Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Sinyal dukungan PDIP kepada Anies Baswedan untuk berlaga di Pilkada Jakarta 2024 terus menguat. Namun, selain dinilai karena kepentingan pragmatis dan irisan kepentingan sementara belaka, terdapat interpretasi lain yang kiranya wajib diwaspadai oleh Anies dan entitas yang benar-benar mendukungnya.
Dalam dunia politik, adagium “tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan” sering kali menjadi pedoman bagi banyak partai politik, termasuk kiranya bagi PDIP yang terus memberikan gestur positif terhadap hype pencalonan kembali Anies Baswedan di Pilkada Jakarta.
Di Pilkada Jakarta 2024, dua skenario yang mengerucut berdasarkan sinyal dari beberapa partai politik (parpol) sejauh ini, Ridwan Kamil dan Anies Baswedan kemungkinan besar akan bertarung di Jakarta.
Sementara itu, bagi PDIP, kader mereka seperti Tri Rismaharini hingga Andika Perkasa dinilai belum mampu bersaing dengan kedua nama tersebut di Jakarta. Pun dengan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang dianggap telah kehilangan relevansinya secara umum di Jakarta.
Dilema dinilai akan muncul andai Ridwan Kamil benar-benar diduetkan dengan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang juga putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep. Plus, didukung pula oleh parpol di Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang berhasil memenangkan Pilpres 2024. Pilihan “tersisa”, tak lain hanya mendukung Anies.
Sinyal dukungan PDIP untuk Anies dalam Pilkada Jakarta 2024, meskipun sekilas tampak mengejutkan mengingat sejarah intrik dan “konflik” antara PDIP dan Anies selama lima tahun kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, kiranya dapat dipahami meskipun cukup rumit. Mengapa demikian?
Dukungan Tipis-Tipis Menghanyutkan?
Dalam politik, terlebih di ekosistem multipartai Indonesia, pragmatisme sering mengalahkan ideologi. Bagi PDIP, mendukung Anies mungkin menjadi pilihan paling rasional dan pragmatis untuk merebut kembali pengaruh di Jakarta, wilayah yang kerap dinilai cerminan serta simbol politik nasional.
Apalagi, jika PDIP berhasil menang dan mengalahkan turunan koalisi pemenang Pilpres 2024 yang tempo hari “mempermalukan” mereka.
Selain itu, sebagaimana diketahui, PDIP mengalami friksi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), terutama terkait Pilpres 2024. Dengan mengalahkan koalisi yang mengalahkan mereka, plus, trah Jokowi, hal ini bisa menjadi simbol keberhasilan resistensi PDIP terhadap kekuatan politik dominan yang ada dan yang mungkin akan berlanjut.
Anies sendiri dinilai memiliki basis dukungan yang kuat dan terbukti mampu memenangkan Pilkada Jakarta sebelumnya. Tak terkecuali dengan hasil Pilpres 2024 yang mana duet Anies-Imin hanya kalah tipis dari Prabowo-Gibran.
Dengan mendukung Anies, PDIP dapat memanfaatkan popularitas Anies untuk tetap relevan di Jakarta dan meminimalisir risiko kekalahan yang lebih besar jika mereka mengusung kandidat yang kurang kompetitif seperti Tri Rismaharini, Andika Perkasa, maupun Ahok.
Namun, keputusan mendukung Anies kiranya tidak akan begitu saja berjalan mulus tanpa tantangan internal. Basis simpatisan PDIP yang selama ini terbiasa mengkritik Anies mungkin akan merasa kecewa atau marah.
Namun, dalam politik, kepentingan seringkali menuntut kompromi, dan PDIP mungkin melihat manfaat jangka panjang yang lebih besar dibandingkan dengan risiko resistensi internal. Dan ini, memerlukan internal campaign serta lobi tingkat tinggi yang kuat dan masif untuk meyakinkan kader dan simpatisan akan pentingnya langkah tersebut.
Di sisi lain, pertanyaan lebih besar yang mengemuka adalah apakah pemilih loyal Anies akan sudi berbaur dengan PDIP. Anies selama ini didukung oleh segmen pemilih yang berbeda secara sosial dan politik dengan basis PDIP.
Hal itu membutuhkan upaya rekonsiliasi yang signifikan. Namun, jika PDIP dan Anies bisa menunjukkan bahwa mereka bersatu demi kepentingan yang lebih besar bagi Jakarta dan simbol dari narasi “perubahan” yang sesungguhnya, pemilih mungkin dapat menerima koalisi ini.
Kembali, mendukung Anies agaknya bisa digunakan oleh PDIP sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan dominan yang mengalahkan mereka di Pilpres 2024. Ini dapat menarik simpati dari kelompok pemilih yang merasa tidak puas dengan pemerintahan saat ini dan yang baru saja terpilih. Menggunakan narasi ini, PDIP dapat memposisikan diri sebagai pembela rakyat melawan oligarki politik.
Budaya politik Indonesia yang cenderung fleksibel dan pragmatis juga mendukung kemungkinan ini. Meski ada resistensi awal, sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa koalisi yang tampak tidak mungkin sering kali terjadi ketika ada kepentingan yang lebih besar di baliknya.
Waspada Musuh dalam Selimut?
Di balik semua variabel konstruktif, satu interpretasi bahwa PDIP bisa saja menjadi musuh dalam selimut bagi Anies bukan tidak mungkin terjadi.
Dalam politik, aliansi sering kali bersifat sementara dan dapat berubah sesuai dengan dinamika kekuasaan.
Jika Ridwan Kamil yang memenangkan Pilkada Jakarta, PDIP bisa saja mengalihkan dukungannya kepada kekuatan dominan baru untuk menjaga relevansi politiknya. Ini akan tergantung pada bagaimana situasi politik nasional berkembang selama 2024-2029.
Regenerasi di tubuh PDIP dengan faksi internal yang lebih fleksibel juga memainkan peran penting. Faksi yang lebih muda dan pragmatis mungkin lebih bersedia berkompromi untuk tetap berada di lingkar kekuasaan.
Hal tersebut berpeluang menambah lapisan kompleksitas dalam dukungan PDIP untuk Anies, yang bisa berubah sesuai dengan kebutuhan politik nantinya yang sangat dinamis.
Dinamika politik yang cair serta kemungkinan “musuh dalam selimut” itu lah tetap menjadi faktor yang perlu diwaspadai dalam perkembangan politik selanjutnya di kubu yang benar-benar mendukung Anies nantinya.
Kendati demikian, penjabaran di atas adalah interpretasi semata. Kepastian dukungan PDIP terhadap Anies dan siapa lawan dan koalisi politik di baliknya akan sangat menentukan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)