merespons isu internasional ini dengan mendesak pemerintah agar segera mengeluarkan langkah diplomatik.

Kubu oposisi pun tak mau ketinggalan panggung dalam menykapi kasus ini. Hal ini diserukan oleh  Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Taufan Rahmadi yang mendesak pemerintah Indonesia mengambil sikap tegas atas tindakan diskriminatif dan ketidakadilan yang diterima etnis minoritas Muslim Uighur di China.

Ia juga menyinggung posisi Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim yang idealnya mampu menekan pemerintah Tiongkok agar menghentikan tindakan diskriminatif tersebut.

Tentu ini menjadi momentum yang tepat secara politik bagi kubu oposisi untuk membangkitkan solidaritas umat muslim dengan isu sensitif, terlebih menyoal penindasan etnis muslim.

Lantas, bagaimana sesungguhnya isu ini menjadi begitu bersinggungan dengan urusan politik? Mungkinkah isu ini akan membawa petahana kedalam kondisi dilema mengingat bahwa isu tentang kekerasan islam menjadi begitu lekat dengan konteks politik di Indonesia? Dilema seperti apa yang akan menjadi ancaman bagi petahana mengingat semakin dekatnya gelaran Pilpres 2019?

Standar Ganda?

Isu transnasional yang menyangkut Islam dan umat muslim menjadi hal yang terpisahkan dalam lanskap politik di Indonesia. Hal ini disebabkan karena dua hal, yang pertama adalah bahwa Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim. Kedua, Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari politik luar negeri Indonesia.

Tentu publik tak mudah melupakan bagaimana isu tentang penindasan kaum minoritas Rohingya di Myanmar dan isu tentang pemindahan ibu kota Israel ke Jerusalem memunculkan solidaritas umat muslim yang cukup besar di tanah air.

Berbagai aksi solidaritas digelar di banyak wilayah sebagai simbolis keprihatinan masyarakat Indonesia terhadap apa yang dirasakan oleh umat muslim lain.

Dalam konteks politik luar negeri, Indonesia juga menempatkan dua isu tersebut sebagai jantung dari misi diplomatik Indonesia. Hal ini diungkapkan secara langsung oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, pada pertengahan tahun 2017 lalu ketika isu pengakuan AS terhadap Jerussalem sebagai ibu kota Israel mendapat kecaman dari berbagai negara muslim di dunia.

Kala itu, Presiden Jokowi dengan sigap melakukan sejumlah langkah di antaranya meminta Menlu memanggil Dubes AS untuk RI agar menyampaikan pernyataan sikap pemerintah kepada Pemerintah Amerika dan langsung berkomunikasi dengan negara-negara yang tergabung di OKI, hingga meminta PBB untuk bersidang.

Bahkan, keputusan pemindahan kedutaan besar Australia di Tel Aviv ke Jerusalem Barat baru-baru ini juga direspons dengan kecaman oleh pemerintah Indonesia dan sempat menimbulkan ketegangan hubungan diplomatik, terutama terancamnya kesepakatan ekonomi di antara dua negara tetangga ini.

Dalam konteks kasus Rohingya, Indonesia juga berperan aktif turut serta dalam penyelesaian konflik. Melalui Menlu Retno, pemerintah Indonesia juga mengirimkan berbagai bantuan kemanusiaan baik berupa logistik maupun relawan demi membantu proses resolusi konflik di salah satu Negara anggota ASEAN tersebut.

Kini, pemerintah menghadapi tantangan baru yang berpotensi membangkitkan solidaritas umat muslim Indonesia, ketika etnis Uighur kembali menjadi sorotan dunia internasional setelah pemerintah Tiongkok diisukan menahan satu juta suku minoritas tersebut di kamp penahanan.

Isu ini mendapat sorotan global setelah pada Agustus 2018, Gay McDougall, anggota Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, menyebut bahwa pemerintah Tiongkok telah menahan hingga satu juta warga Uighur dan kelompok muslim lainnya di wilayah Xinjiang Barat, untuk menjalani program ‘reedukasi, atau ‘pendidikan ulang’ yakni sebuah program indoktrinasi komunisme yang merupakan ideologi yang menjadi landasan pemerintah Tiongkok.

Beberapa media internasional seperti The Guardian dan The New York Times juga menyoroti berita ini sebagai tindakan represif pemerintahan Xi Jinping.

Lantas mengapa pemerintahan Jokowi kini tak mengambil tindakan serupa dan terkesan tak sigap dalam merespon isu ini sama seperti isu-isu yang menyangkut muslim lainya?

Sebuah Pilihan Rasional

Banyak pengamat politik internasional menyebut bahwa ketergantungan ekonomi dan investasi Indonesia terhadap Tiongkok menjadi batu sandungan bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah politik terhadap isu ini.

Sebenarnya dalam konteks politik internasional, keputusan tersebut sangatlah wajar. Kondisi tersebut sangat sesuai dengan teori realisme politik dimana menurut Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations, negara diasumsikan sebagai aktor egois rasional yang berusaha untuk mengejar kepentingan materialis dalam kebijakan luar negeri.

