Selaku sosok yang dijuluki sebagai menteri segala urusan, Luhut Binsar Pandjaitan menariknya justru tidak termasuk dalam susunan keanggotaan Gugus Tugas Covid-19. Lantas, apakah itu menunjukkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai membatasi ruang lingkup Luhut? Ataukah terdapat intrik politik lain di baliknya?
PinterPolitik.com
Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memiliki hubungan yang khusus dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, dalam tulisan Aaron L. Connelly di Lowy Institute, disebutkan bahwa pertemuan keduanya pertama kali terjadi pada 2008 ketika Jokowi menjadi rekan bisnis Luhut untuk mengubah kayu mentah dari konsesi hutannya di Kalimantan menjadi produk jadi.
Menurut Connelly, dari hubungan bisnis tersebut, hubungan keduanya terus berjalan, hingga Luhut disebut-sebut sebagai salah satu sosok yang “menjamin” sumber dana bagi setiap kampanye Jokowi.
Tidak hanya sebagai penyandang dana, Luhut bahkan dinilai sebagai sosok yang melindungi Jokowi dari berbagai tekanan politik. Hal ini misalnya disebutkan oleh Kanupriya Kapoor dalam tulisannya Indonesian President Treads Fine Line by Empowering Chief of Staff, yang menyebutkan bahwa Luhut berperan sebagai “bumper” dari tekanan politik PDIP di tengah memburuknya hubungan Jokowi dengan partai banteng tersebut.
Merujuk pada analis politik dari Northwestern University, Jeffrey Winters yang menyebutkan Jokowi sebagai presiden terlemah secara politik sejak masa Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kemudian, dengan sosoknya yang merupakan outsider – tidak berasal dari elite parpol – mudah untuk menyimpulkan bahwa Jokowi membutuhkan sosok berpengaruh seperti Luhut sebagai bumper tekanan politik.
Konteksnya menjadi semakin rumit ketika menimbang pada temuan Leo Suryadinata dalam tulisannya Golkar’s Leadership and the Indonesian President, bahwa berbagai petinggi PDIP ternyata tidak begitu menyukai Jokowi sejak 2014. Tentunya itu membuat posisi mantan Wali Kota Solo tersebut semakin rawan secara politik.
Akan tetapi, seperti yang diungkap oleh Suryadinata, Jokowi yang sadar bahwa dirinya tidak disukai oleh PDIP, sejak 2014, ia mulai membangun relasi yang baik dengan Golkar. Terlebih lagi, partai berlambang pohon beringin tersebut memang bersedia untuk mendukungnya.
Konteks tersebut tentunya semakin mengeratkan hubungan Jokowi dengan Luhut yang merupakan sosok berpengaruh di Golkar.
Kemudian, dengan bertambahnya cakupan wewenang Luhut dengan penambahan bidang investasi, memperlihatkan secara jelas bagaimana Jokowi telah memberikan porsi wewenang yang luas kepada politisi Golkar tersebut.
Konteks bertambahnya wewenang Luhut tersebut juga yang menjadi sorotan The Jakarta Post dalam tulisan Jokowi Gives Minister Luhut more Powers through New Regulation, yang mana dinilai bahwa penambahan bidang investasi terjadi karena vitalnya posisi Luhut dalam memastikan Indonesia menjadi target investasi dari Tiongkok, Amerika Serikat (AS), ataupun Uni Emirat Arab.
Akan tetapi, di luar lekatnya hubungan Luhut dan Jokowi, sebuah fakta menarik justru muncul seiring dengan terjadinya pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 Tahun 2020, dibentuklah Gugus Tugas Covid-19 guna mempercepat penanganan atas pandemi yang telah menggoyang berbagai sektor tersebut.
Konteksnya menjadi menarik karena Menko Kemaritiman dan Investasi ternyata tidak masuk dalam susunan keanggotaan Gugus Tugas Covid-19. Pun begitu dalam Keppres Nomor 9 Tahun 2020 yang menyempurnakan dan menambah wewenang Gugus Tugas untuk melakukan impor alat medis, jabatan Luhut juga tidak tertera di dalamnya.
Lantas, menimbang pada Gugus Tugas Covid-19 memiliki kewenangan yang teramat besar, dan tengah menjadi perhatian utama publik. Benarkah dengan absennya Luhut di susunan keanggotaan, itu adalah indikasi bahwa Jokowi tengah berupaya membatasi kewenangan sosok yang dijuluki sebagai menteri segala urusan tersebut?
