Site icon PinterPolitik.com

Mungkinkah Poros Ketiga di 2024?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (tengah) menikmati hidangan makan malam dengan pemimpin-pemimpin partai politik (parpol) koalisi Jokowi-Ma’ruf Amin pada Juli 2018. (Foto: Koran Tempo)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (tengah) menikmati hidangan makan malam dengan pemimpin-pemimpin partai politik (parpol) koalisi Jokowi-Ma’ruf Amin pada Juli 2018. (Foto: Koran Tempo)

Pembicaraan mengenai pembentukan poros ketiga dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2024 kembali mencuat ke publik. Mungkinkah poros ini terwujud? Dan, mengapa kita membutuhkan poros ketiga dalam pilpres?


PinterPolitik.com

Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ahmad Baidowi mengatakan poros ketiga masih sangat mungkin terbentuk. Dalam kesempatan yang sama, ia juga memaparkan bahwa partainya kemungkinan besar akan bergabung dengan poros tersebut.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani menyebutkan bahwa memiliki calon presiden (capres) lebih dari dua pasangan merupakan gol pemilihan umum (Pemilu) 2024. Lebih lanjut, Arsul mengatakan bahwa dibutuhkan lebih dari dua pasangan kandidat capres untuk menghindari polarisasi atau pembelahan di masyarakat. 

Seperti yang diketahui, tren polarisasi muncul sejak Pilpres 2014, di mana hanya ada dua kandidat capres yakni Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yuda menyambut baik wacana kehadiran poros ketiga

Akan tetapi, Hanta menilai bahwa, walau poros ketiga ini secara matematis masih mungkin untuk terbentuk, peluang kehadirannya dinilai sangat kecil. Hal ini menarik untuk dianalisis, mengapa kita membutuhkan poros ketiga? Dan, mungkinkah poros ketiga ini terwujud di Pilpres 2024?

Mungkinkah Terwujud?

Bertolak dari ambang batas syarat pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) sebesar 20% kemungkinan terbentuknya tiga poros dalam Pilpres sebenarnya masih sangat memungkinkan. Jika kita simulasikan, partai-partai yang saat ini dikabarkan sedang gencar melakukan pembicaraan untuk membentuk poros ketiga — seperti PPP, PKS, PAN, PKB dan Demokrat — jika digabung perolehan suaranya tentunya telah melewati ambang batas syarat minimal pencalonan presiden sebesar 20 persen. Namun, walau secara matematis memungkinkan, dalam praktiknya kehadiran poros ketiga ini dinilai sulit untuk terwujud. 

Melihat dari sejarah dan pengalaman pembentukan poros serupa, ada beberapa faktor yang dinilai dapat menjadi ganjalan dari kehadiran poros ini. Pertama, setiap partai dinilai memiliki kepentingan masing-masing. Persoalan moderasi yang bercirikan pragmatisme politik tampaknya menjadi ganjalan utama. 

Tidak hanya di lingkup partai politik, persoalan internal semacam itu juga terjadi di gerakan politik lainnya, misalnya seperti gerakan feminisme di Amerika Serikat (AS). Meskipun setiap gerakan feminis memiliki ideologi yang sama, yakni menciptakan kesetaraan gender, apa yang terjadi justru adalah perpecahan karena setiap gerakan memiliki metode atau cara yang berbeda untuk menuju tujuan tersebut..

Artinya, partai-partai menengah yang ada, jika memang ingin menjadi pemenang, atau setidaknya mengulang kejayaan poros tengah di era awal reformasi, sikap pragmatisme dengan meredam kepentingan masing-masing sangatlah krusial. John McGowan dalam bukunya Pragmatist Politics juga menjelaskan bahwa sikap pragmatis dilakukan dengan mengorbankan komitmen dan keyakinan sektoral untuk meraih tujuan tertentu.

Baca Juga: Wacana PKS Buat Poros Ketiga

Dalam kasus ini, salah satu contoh pertentangan yang bisa diakibatkan oleh adanya kepentingan masing-masing partai misalnya dalam menentukan siapa sosok prominen yang dapat diusung dan maukah mereka berkoalisi satu sama lain. Terkait hal ini, walaupun poros ketiga ini nantinya akan diisi oleh mayoritas partai politik yang mempunyai ideologi sama yaitu Islam, partai-partai tersebut dinilai memiliki diferensiasi dan representasi yang berbeda satu sama lain. 

