Site icon PinterPolitik.com

Mungkinkah Jokowi Tinggalkan Trickle-down Effect?

Mungkinkah Jokowi Tinggalkan Trickle-down Effect

Presiden Joko Widodo bersama dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani (Foto: Bisnis Tempo.co)

Joe Biden membuat pernyataan menarik dengan mengatakan trickle-down effect merupakan strategi ekonomi yang gagal, sehingga Biden ingin mengubah kebijakan ekonomi Amerika yang berfokus dari bawah. Melihat pernyataan Biden, ahli-ahli menyarankan Jokowi untuk meniru Biden dalam membuat kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia. Lantas, apakah Jokowi akan lepas dari trickle-down effect?


PinterPolitik.com

Pada pidato pertamanya di hadapan Kongres yang berlangsung akhir April lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengatakan  trickle-down effect tidak pernah berhasil. Seketika pernyataan Biden mendapatkan standing applause, terutama dari Partai Demokrat. Biden percaya bahwa ekonomi harus dibangun dari bawah dan menengah.

Trickle-down effect merupakan konsep ekonomi yang diadopsi dalam pembangunan ekonomi Amerika Serikat. Konsep tersebut terealisasi pada kebijakan intensif pajak untuk pengusaha kaya. Dengan memberikan kemudahan tersebut, perusahaan diharapkan dapat menggerakkan ekonomi dengan menyediakan lapangan pekerjaan kepada masyarakat Amerika.

Konsep ini dipopulerkan oleh Presiden ke-40 AS Ronald Reagan dan diamini oleh Partai Republikan. Namun, banyak anggota Partai Republikan yang mendukung program ekonomi Biden, yakni menghilangkan insentif pajak dan meningkatkan upah minimum. Biden percaya orang terkaya 1 persen di Amerika Serikat dapat lebih berkontribusi pada program pemerintah, terutama di pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.

Kritik Biden sejalan dengan studi dari London School of Economics yang dilakukan pada 2020. Berdasarkan studi tersebut, kebijakan insentif pajak memperkuat kesenjangan ekonomi di Amerika, serta minim kontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Dari survei Ipsos, sebanyak 51 persen orang Amerika percaya  trickle-down economics tidak efektif.

Jika ditarik ke Indonesia, mungkin Presiden Joko Widodo (Jokowi) boleh meniru Biden untuk mengubah langkah kebijakan ekonominya. Konsep trickle-down economics sendiri masih kental implementasinya di Indonesia, terutama pada pemerintahan Jokowi.

Bagong Suyanto selaku Guru Besar Sosiologi Ekonomi Universitas Airlangga (Unair), Surabaya mengatakan bahwa sudah selayaknya Jokowi meniru Biden dengan menggerakkan ekonomi dari bawah. Bagong mengatakan gerakan ekonomi dari atas ke bawah atau top-down akan menghalangi pemerataan ekonomi. Pemerintah sudah seharusnya memulai ekonomi kerakyatan dengan menggenjot small industry.

Baca Juga: Jokowi Sangat Butuh Kemenangan Trump?

Pernyataan Bagong selaras dengan opini Rizal Edhy Halim, Pakar Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI). Rizal mengatakan trickle-down effect (penyebutan lain trickle-down economics)merupakan konsep yang gagal dan berimplikasi pada melebarnya kesenjangan ekonomi.

Lantas, bagaimana sebenarnya implementasi trickle-down economics di Indonesia? Apakah konsep tersebut juga tidak efektif seperti di Amerika Serikat?

Trickle-down Effect dan Omnibus Law

Konsep trickle-down effect atau efek menetes ke bawah merupakan teori ekonomi yang diperkenalkan oleh ekonom Albert Hirschman. Hirschman percaya bahwa kebijakan ekonomi seharusnya lebih berfokus pada pengusaha atau pemilik modal sehingga keuntungan ekonomi nantinya “menetes” ke lapisan masyarakat bawah. Kebijakan trickle-down effect biasanya berupa insentif pajak, kelonggaran regulasi untuk perusahaan, dan sebagainya.

