Site icon PinterPolitik.com

Mungkinkah Prabowo ‘Jadi’ Biden?

Mungkinkah Prabowo ‘Jadi’ Biden

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto (kiri) ketika berkunjung dan melakukan diplomasi pertahanan di Rusia. (Foto: Kementerian Pertahanan Rusia)

Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) 2020 dikabarkan dimenangkan oleh calon presiden dari Partai Demokrat AS, yakni Joe Biden. Kira-kira, pelajaran apa yang dapat diperoleh oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bila ingin maju dalam Pilpres 2024?


PinterPolitik.com

“Yeah, my homies still” – Lil Wayne, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Kesuksesan orang lain terkadang dapat menjadi pelajaran bagi perkembangan diri. Tidak dapat dipungkiri, langkah-langkah sukses itu kerap menjadi panduan untuk kita yang ingin mencapai kesuksesan yang sama.

Inspirasi kisah kesuksesan ini mungkin bisa diamati di seri anime yang berjudul Boruto: Naruto Next Generations (2017-sekarang). Dalam seri yang juga merupakan franchise dari Naruto ini, Boruto Uzumaki – putra dari Naruto Uzumaki yang menjadi seorang Hokage – ini juga memiliki perjuangannya sendiri untuk menjadi ninja yang hebat.

Meski ayahnya merupakan seorang Hokage, Boruto justru tidak terlalu ingin mengikuti jejak ayahnya. Putra dari Naruto dan Hinata Hyuga itu malah terinspirasi sahabat ayahnya, yakni Sasuke Uchiha.

Baginya, Sasuke merupakan salah satu ninja terkuat dari Desa Konoha. Selain itu, tidak seperti Naruto yang terjebak dengan segudang jadwal sebagai Hokage, Sasuke lebih dilihat Boruto sebagai orang yang bebas dan bisa menentukan sendiri apa yang akan dilakukannya.

Bukan tidak mungkin, Boruto suatu hari akan mengikuti jejak Sasuke yang berjuang dengan mengembara. Lagipula, sahabat Naruto satu ini juga memutuskan untuk menjadi guru bagi Boruto.

Mungkin, kisah inspiratif Sasuke bagi Boruto ini juga perlu diikuti oleh sejumlah politikus Indonesia di dunia nyata – khususnya bagi mereka yang disebut-sebut akan maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Bukan tidak mungkin, ini dapat jadi pelajaran bagi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang dianggap memiliki elektibalitas tertinggi untuk tahun 2024 nanti.

Inspirasi ala Sasuke ini bisa saja didapatkan dari mana saja. Salah satu yang mungkin bisa menjadi inspirasi adalah kemenangan Joe Biden di Pilpres Amerika Serikat (AS) 2020.

Bagaimana tidak? Kemenangan Biden disebut-sebut bak mimpi yang menjadi kenyataan bagi sebagian masyarakat AS – dan dunia. Sampai-sampai, kemenangan itu dianalogikan seperti kembalinya Jedi di film Star Wars: Return of the Jedi (1983).

Terlepas dari itu, kira-kira, pelajaran apa yang dapat diilhami dari kemenangan Biden dan Kamala Harris di AS? Lantas, mengapa Prabowo perlu mengikuti jejak Biden?

Perimbangan Nasionalis-Liberalis?

Bukan tidak mungkin, kemenangan Biden dapat memberikan pelajaran soal taktik dan strategi politik dalam memenangkan sebuah Pemilu. Pasalnya, mantan Wakil Presiden AS tersebut dikenal dapat menjembatani dua kelompok yang saling berseberangan di negara Paman Sam tersebut.

Seperti yang banyak orang ketahui, gelombang nasionalisme terus meningkat di dasawarsa 2010-an. Hal ini memunculkan gelombang dan gerakan politik baru yang disebut-sebut dapat mengancam tatanan politik yang telah berdiri sebelumnya, yakni liberalisme.

