Kendati memberikan komentar sinis terhadap deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono memberi pernyataan menarik dengan menyebutkan Rocky Gerung adalah inisiator KAMI yang pantas menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Lantas, mungkinkah hal tersebut terjadi?
“Science is what you know. Philosophy is what you don’t know” – Bertrand Russell, filsuf terbesar abad ke-20
Siapa yang tidak mengenal Rocky Gerung? Nama ini dikenal begitu garang dalam memberikan kritik terhadap laju pemerintahan. Sosoknya sendiri mulai mendapat perhatian luas dari publik dan diperhitungkan setelah melontarkan pernyataan mengejutkan dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 17 Januari 2017 lalu.
Tegasnya, “pembuat hoaks terbaik adalah penguasa”. Tidak hanya kontroversial, pernyataan tersebut benar-benar berbeda alias out of the box dan seolah menjadi semacam representasi ketidakpuasan dan kegelisahan publik atas penguasa.
Dengan aksentuasinya yang khas, Rocky menyebut hanya penguasa yang dapat menciptakan hoaks yang sempurna karena memiliki seluruh peralatan untuk berbohong, seperti intelijen, data statistik, dan media massa.
Konteks pemikiran yang out of the box ini yang kemudian menjadi alasan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono untuk menilai Rocky Gerung layak menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Rocky yang dinilai sebagai filsuf disebut dapat melihat masalah dan membuat jalan keluar dari masalah dengan baik.
Sejauh ini, Rocky diketahui belum pernah menjabat sebagai pejabat publik. Di luar kesibukannya sebagai aktivis di era Orde Baru dan akademisi ketika masih menjadi dosen filsafat di Universitas Indonesia (UI), aktivitas Rocky tidak banyak diketahui.
Dengan sosoknya yang nyentrik dan memiliki kritik yang tajam, tentu menarik untuk dipertanyakan, mungkinkah sosok ini menjadi Mendikbud seperti yang disebutkan oleh Arief Poyuono? Apalagi, di tengah isu reshuffle saat ini, mungkin saja Rocky menjadi menteri Presiden Jokowi untuk menggantikan Nadiem Makarim yang tengah banyak diminta mundur saat ini.
Filsuf Jadi Menteri?
Untuk menjawab kemungkinan Rocky menjadi Mendikbud, sebelumnya harus dijawab terlebih dahulu, mungkinkah sosok yang disebut filsufnya Indonesia ini mampu mengemban jabatan publik tersebut?
Jika mengacu pada filsuf Yunani, Plato – atau Platon – dalam pemikirannya tentang Philosopher King, filsuf memang dinilai sebagai sosok yang ideal untuk menjadi raja atau penguasa. Tegasnya, hanya filsuf yang dapat dipercaya untuk memerintah dengan baik karena filsuf memiliki moral dan intelektual yang cocok untuk memerintah.
Penegasan tersebut bertolak dari bayangan Plato tentang filsuf yang disebutnya memiliki moral yang baik karena mencintai kebenaran dan bebas dari keserakahan serta nafsu yang menggoda untuk menyalahgunakan kekuasaan. Kemudian, filsuf juga dinilai memiliki intelektual yang baik karena mereka memperoleh pengetahuan yang utuh tentang realitas. Ini membuat filsuf dapat menentukan bentuk-bentuk kebajikan, kebaikan, dan keindahan.
Gagasan Plato tentang Philosopher King tentu terlihat begitu indah dan ideal. Namun, mungkinkah hal tersebut terwujud?
Yang utama adalah, sosok filsuf yang dibayangkan Plato sepertinya terlampau ideal untuk terwujud. Tentu kita bertanya, mungkinkah terdapat orang sebersih dan semulia itu? Kendatipun ada, mungkinkah ia akan terjun di politik?
Menimbang pada sulitnya mencari sosok ideal yang dibayangkan oleh Plato, pada konteks ini mungkin kita dapat belajar dari kasus filsuf yang pernah menjabat sebagai pejabat publik sebelumnya.
Pada Januari 2015 lalu, di tengah gejolak politik yang dialami Yunani akibat krisis ekonomi, filsuf ekonomi Yanis Varoufakis ditunjuk sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) karena pemikiran cerdas dan kritisnya diharapkan dapat menyelamatkan negara tempat kelahiran filsuf-filsuf besar tersebut.
Akan tetapi, alih-alih menjadi penyelamat, Varoufakis ternyata hanya bertahan sampai Juli 2015 alias diganti karena gagal mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa perihal kerja sama ekonomi yang dipercaya dapat menyelamatkan Yunani.
Pavlos Eleftheriadis dalam tulisannya Losing to the European Union: A Review of Yanis Varoufakis’ Book “Adults in the Room” memberikan penjelasan atas kegagalan tersebut.
Menurut Eleftheriadis, alih-alih mengakui kesalahannya, Varoufakis dalam bukunya Adults in the Room justru melihat Uni Eropa (UE) sebagai organisasi yang tidak demokratis dan menindas, seperti halnya rezim Uni Soviet yang menumpas perlawanan Ceko. Varoufakis juga disebut melihat dirinya sebagai seorang pejuang tunggal untuk keadilan, yang berdiri tegak melawan kekuatan kasar dan kekejaman UE.
Menurut Eleftheriadis, kegagalan Varoufakis sebenarnya diakibatkan karena filsuf ekonomi tersebut tidak mengetahui cara kerja UE dan aturan hukum yang bekerja. Eleftheriadis juga memaparkan beberapa kebijakan Varoufakis yang dinilai tidak berguna dalam menghadapi krisis.
