HomeNalar PolitikMungkinkah Sandiaga Jadi Ketum PPP?

Mungkinkah Sandiaga Jadi Ketum PPP?

Menjelang Muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sejumlah pihak internal partai memunculkan wacana agar Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Sandiaga Uno menjadi Ketua Umum (Ketum) PPP. Namun, mungkinkah mantan Calon Wakil Presiden 2019-2024 itu menempati jabatan tersebut?


PinterPolitik.com

“I don’t switch sides. I just switch rides” – Jadakiss, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Bagi yang kerap bermain seri permainan Football Manager, strategi untuk mengatur sebuah tim sepakbola merupakan hal yang tidak asing. Bagaimana tidak? Dalam game tersebut, pemain diberi kesempatan untuk menjalankan fungsi manajemen dalam sebuah tim – dari mengatur formasi hingga melakukan transfer pemain sepakbola.

Sebagai manajer, pengguna dituntut agar dapat menjadikan tim sepakbolanya menjadi tim yang terkuat dalam sebuah liga dan berbagai turnamen. Untuk mewujudkannya, pengguna dapat melakukan beberapa strategi dan taktik, seperti memilah-milah formasi yang dianggap paling sesuai.

Sebagai sebuah tim, setiap pemain di berbagai lini bukan tidak mungkin perlu memenuhi peran dan fungsinya masing-masing. Tatkala ingin menciptakan tim yang lebih kuat lagi, pengguna tentu bisa melakukan transaksi dan menawarkan kontrak kepada pemain di tim lain untuk memperkuat tim pengguna.

Bukan tidak mungkin, apa yang biasa ada di dunia sepakbola ini kini tampaknya turut terlihat dalam dunia politik. Bagaimana tidak? Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak sedikit politisi berpindah haluan ke partai-partai politik yang berbeda – entah karena pandangan politik atau kepentingan yang berbeda.

Fahri Hamzah yang kini menjadi Wakil Ketua Umum Partai Gelora, misalnya, sebelumnya merupakan salah satu politikus di PKS. Namun, entah apa alasan pastinya, Fahri akhirnya memutuskan untuk keluar dari partai itu dan membentuk sebuah organisasi masyarakat (ormas) yang bernama Garbi – pada akhirnya turut membentuk Partai Gelora.

Baru-baru ini, sebuah kabar wacana “perpindahan” politisi juga muncul di media dan publik. Kabarnya, sejumlah DPC di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengusulkan sejumlah nama politisi yang kini bukanlah kader dari PPP untuk menjadi Ketua Umum Partai.

Salah satu nama itu adalah Sandiaga Uno – kini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra. Nama Sandiaga juga muncul dengan nama-nama lain di bursa Calon Ketua Umum (Caketum) PPP, seperti Pelaksana Tugas (Plt.) Ketum Suharso Monoarfa, Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa, dan mantan Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf (Gus Ipul).

Namun, munculnya nama Sandiaga ini bisa dibilang unik. Pasalnya, beliau hingga kini masih menjadi kader dari Gerindra. Partai berlambang kepala Garuda itu sendiri tampak keberatan apabila Sandiaga benar-benar memutuskan untuk meneruskan wacana tersebut.

Tentu, bukan tidak mungkin sejumlah pertanyaan terkait wacana ini dapat muncul. Mengapa wacana seperti ini bisa muncul dari internal PPP sendiri? Lantas, mungkinkah Sandiaga bersedia untuk menjadi Ketum PPP?

Strategi dari PPP?

Bukan tidak mungkin, munculnya wacana agar Sandiaga menjadi Ketum PPP ini merupakan strategi yang tepat bagi partai itu untuk memenangkan sejumlah pertarungan politik di masa mendatang. Meski begitu, wacana ini bisa saja tidak akan berjalan mulus seperti yang dibayangkan.

Baca juga :  King Dedi Mulyadi

Sebagai mantan Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2019-2024, tentu modal politik yang dimiliki oleh Sandiaga tidak dapat dipandang sebelah mata. Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut setidaknya memiliki sejumlah jenis modal yang dapat ditransformasikan menjadi modal politik.

Kimberly L. Casey dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital menjelaskan bahwa terdapat beberapa jenis modal yang dapat dimanfaatkan untuk dijadikan modal politik, seperti modal ekonomi, modal sosial, modal sumber daya manusia, modal institusional, dan modal-modal lainnya. Modal politik yang bersumber dari jenis-jenis modal ini tentunya dapat memengaruhi karier politik seseorang.

Bila mengacu pada apa yang dijelaskan Casey itu, bisa jadi Sandiaga memiliki modal ekonomi. Sebagai pengusaha yang bergerak di bidang investasi, mantan Wagub DKI Jakarta itu memiliki sejumlah modal ekonomi yang bisa saja dimanfaatkan untuk manuver-manuver politis – baik untuk Sandiaga sendiri maupun PPP bila benar menjadi Ketum PPP nanti.

Selain itu, Sandiaga juga bisa dibilang memiliki modal sosial yang mumpuni. Bagaimana tidak? Sebagai mantan cawapres, Sandiaga memiliki name recognition (pengakuan) yang cukup luas di berbagai kalangan.

Sandiaga bahkan disebut dapat merangkul tiga kelompok sekaligus, yakni kelompok nasionalis, kelompok agama, dan kelompok insan bisnis (NASAIN). Mungkin, kemampuan Sandiaga untuk menjalin relasi sosial dengan berbagai macam kelompok inilah yang menjadi daya tarik bagi PPP.