Konsep trickle-down effect juga sejalan dengan spillover effects, yakni terjadinya suatu fenomena atau kejadian yang dapat memberikan efek positif atau negatif pada ekonomi, sosial dan politik. Misalnya jika dihubungkan dengan trickle-down effect, kehadiran pengusaha dapat memberikan implikasi positif pada pertumbuhan ekonomi dan memberikan keuntungan pada kelas masyarakat bawah dengan terciptanya lapangan pekerjaan.

Di Indonesia, trickle-down effect sudah menjadi strategi pembangunan ekonomi sejak pemerintahan Soeharto.  Pada zaman Soeharto, pembangunan dari segi ekonomi, sosial dan politik dipusatkan di Jawa, khususnya Jakarta. Kemakmuran yang ada di Jakarta diharapkan dapat “menetes” ke daerah lainnya.

Tulisan Sugeng Syahrie yang berjudul Politik Pembangunan Order Baru: Industrialisasi, Swastanisasi, dan Pertumbuhan Ekonomi menjelaskan bagaimana trickle-down effect digunakan oleh Soeharto.  Pada masa Orde Baru, pembangunan Indonesia sangat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Untuk merealisasikan hal tersebut, pemerintah mengimplementasi kebijakan melalui jalan industrialisasi (non-pertanian) di perkotaan.

Kebijakan pemerintah Indonesia tidak terlepas dari pemikiran yang dikembangkan Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) yang bermazhab ekonomi neoklasik. Mereka percaya bahwa jalan terbaik untuk mengembangkan negara berkembang dengan menggalakkan industrialisasi perkotaan dengan suntikan kapital dari negara-negara Barat. Strategi ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan di sektor lain dan meningkatkan pendapatan pada sektor tersebut.

Namun, strategi neoklasik ini tidak memberikan kontribusi optimal dalam pembiayaan pembangunan sehingga dianggap gagal. Alhasil, Soeharto melakukan reorientasi pada akhir tahun 1980-an dan mengkomersialisasikan ruang dan lokasi strategis di seputar kota metropolitan.

Walaupun tidak memberikan hasil yang optimal pada masa Orde Baru, kebijakan ekonomi Jokowi masih mengadopsi konsep trickle-down effect, seperti Omnibus Law. Tulisan Herlambang Wiratraman yang berjudul Omnibus Law dan HAM mengatakan bahwa Omnibus Law merupakan kebijakan ramah investasi.

Baca Juga: UU Ciptaker, Jawaban yang Tidak Menjawab?

Omnibus Law menyelesaikan peraturan yang tumpang tindih dan menjadi kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan memberikan kelonggaran berbisnis bagi pengusaha dan memangkas birokrasi. Omnibus Law,diharapkan dapat mewujudkan iklim investasi yang baik. Pemerintah juga berulang kali menyatakan bahwa Omnibus Law akan menyerap banyak tenaga kerja.

Herlambang berargumen bahwa kebijakan pemerintah yang mengutamakan kepentingan investasi akan merugikan persoalan hak warga. Dalam Omnibus Law, perihal HAM hanya mendapatkan pembahasan yang minim dan tidak ideal dengan pemajuan dan perlindungan HAM.

Laporan Bank Dunia yang berjudul The Long Road to Recovery mengatakan bahwa Omnibus Law memang dapat membuka peluang lebih besar bagi Indonesia untuk berbisnis, namun produk hukum  tersebut juga merugikan pekerja dan lingkungan.

Menurut Bank Dunia, Omnibus Law melemahkan perlindungan tenaga kerja yang dapat mengakibatkan ketimpangan pendapatan. Dari sisi lingkungan, Omnibus Law berpotensi merusak lingkungan dan merusak aset alam yang penting bagi mata pencaharian banyak orang, sehingga dapat berdampak negatif terhadap investasi. 