Pertama, Varoufakis mengeluarkan mata uang paralel yang bertentangan dengan perjanjian UE. Kebijakan ini membuat mereka yang dibayar dengan mata uang paralel dapat diakui secara sah di Pengadilan Yunani dan dapat menukarnya dengan Euro normal.
Kedua, Varoufakis menghapus independensi Bank of Greece yang juga bertentangan dengan perjanjian UE.
Ketiga, gagal bayar obligasi yang dipegang oleh European Central Bank (ECB) tidak menyebabkan domino hukum seperti yang diprediksi oleh Varoufakis. Faktanya, legalitas pembelian obligasi ECB di pasar sekunder diterima oleh Pengadilan dengan pemahaman penuh bahwa ada risiko gagal bayar.
Singkatnya, Eleftheriadis melihat Varoufakis tengah memainkan narasi blame game dalam bukunya Adults in the Room untuk menyebutkan UE telah melakukan penipuan dan permusuhan terhadap demokrasi. Padahal, Varoufakis sendiri yang tidak mampu menelurkan kebijakan berdasarkan peraturan yang berlaku dan kerap memberikan kebijakan sembrono dan tidak bertanggung jawab.
Bagaimana dengan Rocky?
Melihat kegagalan Varoufakis, tentu kita bertanya, mungkinkah hal serupa juga terjadi jika Rocky nantinya menjabat sebagai Mendikbud?
Sama halnya dengan Rocky, Varoufakis juga dikenal sebagai sosok nyentrik dan radikal. Melihat gelagatnya selama ini, Rocky tampaknya memiliki karakter yang sama dengan Varoufakis. Jika benar demikian, besar kemungkinan Rocky tidak akan mampu bekerja sesuai birokrasi yang ada.
Terlebih lagi, Mendikbud merupakan jabatan “panas”. Pasalnya, pendidikan menyerap 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Artinya, dengan APBN yang menyentuh angka Rp 2.000 triliun, terdapat setidaknya Rp 400 triliun anggaran yang berputar setiap tahunnya. Jelas, ini merupakan jumlah dana yang fantastis.
Selama ini, kita melihat Rocky kerap melemparkan istilah “dungu” dan “akal sehat” terhadap sesuatu yang dinilai kontras dengan pemikirannya. Tentu pertanyaannya, apakah “birokrasi panas” di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dapat menerima istilah-istilah tidak mengenakkan tersebut? Besar kemungkinan tidak.
Dari sumber yang didapatkan PinterPolitik, Nadiem Makarim diketahui tengah mendapatkan sorotan minor dari berbagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena gaya komunikasinya dinilai kurang baik. Nadiem misalnya disebut beberapa kali mengawali pemaparan dengan pernyataan “Saya berani didebat”, di mana ini menimbulkan kesan bahwa mantan Bos Gojek tersebut merasa lebih benar dari yang lainnya.
Kemudian, telah menjadi rahasia umum juga bahwa terdapat berbagai mafia di sektor pendidikan. Mulai dari mafia Ujian Nasional (UN), mafia buku, hingga mafia pembangunan fasilitas pendidikan. Sampai saat ini, Nadiem diketahui tengah mengalami gejolak karena penghapusan UN, di mana kebijakan tersebut selalu dibatalkan oleh Mendikbud sebelumnya.
Yang terbaru, Nadiem juga tengah mengalami pergolakan hebat karena kisruh dengan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) terkait Program Organisasi Penggerak (POP).
Tentu kita tahu, persoalan-persoalan tersebut adalah masalah birokrasi yang membutuhkan kelenturan kebijakan. Lantas, dengan karakter Rocky yang keras dan terkesan “bodo amat”, mungkinkah mantan dosen filsafat UI ini mampu mengikuti birokrasi yang ada? Atau justru Rocky tenggelam seperti halnya Nadiem saat ini?
Selain persoalan birokratis tersebut, karakteristik filsafat yang menjadi keunggulan Rocky juga sebenarnya tidak memungkinkan dirinya untuk menelurkan kebijakan-kebijakan praktis. Dewasa ini, filsafat masif dipahami sebagai the art of asking questions atau seni bertanya.
Artinya, filsafat pada dasarnya tidak memaksudkan dirinya sebagai penelur kesimpulan-kesimpulan praktikal seperti dalam ilmu ekonomi ataupun kedokteran, melainkan sebagai domain yang bergulat untuk mengkritisi ilmu-ilmu tersebut. Filsafat hadir agar ilmu-ilmu pengetahuan tidak terjebak dalam dogmatisme, sehingga tidak mengklaim dirinya paling benar dan menyadari adanya sudut pandang lain yang perlu diakui.
Singkatnya, jika Rocky memahami filsafat sebagai the art of asking questions, maka Ia lebih cocok untuk menjadi penasihat pejabat publik, alih-alih menjadi pejabat publik itu sendiri.
Di luar itu semua, dengan ketidaksukaan Rocky terhadap birokrasi, sosok yang pernah menjadi ghost writer Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini kemungkinan besar tidak akan mau menjadi pejabat publik. Pun begitu dengan begitu sulit membayangkan Rocky menjadi menteri Presiden Jokowi, menimbang mantan Wali Kota Solo tersebut adalah sosok yang begitu keras dikritik olehnya.
Pada akhirnya, pernyataan Arief Poyuono yang menilai Rocky dapat menjadi Mendikbud sah-sah saja. Akan tetapi, terlalu banyak pertimbangan yang tampaknya membuat hal tersebut sulit teraktualisasi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)