Dalam politik, hal ini disebut sebagai political barriers atau sekat politik antara partai yang memiliki ideologi sama. Dalam kasus ini, misalnya partai islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang memiliki representasi konstituen berlatar belakang Nahdlatul Ulama (NU) dan Islam yang cenderung tradisionalis dinilai bertentangan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang cenderung mewakili segmentasi yang berbeda, yaitu gerakan tarbiyah. Belum lagi, PPP dengan basis NU kulturalnya dinilai berseberangan dengan Partai Amanat Nasional (PAN) yang dianggap representasi Muhammadiyah.  

Belajar dari kasus poros tengah pada saat awal reformasi lalu, kelompok yang berisi gabungan partai Islam tersebut awalnya berhasil mengantarkan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden tetapi, di satu sisi, mereka juga yang akhirnya menurunkan Gus Dur dari kursi presiden sekaligus menandakan bubarnya poros ini di tengah jalan. 

Hal tersebut disebabkan akibat adanya friksi-friksi politik antar partai Islam tersebut yang disebabkan oleh kepentingan dan pragmatisme politik masing-masing partai yang berbeda. Artinya, tidak bisa dipungkiri kondisi-kondisi seperti ini sangat mungkin untuk terulang kembali saat ini.

Kemudian, faktor kedua adalah oportunisme politik. Ada kecenderungan partai menengah tidak berani mengambil resiko untuk melawan partai besar dan lebih memilih untuk menjadi partai pendukung. Ambang batas dan logistik diyakini menjadi tantangannya.

Ambang batas yang tinggi diyakini memaksa partai tengah untuk realistis, apalagi Pilpres dan Pemilu 2024 juga akan dilaksanakan secara serentak. Praktis, logistik yang terbatas harus dibagi ke dalam dua konsentrasi. Ditambah, dengan adanya narasi kenaikan PT, mudah menyimpulkan partai besar tidak begitu menginginkan partai menengah mengusung calonnya sendiri.

Situasi ini memaksa partai menengah harus bergantung pada partai besar, dan partai besar menjadi penentu siapa saja yang dapat berkontestasi pada pilpres. Ini menunjukkan gejala dominant party system

Indonesia memang menganut sistem multi-partai tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa satu atau dua partai besar, seperti PDIP dan Golkar yang memiliki pengaruh besar dalam pemilu. Partai dominan merupakan bagian dari dominant party system

Baca Juga: Poros Ketiga PKS, Untungkan Prabowo?

Tulisan Kenneth F. Greene yang berjudul Dominant Party Strategy and Democratization mengatakan bahwa dalam sistem multi-partai, partai yang dominan memiliki kapabilitas dalam mengatur persaingan elektoral. Presidential threshold dapat menjadi instrumen politik partai besar untuk membatasi persaingan elektoral.

Dari pemaparan-pemaparan tersebut, kita dapat menganalisis bahwa kehadiran poros ketiga dalam Pilpres 2024 nanti bisa dibilang sangat kecil. Namun, seperti yang telah disinggung di atas, berbagai pihak menilai keberadaan poros ketiga ini sangat dibutuhkan dalam kondisi perpolitikan saat ini. Lantas, mengapa kita membutuhkan poros ketiga?

Poros Ketiga, Pentingkah?

Pertama — dan mungkin yang utama — seperti yang telah disinggung oleh Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani diatas, kehadiran poros ketiga dapat menjadi jalan untuk menghindari dua poros yang melahirkan polarisasi ekstrem seperti di Pilpres 2019. Tren polarisasi muncul sejak Pilpres 2014, di mana hanya ada dua kandidat kuat yakni Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Terlebih lagi, muncul label kampret dan cebong pada pendukung kedua kandidat menunjukkan polarisasi pada pilpres berikutnya.