Penetrasi Trickle-Down Effect di Universitas Amerika

Pada dasarnya, trickle-down effect bisa saja memberikan keuntungan terhadap pertumbuhan ekonomi, namun pemerintah sering kali abai dengan dampak negatif yang cukup signifikan akibat trickle-down effect. Melihat permasalahan tersebut, ekonomi kerakyatan bisa saja menjadi solusi untuk meniadakan kebijakan ekonomi yang top-down.

Ekonomi kerakyatan diperkenalkan oleh Mohammad Hatta. Konsep tersebut menjadi anti-tesis dari trickle-down effect, yang merupakan  konsep politik-perekonomian yang memusatkan pembangunannya pada rakyat.

Namun, kebijakan ekonomi saat ini masih didominasi oleh konsep trickle-down effect, bukan ekonomi kerakyatan yang mengadopsi bottom-up. Hal ini sendiri diakui oleh Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin ketika mengeluarkan buku The Ma’ruf Amin Way. Ma’ruf mengatakan bahwa trickle-down effect menciptakan kesenjangan ekonomi di Indonesia, sehingga ia mendorong implementasi ekonomi kerakyatan.

Hal ini memunculkan sebuah pertanyaan, apakah mungkin nantinya Indonesia meninggalkan trickle-down effect dan beralih ke ekonomi kerakyatan, sama seperti wacana Biden di Amerika Serikat?

Trickle-down effect yang diadopsi oleh pemerintah sejak Orde Baru tak terlepas dengan para pemegang keputusan yang merupakan alumnus dari Amerika. Sri Mulyani dan Bambang Brodjonegoro yang menjabat di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada masa pemerintahan Jokowi merupakan lulusan dari Univeristy of Illinois Urbana Champaign di Illinois, AS.

Mayoritas Menteri Keuangan (Menkeu) Indonesia merupakan lulusan AS. Sejak Reformasi, hanya 2 Menkeu yang tidak melanjutkan studinya di negeri Paman Sam.

Adopsi konsep trickle-down effect oleh Menteri Keuangan Indonesia memiliki hubungan erat dengan haluan pemikiran dari almamater mereka. Trickle-down effect yang berasal dari pemikiran neoklasik popular di Amerika. Pemikiran neoklasik sendiri masih mendominasi studi di berbagai universitas di Amerika Serikat.

Baca Juga: Menanti Ekonomi Hatta di Tengah Pandemi

Tulisan Zach Ward-Perkins dan Joe Earle yang berjudul Economics students need to be taught more than neoclassical theory mengkritik silabus universitas Amerika. Perkins dan Earle mengatakan bahwa pendidikan ekonomi di AS didominasi dengan konsep neoklasik, di mana konsep ini sendiri dinilai sudah tertinggal.

Hal ini tentu juga mempengaruhi kebijakan Amerika Serikat yang mengadopsi neoklasik. Mereka mengimbau agar pendidikan ekonomi di AS lebih terbuka pada teori ekonomi lainnya dan tidak berkutat pada konsep neoklasik.

Tulisan Zach menjelaskan bahwa konsep trickle-down effect yang diadopsi oleh Menteri Keuangan Indonesia merupakan hasil penetrasi dari almamater mereka di Amerika yang bermazhab ekonomi neoklasik. Tentu saja konsep ini menjadi susah dilepaskan dari jalan pemikiran pembuat kebijakan ekonomi di Indonesia.

Sehingga jika Indonesia ingin meninggalkan trickle-down effect sepertinya masih sulit untuk dilakukan mengingat mayoritas Menkeu merupakan lulusan dari Amerika. Mewujudkan ekonomi kerakyatan masih menjadi perjalanan panjang bagi Indonesia sehingga Jokowi mungkin tidak akan mengikuti langkah Biden yang ingin membangun ekonomi dari bawah. (R66)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version