HomeHeadlineMungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Dengarkan artikel ini:

Peluang tak adanya oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran sangat terbuka. Ini karena beberapa partai yang awalnya menjadi lawan Prabowo-Gibran, kini sudah mulai terang-terangan menyatakan siap menjadi bagian dari pemerintahan. Nasdem dan PKB adalah salah dua di antaranya. Adapun PKS disebut pasti akan bersedia bergabung jika diajak, PPP menyatakan siap bergabung, dan PDIP dipercaya tengah berdinamika soal hal itu. Jika semua partai masuk ke pemerintahan, maka besar peluang Prabowo tak punya oposisi.


PinterPolitik.com

Menyebut pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berpeluang tak miliki oposisi bukanlah tanpa alasan. Ini menjadi topik yang menarik yang berangkat dari keinginan Prabowo menyatukan lawan-lawan politiknya untuk bersama-sama berjuang membangun Indonesia.

Meskipun demikian, memang dalam sejarahnya, oposisi yang lemah akan “menguntungkan” pemerintahan yang berkuasa. Kebijakan-kebijakan yang harus diputuskan oleh DPR misalnya, akan jadi lebih berpihak pada pemerintah karena suara koalisi pemerintah akan jauh lebih banyak.

Pun kalau misalnya tak ada partai yang menjadi oposisi. Semua kebijakan, rancangan anggaran, Undang-Undang, dan lain sebagainya akan lolos dengan mudah. Ini akan membuat fungsi check and balances yang menjadi intisari dari adanya kekuasaan eksekutif dan legislatif menjadi tak berfungsi. Franz Magnis Suseno, Guru Besar Filsafat STF Driyarkara, menyebut upaya “meniadakan” atau meminimalisir oposisi sebagai upaya agar pemerintahan Prabowo-Gibran tidak diganggu oleh DPR.

Hingga kini, setidaknya ada 2 parpol yang berpeluang menjadi oposisi Prabowo-Gibran, yaitu PKS dan PDIP. Namun, beberapa pengamat menyebutkan bahwa PKS sangat berpeluang menjadi bagian dari pemerintah. Persoalannya adalah tinggal apakah PKS diajak atau tidak oleh Prabowo.

Sementara PDIP – sebagai partai pemenang Pemilu 2024 – tentu punya posisi tawar yang jauh lebih kuat. Partai ini tentu bisa saja meminta posisi yang lebih besar dalam kekuasaan Prabowo berbekal statusnya itu. Memang, secara sendirian, PDIP tak akan bisa berbuat banyak menghadapi koalisi Prabowo-Gibran yang akan menguasai mayoritas suara di parlemen. Namun, ia bisa saja mempengaruhi diskursus politik nasional secara umum.

Walaupun demikian, PDIP pun kini tengah menggalang kekuatan dan sedang dalam lobi-lobi untuk mempertemukan sang Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri, dengan Prabowo. Tak ada yang tahu pasti apakah PDIP berniat untuk masuk ke pemerintahan Prabowo-Gibran.

Pertanyaannya kemudian adalah seperti apa kita memaknai andaikata kondisi ketiadaan oposisi ini terjadi?

Baca juga :  Ambang Batas MK: Anies “Ancam” Jokowi?

Positif Negatif Tanpa Oposisi

Kemenangan Prabowo tanpa oposisi di pemerintahan pasca Pilpres 2024, dengan semua partai membuka peluang untuk bergabung, dapat memiliki beberapa implikasi signifikan terhadap kekuasaannya.

Dari sisi positifnya, tentu saja ketiadaan oposisi akan menciptakan stabilitas pemerintahan. Tanpa oposisi yang signifikan, pemerintahan Prabowo dapat menghadapi lebih sedikit hambatan dalam menerapkan kebijakan. Hal ini dapat menghasilkan stabilitas politik yang lebih besar, memungkinkan pemerintah untuk fokus pada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Poin selanjutnya adalah soal kohesivitas kebijakan. Dengan partai-partai yang bersatu di dalam pemerintahan, ada kemungkinan lebih besar untuk keselarasan dalam kebijakan-kebijakan yang diambil. Ini dapat mengurangi gesekan internal dan memungkinkan pemerintah untuk bekerja lebih efektif dalam mencapai tujuan-tujuan strategis.

