Pernyataan Prabowo soal akan menyetop impor jika menjadi Presiden menimbulkan perbincangan. Banyak yang mengkritik jika ucapan itu hanya sekedar utopia.
Pinterpolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]rabowo kembali memberikan pernyataan yang sensasional. Calon Presiden nomor urut 02 itu berjanji akan menghentikan impor di bidang pangan hingga energi.
Prabowo berujar, jika dirinya terpilih menjadi Presiden akan mewujudkan swasembada pangan dan swasembada bahan bakar.
Pernyataannya mendapatkan berbagai tanggapan, dan bagi sebagian besar orang, ucapan Prabowo itu hanya sekedar kampanye angin lalu alias hanya pepesan kosong.
Pangkal soalnya, frasa “kita tidak akan impor apa-apa” dinilai terlalu mengada-ngada dan tidak masuk akal. Sampai saat ini, masih ada bahan pangan yang perlu diimpor karena komoditasnya tidak bisa dihasilkan di dalam negeri, seperti kedelai dan gandum.
Namun, bagi simpatisan dan konstituen loyalnya, ucapan Prabowo tetap akan dianggap benar. Lebih dari itu, bagi masyarakat awam yang tidak memahami bagaimana cara impor bekerja, akan menganggap kampanye Prabowo bisa direalisasikan.
Sejak turun gelanggang dalam kontestasi Pilpres di tahun 2009, Prabowo kerap kali berkampanye dengan topik anti-impor dan terkesan mendengungkan nasionalisme ekonomi.
Oleh karenanya, penting untuk dipertanyakan, apakah impor adalah sebuah barang yang haram bagi sebuah negara? Serta seberapa perlu negara terutama Indonesia melakukan kegiatan ekspor-impor dalam konteks perdagangan bebas yang dianut oleh Indonesia?
Merkantilis, Nasionalisme Ekonomi
Pernyataan Prabowo tentang nasionalisme ekonomi mengingatkan kembali pada konsep merkantilisme yang terkenal pada masa Abad Pencerahan (Renaissance) di Eropa. Saat itu banyak negara-bangsa yang menerapkan ekonomi ketat dengan menimbun kekayaan – sumber daya alam, emas dan sejenisnya – sebagai ukuran kesejahteraannya.
Meski merkantilisme sudah berkembang pada rentang tahun 1500 hingga 1750, namun konsep ini baru diperkenalkan pada 1763 oleh Victor de Riqueti dan terutama oleh Adam Smith pada tahun 1776.
Merkantilisme dilatarbelakangi oleh pasca Perjanjian Westphalia yang melahirkan negara modern seperti Prancis, Inggris, Jerman, Belanda dan Italia. Negara-negara tersebut berusaha untuk mempertahankan kesejahteraan, kedaulatan, dan kebebasan rakyatnya. Oleh karenanya, dibutuhkan sebuah sistem ekonomi yang dapat dijadikan ukuran.
Robert Gilpin pada 1987 lewat konsep merkantilisme-nya mengemukakan ide utama bahwa subordinasi aktivitas ekonomi ke dalam pencapaian kepentingan politik dan pembangunan negara adalah penting.
Hal ini sejalan dengan pendapat Hans J. Morgenthau dalam Politics Among Nation yang menyatakan bahwa ekonomi merupakan salah satu unsur penting dalam national power atau kekuatan nasional. Oleh karena itu, kepentingan ekonomi nasional menjadi prioritas bagi pemerintah.
Sementara ekonom yang mempopulerkan nasionalisme ekonomi adalah John M. Keynes yang kemudian dikenal dengan aliran Keynesianisme. Ia mengungkapkan pentingnya intervensi negara dalam aktivitas ekonomi untuk mengatasi ketimpangan ekonomi yang lahir dari liberalisme pasar.
Konsep Keynes memang berhasil mengatasi masalah ekonomi di negara-negara barat pasca Great Depression pada dekade 1940-an dan merupakan antitesis kegagalan sistem kapitalisme pada waktu itu.
Dalam konteks Indonesia, ekonomi nasionalisme sudah menjadi jargon sejak pasca kemerdekaan itu sendiri. Soekarno, kala itu menggunakan konsep ini untuk melawan sisa-sisa cengkraman penjajah dengan melakukan nasionalisasi perusahaan asing.
Saat ini, Indonesia yang tengah merasakan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen tidak mengurangi keseriusannya untuk mengamankan sumber daya alam. Renegosisasi terhadap Freeport menjadi perbincangan yang cukup hangat bagaimana proses itu disangsi sekaligus dielu-elukan.
Menurut Ken Ward, dalam tulisannya di Nikkei Asian Review, ekonomi nasionalisme di Indonesia tidak hanya berbicara soal sumber daya hasil tambang. Salah satu yang menjadi ganjalan bagi sang petahana, Joko Widodo (Jokowi) adalah isu tentang tenaga kerja asing, khususnya yang berasal dari Tiongkok.
Di luar itu, Prabowo juga kerap kali menggunakan diktum-diktum tentang kebocoran aset atau ketergantungan terhadap impor untuk kampanye politiknya. Maka dari itu, bukan sebuah hal baru jika saat ini Prabowo lebih jauh mengumandangkan penyetopan keran impor.
Ditengah-tengah arus liberalisme ekonomi yang semakin timpang, narasi tentang nasionalisme ekonomi kembali menguat. Hal itu terjadi di berbagai negara, dan juga digunakan oleh Prabowo.
