Tim Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dikabarkan akan melaporkan dugaan kecurangan Pemilu 2019 ke Mahkamah Internasional usai diputuskannya hasil sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Kabar ini bisa jadi berkaitan dengan negosiasi yang desas-desusnya sedang dalam proses.
PinterPolitik.com
“Play your card ‘cause we know that you bluffin’” – Joey Bada$$, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Drama kecurangan Pemilu 2019 tampaknya masih belum sepenuhnya berakhir. Usai putusan MK diumumkan kemarin, Prabowo-Sandi disinyalir masih belum bersedia untuk memberi selamat kepada paslon nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin.
Sebelumnya, berbagai jalur hukum dan konstitusional telah ditempuh oleh Prabowo-Sandi dan timnya guna menggugat kecurangan Pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif. Menurut pihaknya, berbagai kecurangan ini diupayakan untuk mengubah hasil Pemilu yang sebenarnya dimenangkan oleh Prabowo-Sandi sebesar 52 persen.
Berbagai dugaan kecurangan yang diadukan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam langkah awal Prabowo-Sandi berujung pada hasil yang kurang memuaskan bagi kubunya. Selain itu, berbagai aksi yang ditujukan untuk memprotes hasil Pemilu yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga berakhir pada bentrok dan kekerasan hingga menimbulkan korban jiwa.
Setelah ditolak oleh Mahkamah Internasional, pasukan codot akan membawa masalah ini ke Mahkamah Tata Surya.
Kita tunggu saja.
— Habib Think (@habibthink) June 28, 2019
Gugatan ke MK yang disebut-sebut sebagai endgame dalam kontestasi Pilpres ini nyatanya masih belum dapat membuahkan hasil bagi kubu Prabowo-Sandi. Meskipun menghormati putusan MK, Prabowo-Sandi disebut-sebut masih belum menerima hasil tersebut dan menyatakan bahwa pihaknya berkonsultasi dengan tim hukumnya guna mencari jalur hukum lain.
Tampaknya, ide mengenai jalur hukum alternatif lainnya ini telah diungkapkan oleh Abdullah Hehamahua. Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini mengajak para pendukung Prabowo-Sandi untuk berangkat ke Komnas HAM guna melaporkan berbagai dugaan pelanggaran HAM terkait Pemilu 2019, seperti meninggalnya sejumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Selain itu, Abdullah juga ingin melaporkan dugaan kecurangan Pemilu 2019 – terutama terkait berbagai persoalan di balik Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU – ke peradilan internasional. Menurutnya, peradilan internasional memiliki tim audit forensik yang mumpuni.
Jika benar usulan Abdullah akan dilakukan, apakah benar peradilan internasional memiliki kewenangan dan yurisdiksi terkait dugaan kecurangan Pemilu? Lalu, mengapa Mahkamah Internasional kerap digembar-gemborkan sebagai solusi oleh kubu Prabowo-Sandi?
Mahkamah yang Mana?
Usulan untuk membawa persoalan kecurangan Pemilu ke Mahkamah Internasional dari kubu Prabowo-Sandi sebenarnya bukanlah hal baru. Kubu ini kerap melemparkan usulan ini sejak mengendus kemungkinan adanya kecurangan.
Adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, misalnya pernah melemparkan isu ini beberapa bulan lalu dengan menyatakan bahwa pihaknya akan melaporkan berbagai dugaan kecurangan yang ada pada berbagai lembaga internasional, seperti Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ). Selain Hashim, Amien Rais juga pernah mengancam akan melaporkan Menkopolhukam Wiranto ke Mahkamah Internasional terkait Tim Asistensi Hukum yang dibentuknya.
Bisa jadi, cara berpikir tim Prabowo-Sandi ini sejalan dengan pemikiran monis terkait hukum internasional. Menurut Carolyn A. Dubay, monisme melihat hukum internasional sebagai kepanjangan dari hukum domestik, di mana hukum internasional memiliki posisi yang lebih superior.
Namun, tantangan lain dapat menjadi aral bagi kemungkinan tersebut. Negara dianggap tetap memiliki kedaulatan sendiri sehingga membuat hukum internasional tidak memiliki kekuatan penuh yang mengkontrol negara. Dari sini, pemikiran dualis melihat hukum internasional sebagai dikotomi dan dianggap tidak lebih tinggi dibandingkan hukum domestik.
Pemikiran dualis ini bisa jadi benar. Pasalnya, hukum internasional selalu menekankan pada eksistensi persetujuan (consent) dari subjek-subjek hukum untuk terlibat dalam suatu perjanjian dan mekanisme penyelesaian hukum. Sebagian besar lembaga peradilan internasional juga tidak dapat serta-merta turut campur dalam urusan domestik.
Sebagian besar lembaga peradilan internasional juga tidak dapat serta-merta turut campur dalam urusan domestik. Share on XMahkamah Internasional (ICJ) misalnya, merupakan lembaga peradilan internasional yang berada di bawah naungan PBB. Lembaga ini tidak memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa yang terjadi antara pelaku-pelaku domestik.
Dalam situsnya, ICJ menjelaskan bahwa lembaga ini berperan untuk menyelesaikan sengketa hukum antar-negara – khususnya negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di mana negara-negara yang bersengketa telah sepakat untuk membawa kasus tersebut ke ICJ.
