Site icon PinterPolitik.com

Mungkinkah Setnov Dimakzulkan?

Mungkinkah Setnov Dimakzulkan?

Penahanan Setya Novanto kembali mengguncang keutuhan Partai Golkar. Pihak-pihak yang ingin memakzulkan Ketua Umum Golkar tersebut kembali bersuara, bahkan penggantinya pun telah disiapkan. Tapi mungkinkah Setnov dimakzulkan?


PinterPolitik.com

“Anda tidak bisa memimpin dengan memukul seseorang di kepalanya, itu penghinaan, bukan kepemimpinan.” ~ Dwight Eisenhower, Presiden AS ke 34

[dropcap]K[/dropcap]egemparan yang terjadi di Partai Golkar terkait penangkapan Setya Novanto (Setnov), mungkin tidak kalah ramai dengan kehebohan yang diperlihatkan oleh Netizen di media sosial. Pasalnya, tekanan untuk segera mencari ketua umum baru sudah kuat disuarakan, baik dari akar rumput hingga para tokoh senior.

Salah satu yang sempat mengutarakannya adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), terutama saat Setnov menghilang dari kejaran KPK. Menurut JK, tindakan tersebut tidak layak dilakukan oleh seorang ketua umum. Sehingga posisinya sudah pantas untuk digantikan oleh kader lain.

Upaya menggantikan Setnov, memang bukan kabar baru dari Partai Kuning. Namun posisi Setnov kelihatannya masih mengakar kuat, Yorrys Raweyai saja terpaksa kehilangan jabatannya karena dianggap ingin menggembosi posisi Setnov. Bahkan setelah resmi berstatus tahanan, keputusannya untuk terus berkuasa pun tetap dihormati.


Seperti yang dikabarkan media, Rapat Pleno pengurus Golkar yang berlangsung Selasa (21/11), memutuskan untuk menunggu keputusan pra-peradilan yang diajukan Setnov. Kalau peninjauannya ditolak dan dinyatakan bersalah, barulah Golkar dapat meminta dirinya mengundurkan diri dan menyelenggarakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub).

Walau seluruh pengurus sepakat menghormati azas pra-duga tak bersalah dan proses hukum Setnov, namun belakangan sudah santer terdengar beberapa nama yang digadang-gadang dapat menggantikan posisi Setnov. Salah satu nama unggulan adalah Airlangga Hartarto yang kini menjabat sebagai Menteri Perindustrian.

Airlangga bukan hanya dianggap pantas oleh pihak-pihak yang berseberangan dengan Setnov, seperti Yorrys. Namun juga didukung oleh tokoh senior Golkar lain, seperti Agung Laksono, Theo L. Sambuaga, bahkan Ginanjar Kartasasmita. Di sisi lain, ada juga Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto yang mengaku siap mengambil alih kursi ketua umum dari Setnov.

Sebagai politikus yang dikenal licin laksana belut, petualangan Setnov sebagai pesakitan KPK memang belum tentu akan berakhir di Hotel Prodeo. Apalagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang belakangan namanya ikut terseret-seret, juga mengaku lepas tangan. Jadi apakah mungkin Setnov dapat dimakzulkan?

Siapa Berani Jegal Setnov?

“Dalam politik yang terjadi lebih banyak karena faktor kebetulan atau keletihan, daripada yang terjadi melalui persekongkolan.” ~ Jeff Greenfield, Jurnalis AS

Sebagai orang nomor satu di Golkar, kekuasaan dan kekuatan Setnov sepertinya tidak dapat diragukan lagi. Apalagi saat ini, kepengurusan Golkar lebih banyak dikuasai oleh kubu Aburizal Bakrie (Ical), ketua umum pendahulunya yang mempercayakan estafet kepemimpinan Golkar kepada Ketua DPR ini.

Bukan hal yang mengherankan pula, bila Setnov lebih mempercayakan jabatan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum pada Idrus Marham, Sekertaris Jenderal (Sekjen) Golkar. Walau berada di kubu yang sama, namun Idrus jauh lebih loyal terhadap Setnov dibanding Nurdin Halid, ketua harian Golkar yang sebelumnya juga berambisi sebagai Plt.

Kehati-hatian Setnov ini, ada alasannya. Karena walau terlihat solid, namun faksi di tubuh Golkar belum sepenuhnya melebur. Saat ini, kubu Akbar Tanjung yang dimotori Agung Laksono mungkin sudah mulai kehilangan gigi. Namun tidak begitu dengan kubu JK yang salah satu pentolannya adalah Yorrys dan Nusron Wahid.