Pasalnya, PPP sendiri sebenarnya terancam akan kehilangan banyak suara dalam berbagai pertarungan politik mendatang. Pada Pemilu 2019 dengan ambang batas parlemen 4 persen lalu, misalnya, partai berlambang Ka’bah ini hanya memperoleh 4,52 persen – menurun signifikan dibandingkan pada perolehan Pemilu 2014 sebesar 6,53 persen.

Bukan tidak mungkin, modal ekonomi maupun modal sosial milik Sandiaga ini dapat menguntungkan PPP. Partai berlambang Ka’bah itu bisa jadi membutuhkan modal ekonomi – seperti taktik Muhaimin Iskandar dari PKB yang menggandeng Rusdi Kirana – dan modal sosial untuk menjaring pemilih sebanyak-banyaknya dari berbagai kalangan.

Sebagai partai Islam, PPP tampak kesulitan untuk menyaring pemilih yang memiliki pandangan yang lebih moderat dan nasionalis. Selama ini, partai politik berlambang Ka’bah ini juga harus berbagi basis pemilih dengan partai-partai Islam lainnya, seperti PKS dan PAN.

Meski bergabungnya Sandiaga ini dapat menguntungkan PPP, belum tentu segenap unsur partai tersebut akan sepakat dengan kehadiran politikus Gerindra tersebut. Pasalnya, bukan tidak mungkin kader-kader lama akan merasa tersingkirkan dengan adanya politikus luar (political outsider) seperti Sandiaga.

Sentimen terhadap outsider seperti ini juga pernah terjadi ketika Joko Widodo (Jokowi) menjadi kader yang diusung oleh pimpinan PDIP. Dengan mengutip Jeffrey Winters, Marcus Mietzner dalam tulisannya yang berjudul Jokowi: Rise of Polite Populist menyebutkan bahwa banyak petinggi PDIP melihat mantan Wali Kota Solo tersebut sebagai orang yang panjat sosial (pansos).

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Lantas, bila PPP bisa mendapatkan keuntungan tertentu dari modal politik mantan cawapres itu – meski bisa saja muncul penolakan – bagaimana dengan Sandiaga sendiri? Apakah mungkin Sandiaga bersedia untuk menjadi Ketum PPP?

Mungkinkah Jadi Ketum PPP?

Meski bisa saja muncul penolakan terhadap Sandiaga di kalangan PPP sendiri, partai berlambang Kakbah itu bisa saja memperoleh keuntungan politisi dengan menggandeng politikus Gerindra tersebut. Namun, pertanyaan lain tetap muncul perihal bersedia atau tidaknya Sandiaga untuk menjadi Ketum PPP.

Bagi Sandiaga, posisi Ketum PPP ini bisa saja menjadi kesempatan politik. Pasalnya, bila Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra itu ingin mencalonkan diri dalam Pilpres 2024, bukan tidak mungkin posisi itu dapat menjadi modal politik selanjutnya.

Dalam Gerindra sendiri, kemungkinan Sandiaga untuk maju di tahun 2024 bisa juga terhalang oleh pengaruh Ketum Gerindra Prabowo Subianto yang hingga kini masih menjadi calon presiden (capres) potensial untuk Pilpres 2024. Apalagi, pengaruh Menteri Pertahanan (Menhan) tersebut masih sangat mengakar di partai tersebut.

Bila kesempatan politik ini benar tersedia bagi Sandiaga, bukan tidak mungkin ini menjadi langkah strategis baginya. Kemungkinan ini bisa jadi sejalan dengan konsep strategic opportunism yang berasal dari dunia bisnis.

Daniel Isenberg dalam tulisannya yang berjudul The Tactics of Strategic Opportunism menjelaskan bahwa strategic opportunism merupakan kemampuan untuk berfokus pada tujuan jangka panjang dengan mengenali berbagai persoalan dan kesempatan baru. Dalam hal ini, posisi Ketum PPP pun dapat menjadi kesempatan baru bagi Sandiaga.

Meski begitu, Isenberg juga menyebutkan bahwa sebuah teori tradisional dalam strategic opportunism juga menekankan pada formulasi strategi yang terstruktur. Sandiaga pun bukan tidak mungkin perlu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian apabila ia bergabung dengan PPP.

Basis pemilih PPP sendiri bisa dibilang sangat terpaut jauh dengan Gerindra yang dalam Pemilu 2019 lalu memenangkan 12,57 persen suara. Bisa jadi, menipisnya basis suara partai berlambang Ka’bah itu malah merugikan Sandiaga di kemudian hari.

Pasalnya, untuk maju dalam Pilpres 2024, Sandiaga juga memerlukan peran partai-partai politik yang tetap harus memenuhi presidential threshold (ambang batas presiden) sebesar 20 persen – bila tidak berubah. Bukan tidak mungkin, PPP tidak akan mampu memenuhi ambang batas itu sendiri.

Selain itu, keterikatan yang timbul dengan PPP bisa juga membatasi fleksibilitas Sandiaga untuk menyusun koalisi yang kuat dengan partai-partai politik lain. Kecilnya suara PPP bisa jadi juga menurunkan daya tawar Sandiaga di kemudian hari.

Alhasil, bukan tidak mungkin Sandiaga akan menolak wacana dirinya yang diusulkan untuk menjadi Ketum PPP. Apabila, politikus Gerindra itu benar ingin maju dalam Pilpres 2024, daya tawar dan kekuatan politiknya tetap harus diperhitungkan – baik sebagai politikus Gerindra maupun sebagai Ketum PPP. Mari kita nantikan saja kelanjutannya. (A43)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?