Asumsi seperti ini juga dijelaskan oleh John Joseph Mearsheimer – profesor politik dan Hubungan Internasional (HI) dari University of Chicago – dalam pidatonya ketika mendapatkan penghargaan James Madison Awards pada September 2020 lalu.

Dalam sebuah pidato yang berjudul Liberalism and Nationalism in Contemporary America, Mearsheimer menjelaskan bahwa nasionalisme merupakan salah satu ideologi dan kelompok yang paling kuat sepanjang sejarah.

Nasionalisme sendiri merupakan sebuah ideologi atau pemikiran yang mampu mengikat sekelompok manusia menjadi satu identitas tersendiri. Mearsheimer pun mengutip sebuah konsep yang dicetuskan oleh Benedict Anderson, yakni imagined community (komunitas terbayang) – menciptakan atribut-atribut bayangan yang membedakan sebuah kelompok bangsa dengan bangsa-bangsa lainnya.

Dalam pidato itu, Mearsheimer juga membeberkan sejumlah alasan mengapa nasionalisme tetap bertahan di tengah tatanan liberal. Beberapa di antaranya adalah karena ideologi ini sejalan dengan sifat alamiah manusia (human nature) yang membutuhkan kelompok. Selain itu, nasionalisme dinilai juga memenuhi kebutuhan emosional dari manusia.

Mearsheimer pun menjelaskan mengapa nasionalisme kini dapat bangkit kembali meskipun tatanan liberal telah terbangun dengan baik setelah Perang Dingin berakhir. Salah satu alasannya adalah liberalisme itu sendiri.

Liberalisme membuat tatanan ekonomi menjadi tidak terbatas – meninggalkan perasaan kesatuan yang dibangun dalam komunitas terbayang. Liberalisme gagal menjadi pengikat bagi perasaan kesatuan (sense of unity) yang dibawa nasionalisme.

Globalisasi ekonomi, misalnya, menciptakan elite-elite baru yang bergerak secara global. Alhasil, backlash dari nasionalisme pun muncul. Ketidakpuasan dari kelompok bangsa sendiri memuncak dan memberikan gelombang politik baru.

Fenomena ini – mengacu pada Mearsheimer – memunculkan sosok-sosok politikus nasionalis dan konservatif di negara-negara Barat, seperti Donald Trump di AS dan Boris Johnson di Britania Raya (atau Inggris).

Dengan mengutip pemikiran Mearsheimer soal nasionalisme ini, Stephen M. Walt dalam tulisannya yang berjudul Biden Needs to Play the Nationalism Card Right Now menjelaskan bahwa Biden pun perlu memerhatikan isu-isu yang dibawa oleh kelompok nasionalis-konservatif karena nasionalisme – seperti yang dijelaskan oleh Mearsheimer – tetap merupakan kekuatan politik yang kuat.

Dari sini, kehadiran sosok Biden yang didukung Partai Demokrat AS bisa jadi wajar. Pasalnya, meski merupakan anggota dari partai yang notabene progresif, Biden disebut memiliki kedekatan dengan kelompok-kelompok konservatif di AS – bahkan juga di Eropa.

Ini juga terlihat dari bagaimana sejumlah politisi Partai Republik AS memilih untuk mendukung Biden dibandingkan Trump dalam Pilpres AS 2020. Kelompok yang dikenal sebagai Lincoln Project, misalnya, merupakan orang-orang Partai Republik yang berusaha menjegal Trump di Pilpres ini.

Bila Biden bisa menjadi jembatan bagi kelompok progresif dan kelompok konservatif-nasionalis, mungkinkah tokoh serupa muncul di Indonesia? Apakah mungkin Prabowo sebagai salah satu capres potensial mampu menjadi Biden ala Indonesia?

Prabowo, Biden ala Indonesia?