Kemudian, pemerintah Prabowo-Gibran dapat mengambil keputusan dengan lebih cepat tanpa perlu berkompromi dengan oposisi. Hal ini dapat meningkatkan respons terhadap tantangan-tantangan yang muncul dan mempercepat proses pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan.

Sementara, dari sisi negatifnya, ketiadaan oposisi akan melahirkan monopoli kekuasaan. Kekuatan tanpa kontrol oposisi dapat menyebabkan konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di tangan Prabowo dan partai-partai pendukungnya. Hal ini berpotensi merusak prinsip-prinsip demokrasi dan meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan.

Kemudian, akan terjadi kondisi kurangnya pengawasan. Tanpa oposisi yang kuat, mekanisme pengawasan terhadap pemerintahan bisa menjadi kurang efektif. Ini meningkatkan risiko korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kebijakan yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat luas.

Selain itu, ketiadaan oposisi membuat keragaman pendapat terabaikan. Dalam pemerintahan tanpa oposisi yang kuat, suara-suara minoritas atau pendapat alternatif mungkin terabaikan. Hal ini dapat merugikan proses demokratisasi dan mencegah inklusi berbagai perspektif dalam pembuatan kebijakan.

Pandangan dari pakar seperti Larry Diamond, seorang ilmuwan politik yang mengkaji demokrasi, dapat memberikan wawasan tambahan. Diamond telah menyoroti pentingnya sistem politik yang seimbang, dengan kontrol dan keseimbangan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks ini, dominasi pemerintahan Prabowo tanpa oposisi dapat menimbulkan keprihatinan akan kurangnya keseimbangan kekuasaan di Indonesia.

Demikian pula, Ahli Hukum Konstitusi seperti Profesor Yusril Ihza Mahendra – yang kebetulan juga menjadi bagian dari koalisi Prabowo-Gibran – yang menggarisbawahi perlunya pemantauan yang ketat terhadap pemerintahan yang memiliki kekuasaan tanpa oposisi yang signifikan, untuk memastikan bahwa konstitusi dihormati dan kebebasan sipil dijaga.

Jadi Oposisi “Merugikan” Partai?

Semuanya akan kembali kepada persoalan menjadi oposisi itu sendiri. Pasalnya, meski secara politik bisa menguntungkan, menjadi oposisi cenderung memiliki risiko dan tantangan tersendiri.

Baca juga :  Anies-Mahfud Perlu “Dikantongi” Prabowo? 

Hal yang paling utama adalah soal terbatasnya akses ke kekuasaan. Partai politik yang berada di oposisi memiliki akses yang terbatas terhadap kekuasaan politik dan sumber daya negara. Mereka tidak memiliki kendali atas kebijakan pemerintah dan tidak dapat mengambil keputusan politik yang signifikan. Akibatnya, mereka mungkin sulit untuk mewujudkan agenda politik mereka dan memengaruhi arah kebijakan negara.

Hal yang berikutnya adalah soal akses terhadap sumber daya finansial. Partai politik yang berada di oposisi cenderung memiliki akses yang lebih terbatas terhadap sumber daya finansial dan manusia dibandingkan dengan partai yang berkuasa. Mereka tidak memiliki akses langsung terhadap anggaran negara atau fasilitas-fasilitas pemerintah yang dapat digunakan untuk memperkuat basis politik mereka. Hal ini dapat menghambat kemampuan mereka untuk melakukan kampanye politik, membangun infrastruktur partai, dan mengorganisir massa.

Faktor berikutnya adalah soal keterbatasan pengaruh. Partai politik di oposisi cenderung memiliki pengaruh politik yang lebih terbatas dalam proses pembuatan keputusan politik. Meskipun mereka dapat mengkritik kebijakan pemerintah dan menawarkan alternatif, mereka seringkali tidak memiliki kekuatan politik yang cukup untuk mengubah atau menggagalkan kebijakan tersebut. Akibatnya, mereka mungkin merasa tidak diakui atau diabaikan dalam proses politik.

