Akhir-akhir ini, isu Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto yang disebut akan menggantikan peran Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden (wapres) tengah menjadi bola panas yang mengundang berbagai perdebatan. Lantas, mungkinkah isu tersebut menjadi kenyataan?
“Ekonomi selalu mendasarkan dan mengakarkan dirinya dalam kehidupan sosial dan mustahil dipahami terpisah dari persoalan yang lebih besar, yakni tentang bagaimana masyarakat modern mengorganisasikan dirinya” – Francis Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity
Sedari awal, tidak sedikit yang menyebutkan bahwa Ma’ruf Amin bukanlah pilihan nomor satu Joko Widodo (Jokowi) untuk menemaninya maju di gelaran Pilpres 2019. Kita tentu masih ingat, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang kala itu hampir pasti menemani mantan Wali Kota Solo tersebut.
Akan tetapi, dengan berbagai tekanan politik yang ada, nama Ma’ruf akhirnya lebih dipilih guna memperbesar peluang untuk memenangkan kontestasi pemilu. Terlebih lagi, narasi Jokowi anti kelompok Islam ramai bergulir saat itu.
Kini, tudingan minor bahwa Ma’ruf hanya dijadikan pendulang suara di Pilpres 2019 tampaknya mulai menemui afirmasinya. Bagaimana tidak, peran Ma’ruf dinilai tidak signifikan di pemerintahan. Tidak mengherankan kemudian istilah Wapres AFK (away from keyboard) jamak bermunculan di lini sosial media.
Terbaru, isu Ma’ruf akan digantikan oleh Menhan Prabowo Subianto tengah menjadi bola panas tersendiri. Menanggapi isu ini, pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun terlihat memberikan pandangan bila kemungkinan isu tersebut teraktualisasi.
Menurut Ubed, jika isu ini benar, terdapat empat hal yang dapat disimpulkan. Pertama, ini menunjukkan pembagian kerja antara Presiden Jokowi dengan Wapres Ma’ruf tidak jelas. Kedua, ini menunjukkan bahwa Ma’ruf tidak mampu bekerja secara maksimal.
Ketiga, ada skenario di lingkungan Istana untuk menggeser peran Ma’ruf. Keempat, Ma’ruf sejak awal tidak didesain untuk bertahan sampai 5 tahun masa pemerintahan.
Tidak seperti Ubed, berbagai politisi lainnya, mulai dari Demokrat, PPP, hingga Gerindra menanggapi minor isu tersebut. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono bahkan berkomentar keras dengan menyebutkan bahwa isu ini adalah hoaks dan merupakan upaya untuk memecah belah Presiden Jokowi dengan Nahdlatul Ulama (NU), serta ingin membuat kekacauan semata.
Di luar perdebatan yang tercipta akibat isu ini, katakanlah agenda untuk menggeser Ma’ruf benar adanya, kira-kira apa rasionalisasi di balik upaya tersebut?
Upaya yang Memungkinkan?
Sebelum menuju analisa politik, tentu harus dibedah terlebih apakah pergantian wapres di tengah jalan dimungkinkan secara hukum.
Ma’ruf sebenarnya bukanlah wapres pertama yang didera isu pemakzulan semacam ini. Pada 2010 lalu, Wapres Boediono juga didera isu serupa. Kendati konteks masalahnya berbeda, kasus penalangan dana Bank Century yang menyeret nama mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) tersebut hampir saja benar-benar membuatnya didepak dari kursi RI 2.
Pada saat itu, Mahfud yang masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tampak memberikan pembelaan terhadap Boediono dengan menegaskan, kendati terdapat mekanisme pergantian wapres di tengah jalan, terdapat proses hukum panjang yang harus dilalui sebelum mendepak pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.
Di luar panjangnya proses hukum yang dilalui, secara hukum, kita tentu sepakat bahwa pergantian Ma’ruf dapat saja terjadi. Katakanlah nantinya terjadi kekosongan kursi wapres, ini bisa dengan memainkan isu kesehatan Ma’ruf ataupun narasi lainnya, dalam Bab XIX Tata Cara Pemilihan dan Pelantikan Wakil Presiden Dalam Hal Terjadi Kekosongan Jabatan Wakil Presiden, mekanisme pergantian wapres diatur dengan jelas.
Setelah terjadinya kekosongan kursi wapres, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) akan menyelenggarakan Sidang Paripurna paling lama 3×24 jam (Pasal 112 ayat 3). Setelah itu, MPR akan mengirim surat ke presiden untuk meminta usulan dua nama yang diajukan sebagai wapres selambatnya dalam 14 hari (Pasal 112 ayat 6). Setelah wapres terpilih ditetapkan, MPR kemudian menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk melakukan pelantikan (Pasal 114 ayat 1).
Menimbang pada adanya mekanisme hukum yang mengatur, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah terlihat menanggapi santai isu pergantian Ma’ruf dengan menyebutkan Presiden Jokowi dapat mengusulkan dua nama jika kursi wapres benar-benar kosong nantinya.