Dengan kuatnya gerakan nasionalisme, bukan tidak mungkin capres tahun 2024 nanti perlu meniru posisi Biden yang dapat menjadi jembatan bagi dua kelompok yang berseberangan. Prabowo bisa jadi perlu melakukan manuver serupa untuk menjaga jembatan antara dua kubu politik di Indonesia.

Pasalnya, apa yang dijelaskan oleh Mearsheimer bukan tidak mungkin juga terjadi di Indonesia. Berkembangnya narasi akan adanya peran elite asing ini mulai terlihat dari polemik Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) – atau yang biasa disebut sebagai omnibus law.

Polemik UU ini juga sempat memunculkan gelombang protes dari kelompok mahasiswa dan buruh. Belum lagi, kontroversi ini telah memicu aksi protes dari kelompok-kelompok yang memiliki kecenderungan spektrum politik kanan ekstrem.

Pada Oktober lalu, misalnya, Persaudaraan Alumni (PA) 212 melakukan sebuah aksi protes guna menolak omnibus law yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada awal bulan. Sebastian Strangio dalam tulisannya di The Diplomat menjelaskan bahwa polemik UU ini bisa menjadi momentum politik bagi kelompok-kelompok konservatif ini.

Apalagi, kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) beberapa waktu lalu disebut-sebut juga akan memberikan dorongan pada poros oposisi untuk menyoroti berbagai UU yang kontroversial. Ini terlihat dari bagaimana manuver politik yang dilakukan HRS bersama PKS yang mulai membentuk tim untuk mengkaji UU Ciptaker yang telah diteken oleh Presiden Jokowi.

Bila benar begitu, apa yang dibilang Mearsheimer bisa jadi benar. Nasionalisme konservatif akan kembali memenuhi diskursus politik di Indonesia – dengan adanya asumsi bahwa pemerintah merupakan bagian dari elite asing yang tidak memedulikan nasib saudara sebangsanya sendiri.

Selain itu, bukan tidak mungkin bangkitnya momentum politik sayap kanan di Indonesia ini akan memberikan dampak pada dinamika politik pada tahun 2024 mendatang. Layaknya di AS, Trump pada tahun 2016 pun muncul melalui gelombang nasionalisme yang disebutkan oleh Mearsheimer.

Bisa jadi, siapapun capres yang muncul pada tahun 2024 nanti, perlu menjembatani suara progresif dan suara konservatif. Layaknya Biden, sosok capres tersebut juga bisa jadi perlu dapat diterima di kubu konservatif.

Apakah Prabowo dapat mengisi peran ala Biden tersebut? Bisa jadi iya dan bisa juga tidak. Semua bergantung kembali pada manuver dan strategi politik yang diterapkan oleh Prabowo.

Sang Menteri Pertahanan (Menhan) bisa jadi telah membuat kecewa sejumlah elemen di kubu Islam konservatif. Meski begitu, ikatan masa lalu bukan tidak mungkin dapat dibangun kembali.

Setelah HRS pulang, misalnya, Prabowo disebut-sebut akan segera menemui pemimpin Front Pembela Islam (FPI) dan PA 212 tersebut. Selain itu, Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo juga mulai terlihat bermanuver untuk mendekati kembali HRS.

Manuver ini terlihat dari bagaimana Wakil Ketua Umum (Waketum) Gerindra Fadli Zon menemui HRS beberapa waktu lalu. Sinyal kembalinya partai berlambang kepala burung Garuda itu untuk mendekati HRS pun kembali menguat.

Bila benar manuver ini tengah dilakukan oleh Gerindra, boleh jadi Prabowo tengah membangun apa yang disebut sebagai Third Way. Konsep ini menekankan pada penyatuan terhadap berbagai spektrum politik – seperti yang dilakukan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair.

Meskipun begitu, gambaran kemungkinan ini belum pasti benar adanya – mengingat masih terdapat waktu hingga 3 tahun lebih untuk menyongsong Pilpres 2024. Mari kita nantikan sajalah manuver sang Ketum Gerindra ini. (A43)

Exit mobile version