Site icon PinterPolitik.com

Mungkinkah Jokowi Tersandera Ahok?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (kiri) bersama Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok (kanan) meninjau Kilang PT TPPI di Tuban, Jawa Timur, pada Desember 2019 silam. (Foto: BPMI Setpres)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (kiri) bersama Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok (kanan) meninjau Kilang PT TPPI di Tuban, Jawa Timur, pada Desember 2019 silam. (Foto: BPMI Setpres)

Nama Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok kembali menjadi perbincangan publik setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku mantan wakilnya di DKI Jakarta itu punya kans besar untuk menjadi kandidat Kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara (IKN). Jika benar demikian, mengapa Jokowi lagi-lagi memilih Ahok?


PinterPolitik.com

Ketika Konstantin Agung memindahkan ibu kota Kekaisaran Romawi dari kota Roma ke Konstantinopel pada tahun 330 M, ia berharap ibu kota baru tersebut mampu menunjang aktivitas politik dan ekonomi. Konstantinopel memang pada akhirnya mampu menjadi pusat perdagangan karena efektif memperpendek jalur perdagangan dari Timur, serta membuat kontrol kekuasaan Konstantin atas seluruh wilayah kekaisaran dapat lebih terjaga.

Dalam nuansa yang berbeda, mungkin hal itulah yang ada dalam pikiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika mewacanakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Terbaru, wacana pemindahan ibu kota tersebut telah memasuki babak baru setelah Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) resmi diserahkan pemerintah ke DPR. 

Salah satu yang menjadi sorotan dalam draf RUU IKN tersebut adalah adanya pasal yang mengatur bahwa persiapan ibu kota baru akan dipimpin oleh Kepala Otorita dan keberadaannya akan ditunjuk langsung oleh Presiden. Terkait hal ini, nama mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok kembali menjadi perbincangan publik setelah Presiden Jokowi mengaku bahwa mantan wakilnya di DKI Jakarta itu punya kans besar menjadi kandidat Kepala Badan Otorita IKN.

Sebelumnya, Jokowi juga memberikan nama-nama lain sebagai kandidat kepala Badan Otorita IKN, seperti mantan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro, mantan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dan Direktur Utama PT Wijaya Karya Tumiyana. Jokowi sendiri sebenarnya telah membocorkan kriteria kandidat yang akan dipilih, yaitu kandidat yang muda dan “kelas berat”. 

Dari keempat nama kandidat di atas, Ahok telah memenuhi kriteria pertama sebagai sosok muda. Selanjutnya, jika dibandingkan dengan sosok Azwar Anas yang juga muda, Ahok dinilai lebih masuk dalam kriteria selanjutnya karena pernah menjabat jabatan “kelas berat” seperti Gubernur DKI Jakarta.

Baca Juga: Risma vs Ahok, Tegas Mana?

Sontak saja, berbagai pihak langsung memberikan tanggapan sembari menyimpulkan bahwa itu menjadi indikasi kuat dekatnya hubungan sang presiden dengan Ahok. Itu, misalnya, dikemukakan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon di akun Twitter pribadinya yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi “memang percaya dan sayang” kepada Ahok.

Hal ini tentu menarik untuk dianalisis, di luar persoalan pro dan kontra atas munculnya nama Ahok sebagai kandidat kuat calon kepala Badan Otorita, muncul sejumlah pertanyaan. Mengapa Jokowi begitu mengandalkan Ahok? Dan seberapa powerful posisi Ahok terhadap Jokowi?

Jokowi Percaya Ahok?

Kepala Badan Otorita sendiri merupakan sebuah jabatan setingkat menteri yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan ibu kota baru dan menjadi hak prerogatif presiden untuk menentukan orang yang menduduki jabatan tersebut. Spekulasi akan dipilihnya Ahok menjadi kepala Badan Otorita IKN memang tidak terlepas dari hubungan Presiden Jokowi dan Ahok yang disebut begitu dekat.

Pada Mei 2018 lalu, misalnya, Ahok pernah menjawab bahwa Presiden Jokowi adalah sahabatnya ketika ditanya tentang siapa sosok yang dianggapnya sebagai sahabat. Lanjut Ahok, Presiden Jokowi juga pasti akan menjawab namanya jika ditanya pertanyaan yang sama.

Terkait hal ini, ditempatkannya Ahok di posisi strategis seperti Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina – ataupun katakanlah nantinya akan menjadi Kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara – juga dapat dipahami sebagai sebuah strategi politik. George C. Edwards III dalam tulisannya yang berjudul Neustadt’s Power Approach to the Presidency menyebutkan bahwa perluasan pengaruh presiden dapat dilakukan melalui relasi-relasi yang dimilikinya. 

Melalui relasi-relasi tersebut, presiden dapat menyebarkan pengaruhnya di tempat-tempat kekuatan lain. Artinya, dengan menempatkan Ahok di berbagai posisi, itu menjadi semacam jaminan bagi Presiden Jokowi untuk menjaga pengaruhnya di posisi-posisi tersebut.

Hal yang sama diungkap sosiolog James Coleman dalam rational choice theory atau teori pilihan rasional yang menyebutkan bahwa individu mestilah akan memilih putusan atau tindakan yang sejalan dengan preferensi personal atau dirinya. Dengan kata lain, dalam konteks ini, Presiden Jokowi mestilah mempertimbangkan putusan yang sekiranya merupakan preferensi personalnya.

Baca Juga: Saatnya Ganjar-Ahok 2024?