Sehingga realis percaya bahwa kepentingan strategis suatu negara harus diletakkan di atas tindakan untuk menyelamatkan kehidupan sesama manusia.

Maka dari itu, ketika pemerintah memutuskan untuk mengambil sikap atas isu internasional, dalam perumusan kebijakan politik luar negeri, pemerintah sebagai aktor rasional dalam pengambilan keputusan (rational actor) selalu mendasarkan kebijakan mereka pada kalkulasi rasional sesuai dengan teori pilihan rasional Graham T. Allison.

Pilihan rasional selalu mempertimbangkan tujuan dan sasaran, pilihan kebijakan, kalkulasi untung dan rugi.  yang kemudian memilih salah satu yang memberikan keuntungan atau pay off paling tinggi.

Sehingga, dalam konteks konflik kemanusiaan internasional, kebijakan  intervensi kemanusiaan dapat dipilih atau tidak  selama mempertimbangkan kepentingan-kepentingan nasionalnya.

Tentu Jokowi dalam konteks ini tak ingin ambil resiko untuk merusak kemitraan strategisnya dengan Tiongkok yang telah terjalin cukup kompleks selama ini terutama di bidang ekonomi.

Investasi Tiongkok saja kini mencapai angka US$ 1.01 miliar dan menjadi investor terbesar ketiga di Indonesia setelah sebelumnya hanya menempati peringkat ke-10. Bahkan kini mengalahkan nilai investasi Amerika Serikat dan Korea Selatan.

Dalam konteks ini, kebijakan Jokowi untuk tidak ikut campur terhadap masalah internal Tiongkok telah sesuai dengan kalkulasi untuk rugi dan juga untuk menghindari resiko yang kemungkinan akan di peroleh Indonesia.

Namun kebijakan realis Jokowi ini memunculkan konsekuensi politik domestik yang cukup berpotensi membahayakan posisinya sebagai calon Presiden dalam Pilpres 2019. Bagaimana implikasi tersebut?

Jokowi Terjebak?

Bukan tidak mungkin  bahwa absennya pemerintah mengambil sikap terkait isu Uighur ini akan menjadi jebakan dilematis bagi sang petahana, terutama posisinya kini sebagai kandidat calon presiden menjelang 2019. Seperti apa dilema tersebut?

Seperti kasus-kasus yang menyangkut muslim lain, isu pembantaian muslim di Uighur ini menjadi amat sensitif dalam politik nasional, terutama menjelang Pilpres 2019.

Dalam konteks isu Palestina misalnya, reporter kantor berita ABC Australia, Tom Iggulde,  menyebut suara kelompok agamis Indonesia dalam Pemilu 2019 menjadi sangat penting untuk Jokowi.

Fakta tersebut di perkuat berdasarkan hasil riset Indonesia Indicator (I2), yang dilakukan sepanjang tanggal 6 hingga 10 Desember 2017 dimana isu Palestina telah menyatukan netizen di Indonesia dan cenderung memberikan apresiasi kepada pemerintahan Jokowi.

Juga menyoal kecepatan Presiden Jokowi dalam merespons isu Palestina ini merupakan salah satu pemicu yang membangkitkan dukungan dan kepercayaan pada pemerintah atas langkah yang dilakukan.

Maka, bisa jadi absennya pemerintah dalam merespon kasus muslim Uighur ini dapat menjadi pedang bermata dua bagi Jokowi sebagai calon presiden. Terlebih, Jusuf Kalla atau JK selaku wakil presiden RI telah menegaskan tak bisa mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok.

Dalam kadar tertentu, Indonesia boleh jadi tidak akan berani bertindak secara agresif mengecam tindakan Tiongkok terhadap isu pembantaian muslim Uighur karena ketergantungan ekonomi politik yang cukup kuat terhadap negara tirai bambu tersebut.

Namun di sisi lain, isu ini akan berpotensi dikapitalisasi oleh kubu oposisi untuk menyerang kubu petahana. Terlebih pemerintah terkesan memiliki standar ganda terkait sikapnya dengan beberapa isu penindasan muslim lainya.

Hal tersebut juga pernah terjadi ketika pada tahun 2017, seperti di lansir Kompas , Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menyebut bahwa motif anti-pemerintah lebih lekat dengan adanya isu penindasan etnis Rohingya dan isu tersebut tidak lagi menjadi isu kemanusiaan melainkan dijadikan sebagai alat untuk menyerang pemerintah.

Pada akhirnya, kini Jokowi sepertinya tengah mengalami apa yang disebut dengan prisoner’s dilemma di mana ia dihadapkan pada dua kondisi yang sama sulitnya dan memiliki dampak yang tidak kecil.

Jika ia tak segera mengambil langkah solutif, tentu isu ini akan menimbulkan kerugian tersendiri bagi elektabilitasnya, terlebih selama ini isu-isu mengenai anti-islam tentang dirinya masih menjadi strategi andalan oposisi dalam menyerang mantan Wali Kota Solo tersebut. (M39)

Exit mobile version