Akan tetapi, karena dua nama yang diusulkan, ini membuat peluang Prabowo – jika diusulkan – menjadi 50:50 untuk menjadi wapres menemani Presiden Jokowi. Nama yang lain kemungkinan besar adalah Mahfud yang memang hampir menjadi pasangan mantan Wali Kota Solo tersebut di Pilpres 2019 lalu.
Singkatnya, isu yang menyebutkan Prabowo akan menggantikan peran Ma’ruf sangat mungkin secara teoretis. Terkait persentase aktualisasinya, itu bergantung pada deal-deal politik yang ada. Presiden Jokowi juga harus bersiap menerima gejolak politik karena massa NU tidak mungkin berdiam diri jika Ma’ruf diganti di tengah jalan.
Sekarang, katakanlah isu ini benar, mengapa Ma’ruf harus diganti?
Kalkulasi Ekonomi?
Niccolo Machiavelli dalam bukunya Discourses dapat membantu kita memahami rasionalisasi di balik munculnya isu tersebut. Dalam pengamatannya terhadap pergantian pemimpin-pemimpin Roma, Machiavelli menyimpulkan bahwa jika pemimpin yang baru tidak secakap pemimpin sebelumnya, maka ia hanya dapat mempertahankan kekuasaannya selama sesaat, bahkan tidak mampu mempertahankan negaranya.
Pada kasus Ma’ruf, tidak sedikit pihak yang membandingkan kecakapan sang kiai dengan wapres sebelumnya, Jusuf Kalla (JK). Pasalnya, ketika menjabat sebagai wapres ketika mendampingi Presiden Jokowi, Jk jamak dinilai diberikan porsi tugas yang signifikan, khususnya mengurus ekonomi dan melakukan diplomasi, baik dalam dan luar negeri.
Sebagaimana diketahui, JK adalah pebisnis ulung yang memiliki jaringan bisnis yang luas. Selain itu, kemampuan diplomasi JK membuatnya kerap dikirim mewakili Presiden Jokowi berbicara di forum-forum internasional.
Jika benar Ma’ruf dinilai tidak secakap JK, boleh jadi telah terjadi distrust atau ketidakpercayaan terhadap tokoh senior NU tersebut. Distrust ini pula yang sepertinya terjadi di tengah masyarakat, menimbang pada ramainya sebutan Wapres AFK di berbagai lini sosial media.
Francis Fukuyama dalam bukunya Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, menegaskan bahwa trust atau kepercayaan adalah pengikat yang membuat kerja sama menjadi efisien dan berjalan dengan baik. Artinya, jika defisit trust tengah terjadi, seperti dalam pernyataan Ubed, besar kemungkinan Ma’ruf memang tidak diberikan porsi tugas yang jelas karena kecakapan dirinya diragukan.
Fukuyama dalam bukunya The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order menyebutkan bahwa kapitalisme memang memiliki potensi untuk membuat agen-agen yang terlibat di dalamnya untuk mengabaikan perkara moral dan etika.
Singkatnya, jika Ma’ruf dinilai tidak mampu membantu membawa ekonomi Indonesia menjadi lebih baik, boleh jadi itu menjadi alasan untuk mendepak sang wapres. Sebagaimana yang disebutkan oleh Fukuyama, masalah politik dewasa ini pada dasarnya berputar di sekitar persoalan-persoalan ekonomi.
Melihat gelagat yang ada, kemampuan untuk mengembangkan ekonomi memang telah menjadi kebanggaan dan standar kesuksesan bagi seorang pemimpin saat ini.
Dalam postulat yang ditelurkan oleh kaum Marxis, masalah ekonomi telah lama diasumsikan sebagai dasar dari segala persoalan yang ada. Bagi mereka, masalah politik, pendidikan, dan seterusnya, tidak lain berdiri di atas masalah ekonomi. Ini yang membuat para Marxis memperjuangkan alat-alat produksi harus dimiliki secara bersama agar ketimpangan ekonomi tidak terjadi.
Kendati Fukuyama berkonsentrasi mempromosikan agar trust harus dibangun di tengah masyarakat, promosi moral tersebut sebenarnya bertujuan untuk menciptakan peningkatan kapasitas produksi. Artinya, akar masalah yang diangkat Fukuyama sebenarnya adalah masalah ekonomi.
Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan dua hal. Pertama, secara hukum pergantian Ma’ruf memang memungkinkan. Kedua, rasionalisasi pergantian Ma’ruf – jika isu ini benar – adalah alasan ekonomi karena sang wapres dinilai tidak secakap pendahulunya.
Munculnya nama Prabowo sebagai pengganti Ma’ruf juga sangat beralasan, selain memiliki pengaruh politik yang besar, Ketua Umum Partai Gerindra ini juga seorang pebisnis sukses yang memiliki relasi luas seperti halnya JK.
Akan tetapi, penjelasan ini tentunya hanya sebatas probabilitas semata. Kita lihat saja sejauh mana isu ini akan bergulir nantinya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)