Selain ICJ, terdapat juga Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC). Mahkamah ini biasanya berperan ketika impunitas membatasi kemampuan hukum dan peradilan domestik untuk mengadili si pelanggar.
Mungkin, mekanisme peradilan inilah yang dimaksud oleh kubu Prabowo-Sandi karena ICC dapat mencampuri urusan domestik apabila peradilan nasional gagal menyelesaikan suatu persoalan hukum. Meskipun begitu, ICC sendiri hanya berwenang untuk mengadili persoalan hukum berupa kejahatan kemanusiaan, seperti genosida dan kejahatan perang.
Selain itu, ICC juga tetap dibatasi oleh adanya kedaulatan negara. Layaknya perjanjian internasional lainnya, yurisdiksi ICC hanya dibatasi pada negara-negara yang menyepakati dan meratifikasi Statuta Roma – perjanjian internasional yang mendasari berdirinya ICC.
Artinya, negara-negara di luar itu tidak mengakui yurisdiksi ICC. Indonesia sendiri tidak termasuk dalam negara-negara yang telah meratifikasi Statuta Roma.
Pada akhirnya, benar apa yang diungkapkan oleh Mantan Ketua MK, Mahfud M.D., bahwa tidak ada mekanisme peradilan internasional yang dapat menyelesaikan persoalan kecurangan Pemilu 2019. Bila memang benar begitu, mengapa kubu Prabowo-Sandi tetap mengusung usulan ini?
Belum Ada Kesepakatan?
Jika memang persoalan dugaan kecurangan Pemilu tidak mungkin dapat dibawa ke mekanisme hukum internasional, kubu Prabowo-Sandi bisa jadi tengah membuat strategi lain. Mungkin, kubunya melontarkan usulan tersebut sebagai sebuah gertakan (bluffing).
Michael Laver dalam tulisannya yang berjudul How to Be Sophisticated, Lie, Cheat, Bluff and Win at Politics menjelaskan bahwa gertakan dilakukan dengan memberikan kesan bahwa penggertak memiliki intensi dan sumber tertentu yang sebenarnya tidak eksis atau tidak dimiliki. Teknik menggertak ini sering kali digunakan dalam permainan kartu poker guna mengelabui lawan.
Namun, kubu Jokowi-Ma’ruf sendiri tampaknya telah mengetahui bahwa usulan untuk membawa isu kecurangan Pemilu ke Mahkamah Internasional merupakan sebuah gertakan. Pasalnya, berbagai pihak, termasuk Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, menyatakan bahwa tidak ada lagi jalur hukum yang dapat mengadili perihal Pemilu.
Lalu, apa alasan kubu Prabowo-Sandi untuk tetap menggertak dengan usulan tersebut?
Mungkin, Prabowo ingin tetap memiliki kekuatan untuk menekan kubu Jokowi-Ma’ruf. Menurut Kun Li dan tim penulisnya dalam tulisan mereka yang berjudul “Bluffing promotes overconfidence on social networks,” gertakan memiliki efek tersendiri bagi kondisi psikologis sebuah kelompok.
Melalui gertakan, kelompok ini akan merasa percaya diri dengan kemampuannya. Dengan mengutip berbagai ahli, Kun Li dan tim penulisnya menjelaskan bahwa kepercayaan diri yang berlebih inilah yang membawa dampak-dampak yang menguntungkan berupa peningkatan akan semangat juang, ambisi, keteguhan, dan kegigihan kelompok tersebut.
Bisa jadi, gertakan ini berkaitan dengan upaya kohabitasi antara Jokowi dan Prabowo. Pasalnya, Mantan Danjen Kopassus tersebut belum juga memberikan concession speech – jenis pidato yang dilakukan untuk mengakui kekalahan dalam Pemilu – di tengah desas-desus akan adanya negosiasi untuk menentukan arah kohabitasi tersebut.
Dilansir dari laporan Majalah Tempo edisi 24-30 Juni 2019, kedua kubu sedang melakukan negosiasi untuk berbagi posisi dan jabatan strategis. Kubu Prabowo disebut-sebut menyodorkan usulan porsi 212, yakni dua kursi menteri, satu kursi wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan dua kursi jabatan di Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Prabowo sendiri dianggap bisa mengisi kursi jabatan Wantimpres.
Selain itu, laporan Majalah Tempo tersebut juga melaporkan bahwa sang Ketum Gerindra tersebut telah menemui Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Budi Gunawan, untuk berdiskusi terkait hal tersebut.
Terkait hal tersebut, tidak heran apabila gertakan akan tetap dilontarkan pihak di lingkaran Prabowo-Sandi apabila negosiasi-negosiasi tersebut belum mencapai kata sepakat, apalagi dengan dukungan kekuatan kelompok akar rumput yang memiliki pengaruh tersendiri. Abdullah beberapa waktu lalu misalnya, mengajak massa pendukung Prabowo-Sandi untuk kembali turun ke jalan untuk bergerak ke Komnas HAM dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Jika benar begitu, lirik rapper Joey Bada$$ di awal tulisan pun menjadi relevan. Bisa jadi, pihak tertentu kini sedang memainkan kartu lain meskipun telah diketahui bahwa hal itu hanyalah sebuah gertakan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (A43)