HomeNalar PolitikMungkinkah Mahfud Gantikan Ma’ruf?

Mungkinkah Mahfud Gantikan Ma’ruf?

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD bertemu dengan Juru Bicara PA 212 Haikal Hassan. Apakah Mahfud kini berusaha mengisi peran Wakil Presiden Ma’ruf Amin?


PinterPolitik.com

“We both know, it’s a cruel world. But I will take my chances” – Justin Bieber, penyanyi asal Kanada

Sebagian penggemar seri film pasti tidak asing dengan salah satu seri yang berjudul Elite (2018-sekarang). Seri asal Spanyol tersebut mengisahkan sejumlah siswa sekolah yang dipenuhi dengan intrik drama.

Salah satu tokoh dalam film tersebut yang bernama Nadia merupakan seorang anak Muslim yang tidak memiliki kekayaan sebesar teman-temannya. Meski begitu, Nadia mampu menonjolkan kecerdasannya hingga bersaing dengan teman-teman sekolah lainnya guna mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri.

Namun, dalam persaingan itu, Nadia harus menghadapi anak cerdas lainnya yang bernama Lucrecia. Alhasil, persaingan di antara keduanya tidak hanya terjadi di bidang akademik, melainkan merambat juga ke persoalan asmara dan pertemanan.

Meski begitu, tanpa disangka, Nadia dan Lucrecia malah saling membantu ketika salah satu dari mereka dirundung masalah. Bahkan, keduanya seakan-akan menjadi support system bagi satu sama lain.

Apa yang terjadi antara Nadia dan Lucrecia ini kini mungkin mulai terlihat juga dalam perpolitikan Indonesia. Pasalnya, beberapa waktu lalu, dua kubu yang selama ini saling bertentangan – yakni pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan kelompok PA 212 – tampak saling menjalin komunikasi.

Terjalinnya komunikasi ini mulai terlihat melalui unggahan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di akun media sosialnya. Dalam unggahan tersebut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut tampak berpose bersama Juru Bicara (Jubir) PA 212 Haikal Hassan.

Mahfud pun menjelaskan bahwa pertemuan tersebut hanya merupakan perbincangan santai. Mantan Ketua MK tersebut merasa bahwa dirinya dan Haikal memiliki kesamaan visi, yakni sama-sama berjuang dalam syiar Islam meski memilih jalan politik yang berbeda.

Senada dengan Mahfud, Haikal juga menyebutkan pertemuan tersebut hanya bersifat santai tanpa membicarakan persoalan politik. Haikal pun meminta agar pertemuan tersebut tidak dikaitkan dengan PA 212.

Meski Haikal menampik keterkaitan PA 212 di balik pertemuannya dengan Mahfud, publik tidak dipungkiri memiliki banyak pertanyaan soal pertemuan tersebut. Berbagai media pun turut menyoroti.

Lantas, konsekuensi politik apa yang dapat muncul di balik pertemuan itu? Selain itu, apakah mungkin Mahfud dapat menggantikan peran Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin yang selama ini dikenal lebih dekat dengan kelompok konservatif?

Peran Ma’ruf

Ma’ruf sebenarnya bisa saja memainkan peran penting di pemerintahan Jokowi. Pasalnya, sang Wapres memiliki modal politik tertentu yang dapat membantu posisi politik presiden.

Kimberly L. Casey dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital menjelaskan bahwa berbagai jenis modal – seperti modal ekonomi, modal sosial, modal sumber daya manusia, modal kultural, dan sebagainya – dapat ditransformasikan menjadi modal politik. Modal sosial, misalnya, dapat berupa relasi sosial dan pengakuan (name recognition) yang dimiliki oleh seseorang.

Terasa asyik berdiskusi di pagi akhir pekan bersama Ust. Haikal Hassan (5/8/20). Sepanjang sama-sama berniat baik utk kebaikan masyarakat meskipun pilihan jalannya berbeda maka persahabatan alias ukhuwwah hrs tetap dipelihara. Innamal mu’minuna ikhwatun. Syukron ala ziyaratikum. pic.twitter.com/UTyNEcUgfH— Mahfud MD (@mohmahfudmd) September 5, 2020

Penjelasan Casey ini didasarkan pada pemikiran Pierre Bourdieu yang merupakan seorang filsuf dan ahli sosiologi asal Prancis. Bourdieu setidaknya menjelaskan bahwa aset-aset tertentu dapat diakumulasikan secara produktif menjadi modal yang diantaranya adalah modal simbolis, modal kultural, modal ekonomi, dan modal sosial.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Bila mengacu pada tulisan Casey, Ma’ruf bisa saja memiliki modal tersebut. Dengan koneksi yang dimilikinya di kalangan ulama Nahdlatul Ulama (NU), sang Wapres bisa saja memiliki modal sosial yang dapat ditransformasikan sebagai modal politik.

Hal ini terlihat dari bagaimana PKB disebut-sebut memberikan desakan pada Presiden Jokowi ketika mantan Wali Kota Solo tersebut akan memilih calon wapres pasangannya di Pilpres 2019. Pada mulanya, Jokowi dikabarkan ingin memilih Mahfud sebagai cawapresnya.