Preferensi personal tersebut tentulah sangat kompleks – terlebih lagi Presiden Jokowi adalah pemimpin tertinggi negara yang harus mempertimbangkan berbagai macam faktor. Akan tetapi, seperti apa yang disebutkan oleh ahli politik dari Swedia yang bernama Bo Rothstein, bahwa faktor kepercayaan adalah variabel psikologis yang spesial.

Dengan kata lain, dalam konteks ini Jokowi mestilah mempertimbangkan putusan yang sekiranya merupakan preferensi personalnya. Faktor kepercayaan adalah variabel psikologis yang spesial

Artinya, pilihan terhadap Ahok nantinya besar kemungkinan akan ditentukan berdasarkan variabel kepercayaan tersebut. Pada titik ini, mungkin dapat diinterpretasikan bahwa Presiden Jokowi memilih Ahok karena kedekatannya dengan Ahok ataupun terkait strategi politiknya untuk menjaga pengaruh di proyek pemindahan ibu kota.

Akan tetapi, bagaimana jika terdapat intrik politik lain di balik menguatnya nama Ahok sebagai kandidat kepala Badan Otorita IKN? Bila benar demikian, faktor apa yang mungkin ada di balik hal tersebut?

Jokowi Tersandera Ahok?

Menurut Profesor Ilmu Politik dari University of Carolina, Branislav Slantchev, faktor kedekatan memang amat berpengaruh dalam berbagai hal seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun, dalam politik, ada satu hal yang lebih pasti terjadi di balik tiap keputusan yang di ambil dari tiap aktor politik, yaitu faktor political bargaining

Slantcehv menjelaskan political bargaining atau konsep tawar menawar politik merupakan kemampuan sebuah aktor politik untuk memengaruhi aktor lainnya dengan cara memberikan apa yang diinginkan oleh aktor tersebut. Dalam politik transaksional, salah satu bagian penting dari political bargaining ini adalah faktor bargaining power

Mereka yang menginginkan adanya perubahan sikap dan tindakan politik dari para aktor politik (kawan atau lawan) akan menggunakan kekuatan yang mereka miliki untuk memengaruhi sikapnya. Ini disebut dengan bargaining power yang dapat berupa ancaman hukuman atau, bahkan, tawaran yang menguntungkan. 

Baca Juga: Ahok Jadi Hotline Pertamina?

Kembali ke dalam konteks kasus ini, sulit untuk tidak menginterpretasikan bahwa Ahok mungkin saja memiliki bargaining power yang kuat atas Jokowi. Indikasi dari hal ini terlihat misalnya, setelah Ahok menyelesaikan masa hukuman terkait kasus penodaan agama pada 2019 lalu, alih-alih kariernya meredup, sosok yang belakangan ingin dipanggil sebagai BTP tersebut justru mendapatkan banyak tawaran jabatan dari pemerintah.

Pada 2019 lalu, misalnya, hanya berselang beberapa bulan setelah Ahok menghirup udara bebas dari masa tahanan, ia langsung dilantik menjadi Komut PT Pertamina – salah satu BUMN terbesar yang dimiliki negara. Tidak cukup ditunjuk sebagai Komut Pertamina, nama mantan Bupati Belitung Timur itu nyaris tidak pernah absen menghiasi bursa calon menteri di tiap isu reshuffle. Terbaru, misalnya ada kabar yang berhembus bahwa Jokowi menginginkan Ahok menjadi Menteri Investasi.

Puncaknya, terjadi dalam persiapan ibu kota baru, Jokowi kembali memunculkan nama Ahok. Bahkan, presiden mengumumkan sendiri nama mantan bupati Belitung Timur itu untuk posisi Kepala Badan Otorita yang sangat strategis. 

Wajar jika muncul asumsi bahwa mantan Walikota Solo tersebut seakan-akan tersandera oleh Ahok. Meski pada bagian sebelumnya telah diinterpretasikan bahwa ada kemungkinan faktor kepercayaan dan kedekatan di balik kemunculan nama Ahok, di satu sisi mantan Wali Kota Solo tersebut pasti mengetahui bahwa memunculkan nama Ahok akan semakin menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat.

Keheranan serupa juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi tengah melawan emosi publik dan gagal dalam membaca sentimen – yang mana itu adalah potensi untuk menciptakan kegaduhan dan mengganggu stabilitas politik.

Jika asumsi demikian benar adanya, mungkin ada beberapa hal yang dapat menjadi bargaining politik dari Ahok, yakni, pertama, kedekatannya dengan pengusaha besar dan kelompok bisnis. Terkait hal ini, Jokowi dinilai masih mencari sosok yang bisa meningkatkan investor di IKN nantinya. Kedua, secara politik, posisi Ahok saat ini sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai penguasa sekaligus partai tempat Jokowi bernaung mungkin juga menjadi salah satu unsur bargaining power yang dimilikinya.

Well, pemaparan di atas hanyalah analisis dari beberapa teori saja. Pada akhirnya, apa bentuk bargaining power dari Ahok dan sekuat apa bargaining tersebut di mata Jokowi hanya kedua belah pihak terkait yang mengetahuinya. Namun, satu hal yang pasti, sulit untuk membayangkan seorang politisi yang pernah terjerat kasus hukum untuk tetap eksis dengan berbagai tawaran jabatan strategis jika tidak mempunyai bargaining politik yang kuat. (A72)

Baca Juga: Ahok Menteri Yang Dinanti?

Exit mobile version