Impor Dalam Perdagangan Internasional
Yang menjadi perhatian saat ini adalah, apakah impor adalah sesuatu yang diharamkan dalam konteks negara? Serta bagaimana sebenarnya posisi impor dalam perdgangan internasional?
Dalam berbagai studi hubungan internasional, terdapat beberapa indikator yang mendorong negara melakukan perdagangan dengan negara lain. Di antaranya yakni, penguasaan ilmu dan teknologi, perbedaan kekayaan sumber daya alam, perbedaan selera, keinginan memperluas pasar dan menambah keuntungan, serta, kelebihan atau kekurangan produk dalam suatu negara.
Perdagangan internasional yang tercemin dari kegiatan ekspor dan impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).
Dalam kacamata David Ricardo, adanya perbedaan sumber daya (resources) mau tidak mau membuat negara untuk melakukan substitusi dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya.
David Ricardo terkenal dengan teori keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dikenal melalui bukunya Principles of Political Economy and Taxation.
Lebih lanjut, Ricardo berujar walaupun sebuah negara kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua jenis komoditi yang dihasilkan, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak.
Suatu negara dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan apabila total biaya untuk memproduksi barang secara absolut lebih murah dibandingkan biaya sumber daya untuk memproduksi barang yang sama di negara lain.
Ucapan Prabowo tidak akan impor apa-apa hanya menjadi kampanye pepesan kosong. Share on XKonsep keunggulan absolut kemudian berkembang lebih jauh menjadi keunggulan komparatif dikarenakan meskipun dua negara tidak unggul secara absolut pada suatu produk, tetapi suatu negara masih mendapatkan keuntungan dari kegiatan perdagangan.
Oleh karenanya, perdagangan internasional dengan katalis ekspor-impor adalah sebuah keniscayaan bagi suatu negara.
Indonesia sendiri memanfaatkan keunggulan komparatif dalam perdagangan internasional. Misalnya saja dalam konteks perminyakan. Minyak hasil produksi di Indonesia yang tidak dapat dimurnikan di dalam negeri akibat tidak terserap oleh kapasitas kilang minyak ataupun ketidaksesuain spesifikasi kilang dimurnikan di luar negeri dimana sebagian ditujukan untuk pemenuhan konsumsi domestik dan sebagian sisanya yang ditujukan untuk pasar di luar negeri.
Sebagian besar hasil minyak diekspor kedalam bentuk minyak mentah. Minyak mentah yang ditujukan untuk pemenuhan konsumsi domestik utamanya dimurnikan pada kilang-kilang minyak terdekat yakni di Singapura dan Malaysia.
Hal ini ditujukan untuk memastikan harga jualnya tetap kompetitif mengingat biaya transportasi logistik yang murah. Setelah pemurnian selesai dilakukan, selanjutnya Indonesia mengimpor minyak dari Singapura dan Malaysia kedalam bentuk hasil minyak yang siap untuk dikonsumsi.
Oleh karena itu, jika Indonesia menghentikan impor maka akan mendapatkan permasalahan dari negara lain. Kebijakan tersebut bisa menuai reaksi dengan sikap balasan terhadap Indonesia.
Yang diperlukan
Impor, dalam kadar tertentu dianggap buruk karena mengeluarkan pembayaran, terutama dengan mata uang asing. Apalagi jika nilai impor lebih besar dari pada ekspor.
Namun bukan berarti impor sepenuhnya tidak baik. Impor juga bisa menarik PDB suatu negara, misalnya suatu negara mengekspor barang mentah, kemudian ia mengolahnya hingga menjadi barang jadi. Barang itu kemudian dijual kembali ke pasar internasional sehingga mendpatkan keuntungangan dari sana. Di Indonesia, hal ini terjadi pada produk tekstil, misalnya.
Oleh karenanya, tidak tepat jika Prabowo menyatakan akan menyetop impor barang apa pun secara total. Barangkali, yang perlu diperhatikan oleh Prabowo adalah bagaimana menciptakan ketahanan ekonomi dan meningkatkan ekspor sehingga ekonomi tumbuh dengan baik.
Katanya sih mau hijrah dari pesimisme ke optimisme.
Tapi ketika @prabowo mencoba berjanji utk Swasembada terutama pangan tidak impor, mereka koq jadi pesimis?
Ga berani hijrah ke optimisme? Knp sih kalian itu cm besar dgn retorika semata?
Ayo optimis, kita bs swasembada.
— FERDINAND HUTAHAEAN (@Ferdinand_Haean) November 6, 2018
Karena jika melihat fakta hingga hari ini, Indonesia masih mengalami defisit perdagangan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor Indonesia tembus $ 16,24 miliar atau setara dengan Rp 234 triliun, tumbuh 19,33% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sementara impor naik 31,56% YoY menjadi $ 18,27 miliar atau setara dengan Rp 263 triliun. Sehingga defisit neraca perdagangan bulan lalu mencapai $ 2,03 miliar atau setara dengan Rp 29 triliun.
Selain itu, jalan yang lebih realistis adalah dengan mengusahakan untuk swasembada pangan. Memang butuh waktu, keseriusan, dan kerja yang intens. Namun perlu juga kebijakan afirmatif kepada komoditas pangan tersebut. Karena tanpa adanya intervensi, maka sektor ini juga masih akan kalah dari perusahaan-perusahaan besar.
Oleh sebab itu, lebih baik Prabowo menyudahi kampanye-kampanye yang mengawang. Menyitir ucapan dari Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), sampai zaman kuda gigit besi cita-cita Prabowo untuk setop impor tidak akan terealisasi. (A37)