Kemungkinan berlanjutnya polarisasi politik antara kelompok cebong dan kampret ini tentunya membawa konsekuensi tertentu bagi jalannya demokrasi di Indonesia. Belum lagi, persaingan politik antar-kelompok diprediksi akan tetap berlanjut hingga Pemilu 2024 nanti.

Adanya kelompok-kelompok tersebut jamak dinilai sebagai sumber dari menajamnya polarisasi politik dan politik identitas dalam beberapa tahun belakangan ini. Francis Fukuyama dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment menyebutkan bahwa masalah utama pembusukan demokrasi saat ini adalah terus menajamnya politik identitas. 

Politik identitas adalah ganjalan besar dalam tujuan demokrasi yang disebut Fukuyama, yakni untuk menciptakan kualitas pengakuan yang sama terhadap setiap individu. Terus, dipromosikannya identitas-identitas yang bersifat partikular telah membuat masyarakat tenggelam dalam sekat-sekat yang justru memperlebar ketimpangan hak.

Dengan hadirnya poros ketiga, selain akan memberikan lebih banyak pilihan kepada masyarakat, kehadirannya diyakini juga akan menjadi “pemecah ombak” sehingga meminimalisir tajamnya  polarisasi yang ada di masyarakat. Hal ini terbukti misal pada putaran pertama Pilkada DKI Jakarta 2017 yang diikuti oleh tiga kandidat. 

Pada saat itu, pertarungan relatif cair. Pembelahan atau polarisasi di masyarakat pun tidak terlalu tajam. Baru pada putaran kedua, ketika terjadi head-to-head antara dua pasangan polarisasi dan pembelahan di masyarakat pun meningkat tajam bahkan mengarah ke politik identitas.

Baca Juga: Menggodok Lahirnya Poros Ketiga

Kemudian, faktor kedua adalah adanya tiga poros akan melahirkan diferensiasi yang baik. Masyarakat akan mempunyai lebih banyak opsi untuk memilih pemimpin. Semakin banyaknya calon ini menandakan bahwa demokrasi telah berjalan dengan baik karena hakikat utama demokrasi adalah tiap orang mempunyai hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam pemilu.

Misalnya, dengan melihat situasi politik terkini kita dapat mensimulasikan tiga poros yang kemungkinan akan terjadi. Poros pertama, tentunya adalah partai pemenang, PDIP, yang kemungkinan besar bersama Partai Gerindra. 

Kedua, ada Golkar yang berpeluang besar akan bersama Nasdem. Ketiga, poros partai menengah Islam yang kemungkinan diisi oleh PPP, PKS, PAN — ditambah Demokrat. 

Tidak sekadar membentuk tiga poros, namun kehadiran tiga poros itu juga merepresentasikan “NASAIN”, yakni Nasionalis, Agamis, dan Insan Bisnis. Ini adalah tiga kelompok utama kekuatan politik di Indonesia. 

Poros nasionalis tentunya diisi oleh PDIP dan Gerindra. Insan Bisnis diisi oleh Golkar dan Nasdem yang memang merupakan partainya para pengusaha. Lalu, Agamis adalah poros yang diisi oleh partai-partai Islam.

Sekalipun hanya proyeksi, yang mungkin cukup sulit terbentuk jika mengacu pada pragmatisme parpol di Indonesia, tiga poros tersebut sekiranya dapat menjadi angin segar dalam pertarungan politik nasional. Masalahnya, ini bukan sekadar perbedaan corak ideologi atau kategorisasi NASAIN semata, melainkan dapat membantu publik untuk menentukan pilihan

Well, pada akhirnya wacana kehadiran poros ketiga ini bisa dimaknai positif. Kehadirannya diyakini dapat meminimalisir polarisasi ekstrem yang berujung pembelahan di masyarakat. Selain itu, kehadiranya juga akan memberikan banyak opsi bagi masyarakat untuk menentukan pilihan.

Meski begitu, pragmatisme politik dari masing-masing parpol yang menginisiasi poros ini dianggap dapat menjadi ganjalan terjadinya poros ketiga. Menarik untuk melihat kelanjutan dari poros ini. (A72)

Baca Juga: Poros Ketiga, Momok Prabowo

Exit mobile version