Kemudian, partai politik yang berada di oposisi cenderung berada dalam posisi yang rentan terhadap tekanan politik dan persaingan dengan partai politik lainnya. Mereka dapat menjadi sasaran kampanye politik negatif dari partai yang berkuasa atau partai politik pesaing, yang dapat merusak citra dan popularitas mereka di mata publik.

Pada akhirnya, meskipun menjadi oposisi dapat memberikan platform untuk menyalurkan kritik dan menawarkan alternatif, tantangan-tantangan yang dihadapi oleh partai politik di oposisi seringkali membuat mereka merasa terpinggirkan dan dirugikan. Oleh karena itu, banyak partai politik cenderung berusaha untuk memenangkan kekuasaan atau setidaknya memperoleh akses ke koalisi pemerintahan untuk memaksimalkan pengaruh politik dan sumber daya negara yang tersedia.

Persoalannya memang kini ada di tangan Prabowo. Seberapa besar koalisi kekuasaannya ingin ia bentuk akan menenetukan masa depan demokrasi Indonesia. Harapannya Prabowo masih melihat pentingnya ruang-ruang oposisi itu dibutuhkan, sehingga tak menyasar semua partai untuk jadi bagian dari kekuasaannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Mampukah Prabowo Make Indonesia Great Again? 

Konsep Make America Great Again (MAGA) ala Donald Trump beresonansi dengan dorongan adanya keperluan konsep Make Indonesia Great Again (MIGA). Mampukah ambisi ini dijalankan? 

Amerika Sudah “Ditamatkan” Tiongkok? 

Tiongkok semakin menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya bisa menyaingi Amerika Serikat (AS). Kini, kompetisi bagi AS bahkan datang di sektor yang didominasinya, yakni dunia artificial intelligence. Lantas, mungkinkah ini awal dari kejayaan Tiongkok yang menjadi nyata? 

AHY dan Jokowi’s Bamboo Trap?

Saling lempar tanggung jawab atas polemik pagar bambu laut di pesisir Kabupaten Tangerang memunculkan satu diskursus menarik mengenai head-to-head langsung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, diskursus itu menambah probabilitas eksistensi ranjau politik Jokowi terkait dengan pengaruh pasca presidensinya. Mengapa itu bisa terjadi?

Trump Ketar-ketir Lihat Prabowo-Anwar?

Prabowo dan PM Anwar Ibrahim bertemu kembali di Kuala Lumpur, Malaysia. Mungkinkah Prabowo dan Anwar kini sedang ‘bersaing’ satu sama lain?

“Segitiga Api” Prabowo, Salim dan Aguan

Ribut-ribut terkait pagar bambu di laut Tangerang yang dikait-kaitkan dengan PIK 2 jadi isu menarik dalam dinamika relasi antara penguasa dan konglomerat.

“Dosa” di Balik Siasat Trump Kuasai Antariksa 

Donald Trump, Presiden ke-47 Amerika Serikat (AS) memiliki ambisi yang begitu besar terhadap program keantariksaan. Mengapa demikian? 

Trump The Tech-cracy

Twitter/X, Google, Meta, Tiktok, Amazon, hingga Apple, semua tokoh utama perusahaan-perusahaan itu hadir saat pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.

Anies Masuk Kabinet Merah Putih?

Di tengah sorotan dan tuntutan untuk mengganti Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro yang diterpa dugaan kasus viral, satu ekspektasi muncul ke permukaan bahwa sosok yang tepat menjadi suksesornya adalah Anies Baswedan. Namun, jika di-invite ke kabinet, karier politik Anies bisa saja sepenuhnya akan ada di tangan Prabowo Subianto. Mengapa demikian?

More Stories

“Segitiga Api” Prabowo, Salim dan Aguan

Ribut-ribut terkait pagar bambu di laut Tangerang yang dikait-kaitkan dengan PIK 2 jadi isu menarik dalam dinamika relasi antara penguasa dan konglomerat.

Trump The Tech-cracy

Twitter/X, Google, Meta, Tiktok, Amazon, hingga Apple, semua tokoh utama perusahaan-perusahaan itu hadir saat pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.

Prabowo, Amartya Sen, dan Orde Baru

Program Makan Siang Bergizi (MBG) alias makan siang gratis yang kini sudah dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto nyatanya punya visi yang serupa dengan program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang merupakan program di era Orde Baru.