Namun, partai lebah yang dipimpin oleh Abdul Muhaimin Iskandar (AMI) atau Cak Imin tersebut dikabarkan menolak Mahfud dan mengancam mencabut dukungan apabila cawapres usulannya tidak dipilih. Alhasil, Jokowi memilih Ma’ruf sebagai pasangannya di gelaran Pilpres 2019.

Tak hanya PKB dan NU, Ma’ruf merupakan ulama yang dikenal memiliki pemikiran yang konservatif. Bahkan, konservatisme yang dimiliki oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini disebut-sebut menjadi dasar bagi munculnya fatwa atas penistaan agama oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok pada tahun 2016 silam.

Kemampuan Ma’ruf untuk beradaptasi dengan dua kelompok yang berbeda, yakni NU dan kelompok konservatif ini disebut dapat menjadi kekuatan politiknya. Asumsi ini juga disebutkan oleh Greg Fealy dalam tulisannya di New Mandala yang berjudul Ma’ruf Amin: Jokowi’s Islamic Defender or Deadweight?.

Bila benar bahwa Ma’ruf memiliki peran penting dalam pemerintahan Jokowi, mengapa lantas Ketum MUI tersebut malah dikabarkan akan diganti? Apakah mungkin ini menjadi kesempatan bagi Mahfud?

Third Way ala Jokowi?

Bukan tidak mungkin, Jokowi merasa modal sosial yang dimiliki oleh Ma’ruf justru merugikan. Pasalnya, sang wapres disebut-sebut memiliki hubungan patronase dengan PKB dan NU.

Adanya kekuatan politik yang merongrong di balik Ma’ruf bisa jadi menandakan bahwa kekuatan presidensial Jokowi turut dapat terganggu. Mantan Wali Kota Solo tersebut sebelumnya sempat ingin memilih Mahfud dibandingkan Ma’ruf.

Lagi pula, dengan adanya Mahfud, kekuatan presidensial Jokowi bisa jadi bertambah besar. Berdasarkan konsep presidential power (kekuatan presidensial) milik Richard Neustadt yang dijelaskan oleh George C. Edwards III dalam bukunya yang berjudul Neustadt’s Power Approach to the Presidency, kekuatan presiden dapat menjadi lebih besar bila mampu mengontrol relasi sosial terhadap kekuatan-kekuatan lain.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Bisa jadi, Mahfud adalah jawaban Jokowi guna meningkatkan pengaruhnya terhadap kekuatan-kekuatan politik lainnya yang ada di pemerintahan. Bahkan, presiden juga sempat meningkatkan kewenangan para Menko terhadap kementerian-kementerian yang ada di bawah koordinasi mereka.

Selain itu, keinginan untuk menjadikan Mahfud sebagai wapres mungkin saja menjadi alasan Jokowi untuk menunjuknya sebagai Menko Polhukam. Keinginan tersebut bisa jadi semakin besar di tengah wacana penggantian Ma’ruf baru-baru ini.

Hal ini bisa jadi terlihat dari bagaimana Mahfud mulai menjalin komunikasi dengan Haikal dari PA 212 yang notabene merupakan oposisi dari pemerintahan Jokowi. Selain Haikal, Menko Polhukam juga mengklaim tengah membangun komunikasi dengan sejumlah pengkritik pemerintah, seperti mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli dan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Jalinan komunikasi ini justru menunjukkan bahwa peran Ma’ruf yang seharusnya menjadi jembatan antara pemerintahan Jokowi dengan kelompok-kelompok Islam konservatif mulai tergantikan oleh Mahfud. Justru, peran yang ingin diambil Mahfud ini merupakan peran yang bisa saja dibutuhkan oleh Jokowi dari seorang wapres.

Peran wapres sebagai penghubung ini sebenarnya juga dilakukan oleh para pemimpin di negara-negara lain. Beberapa di antaranya adalah Joe Biden yang pernah menjadi wapres bagi Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama.

Kala itu, Obama dikenal sebagai presiden yang sangat progresif dan cenderung mendorong nilai-nilai liberal. Biden pun dipilih sebagai wapres karena dianggap mampu menjembatani antara kepentingan kelompok liberal dan kelompok konservatif yang juga tidak sedikit jumlahnya di AS.

Upaya untuk mempertemukan kelompok dan kepentingan yang saling berbeda ini sebenarnya juga dilakukan oleh mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair yang mengusung konsep Third Way. Konsep ini juga pernah diusulkan oleh Anthony Giddens dalam tulisannya dengan judul yang sama.

Third Way merupakan gagasan yang menekankan pada penyatuan atas berbagai spektrum ideologis. Konsep ini sempat populer pada tahun 1990-an ketika didorong oleh sejumlah pemimpin dunia seperti Blair dan Presiden AS Bill Clinton.

Bukan tidak mungkin, Jokowi ingin membentuk Third Way yang berbeda dengan peran Mahfud yang mulai terlihat untuk menjalin komunikasi dengan berbagai kelompok – suatu peran yang sebelumnya dinilai ada di tangan Ma’ruf. Lagi pula, Menko Polhukam merupakan sosok yang disebut-sebut dipercaya oleh presiden.

Meski begitu, upaya Mahfud untuk menggantikan peran Ma’ruf ini belum tentu benar adanya. Yang jelas, manuver politik Mahfud ini bisa jadi memiliki motivasi tertentu, entah motivasi apa yang ada di baliknya. Mari kita nantikan saja aksi Mahfud selanjutnya. (A43)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?