Kedua tokoh ini termasuk yang vokal mengenai status tersangka Setnov. Mereka menuding keterlibatan Setnov dalam kasus korupsi e-KTP membuat nama Golkar buruk, karena dianggap sebagai partai koruptor. Karena itu, mereka ingin Golkar mencari ketua umum baru yang lebih bersih, demi memperbaiki citranya tersebut.

Kesamaan pernyataan yang pernah diucapkan JK, Yorrys, dan Nusron ini, tentu menimbulkan pertanyaan: apakah kubu JK memiliki ambisi merebut kursi ketua umum Golkar? Karena secara pribadi maupun konstitusi, JK tidak mungkin maju kembali sebagai presiden maupun wakil presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 nanti. Mungkinkah ia ingin mengembalikan kuasanya di Golkar lagi?

Airlangga, Kubu Pemerintah di Golkar?

“Harga dari pengagungan adalah tanggung jawab.” ~ Winston Churchill, Presiden AS ke 29 dan 33

Meski menghormati proses hukum yang tengah dijalankan Setnov, namun gaung akan adanya Munaslub untuk pergantian ketua umum semakin gencar didengungkan. Bahkan sudah ada beberapa nama yang kabarnya, sudah menyatakan kesediaannya untuk merebut titel orang nomor satu di partai bentukan Presiden Soekarno ini.

Nama-nama yang konon memiliki peluang untuk maju adalah Idrus Marham, Ade Komarudin, Zainudin Amali, Bambang Soesatyo, Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Aziz Syamsudin. Selain nama-nama tersebut, ada Titiek Soeharto dan Airlangga Hartarto yang juga telah menyatakan kesiapannya bila diberi amanah untuk memimpin Golkar.

Dari kesemuanya, nama Airlangga Hartarto memang yang paling disanjung-sanjung oleh para kader maupun senior Golkar. Kabarnya Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan sendiri ikut mendorong Airlangga, agar mau menggantikan Setnov. Luhut bahkan berkomentar kalau ia adalah kader Golkar yang bersih dan mampu diterima semua kalangan di internal Golkar.

Pria kelahiran Surabaya, 55 tahun lalu ini, memang memiliki track record lumayan bersih di pemerintahan. Apalagi putra almarhum Ir. Hartarto Sastrosoenarto yang pernah menjabat sebagai menteri selama empat periode di era Presiden Soeharto ini, juga cukup mapan karena memiliki sejumlah perusahaan.

Dari segi kepartaian, Airlangga sebenarnya pernah mencalonkan diri sebagai ketua umum di Musyawarah Nasional (Munas) IX, Bali, pada 2014 lalu. Namun, ia memutuskan mengundurkan diri karena merasa dicurangi oleh rivalnya, Aburizal Bakrie. Di 2016, namanya juga sempat muncul di bursa pencalonan, namun kembali dipatahkan oleh kubu Ical, ketika Setnov terpilih sebagai ketua umum.

Sehingga tak heran bila kini namanya kembali dipertimbangkan. Apalagi dengan jabatannya sebagai menteri perindustrian, membuat posisi Airlangga lebih kuat dari sebelumnya. Dukungan besar dari para senior Golkar pun, bisa jadi akan memberikan pengaruh besar bagi Airlangga untuk dapat menguasai Partai Kuning.

Di sisi lain, kehadiran Airlangga yang didukung penuh oleh Luhut, bisa menjadi kekuatan tersendiri bagi Golkar sebagai pengusung Jokowi di 2019 nanti. Walau Golkar telah mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi dan bertekad untuk terus menjaga komitmen tersebut, namun akan jauh lebih aman bagi Jokowi untuk menempatkan orang kepercayaannya di tampuk kekuasan partai.

Lalu bagaimana dengan Setnov? Walau disinyalir ia memiliki “kartu AS” yang dapat menjerat banyak pejabat negara ikut “terjun bebas” bersamanya, namun tekanan besar dari masyarakat, tentu akan membuat banyak pihak berpikir ulang untuk terus membantunya. Bukan hal yang aneh pula, bila Jokowi pun enggan dikait-kaitkan dengan kasus yang menjerat Setnov.

Pemikiran yang sama juga berlaku bagi kader Golkar sendiri. Pada akhirnya mereka dipaksa untuk bersikap realistis, mengingat tahun politik tinggal beberapa bulan lagi. Pembenahan kepengurusan partai mutlak dilakukan bagi Golkar, bila ingin mempertahankan posisinya sebagai salah satu partai dengan suara terbesar. Bagaimana pun, kasus Setnov akan mempengaruhi kinerja dan peraihan suara mereka ke depannya. (R24)

Exit mobile version