Hubungan Jokowi-Luhut Retak?
Kori Schake dalam tulisannya di Foreign Policy menyebutkan bahwa dengan adanya pandemi Covid-19, AS tidak akan lagi dipandang sebagai pemimpin internasional karena dinilai tidak mampu untuk memimpin dunia dalam menanggulangi pandemi tersebut.
Mengacu pada Schake, dapat disebutkan bahwa pandemi Covid-19 telah menjadi semacam leadership test atau tes kepemimpinan bagi pemerintahan terkait.
Dengan demikian, jika Jokowi katakanlah berhasil dalam menanggulangi pandemi Covid-19, itu akan menjadi legacy atau warisan kesuksesan sendiri, yang mana namanya akan diingat sebagai pemimpinan yang luar biasa.
Atas itu pula, dapat dicurigai, dengan berbagai gelagat Luhut yang kontras dengan aspirasi publik terkait pandemi Covid-19, seperti pembelaannya terhadap turis Tiongkok untuk masuk ke Indonesia dan masuknya 49 tenaga kerja asing (TKA) Tiongkok di Kendari, Sulawesi Tenggara kendati telah terdapat larangan masuk bagi warga Tiongkok, penolakannya terhadap opsi lockdown (karantina wilayah), hingga pada tetap dilanjutkannya proyek pemindahan ibu kota baru.
Boleh jadi Jokowi merasa, dengan masuknya nama Luhut di susunan keanggotaan Gugus Tugas Covid-19, itu dapat menjadi batu ganjalan tersendiri. Terlebih lagi, sosok Luhut yang dikenal begitu berpengaruh, kemungkinan dapat menciptakan tumpang tindih pengaruh dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selaku Ketua Pelaksana Gugus Tugas.
Jika benar demikian yang terjadi, maka, seperti yang ditulis oleh Profesor Emeritus Bidang Sejarah Pengobatan Universitas Yale, Frank M. Snowden, terjadinya pandemi ataupun epidemi memang kerap menimbulkan gejolak politik tersendiri.
Kemudian, mengacu pada Alejandro Quiroz Flores dalam tulisannya yang berjudul Indonesia’s Disaster Politics, disebutkan bahwa bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan lain sebagainya tidak hanya memberikan kerusakan fisik ataupun ekonomi, namun juga dapat merusak institusi demokrasi karena dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi terkait.
Dengan demikian, mengadaptasi temuan Flores, pandemi Covid-19 yang juga dapat dikategorikan sebagai bencana alam, tentu saja dapat mengikis kepercayaan publik terhadap legitimasi pemerintahan Jokowi jika tidak dapat ditanggulangi dengan baik. Oleh karenanya, konteks tersebut menguatkan indikasi bahwa Luhut nampaknya dinilai sebagai sosok yang dapat menghambat penanggulangan pandemi Covid-19, sehingga itu nantinya dapat menjadi ancaman terhadap legitimasi kekuasaan.
Strategi Menyebar Pasukan?
Pada titik ini mungkin dapat disimpulkan bahwa tidak adanya Menko Kemaritiman dan Investasi dalam susunan keanggotaan Gugus Tugas Covid-19 adalah langkah Jokowi membatasi ruang lingkup Luhut.
Akan tetapi, dengan fakta bahwa tidak terdapat pula Menko Perekonomian dalam susunan keanggotaan tersebut, membuat terdapat sudut pandang lain dalam melihat absennya nama Luhut. Pasalnya, baik Airlangga Hartarto selaku Menko Perekonomian dan Luhut, keduanya adalah sosok yang paling dominan dalam mengurus Omnibus Law ataupun pemindahan ibu kota baru.
Dengan kata lain, mungkinkah Jokowi telah menerapkan strategi “menyebar pasukan”, yang mana baik penanggulangan pandemi Covid-19, Omnibus Law, dan pemindahan ibu kota baru tetap berjalan?
Tom Mctague dalam tulisannya The Coronavirus Is More Than Just A Health Crisis, menyebutkan bahwa kendala penanganan pandemi Covid-19 adalah tidak mungkinnya seluruh sumber daya dialokasikan menimbang pada adanya keterbatasan sumber daya, dan adanya kebutuhan lainnya.
Artinya, dalam penanganan pandemi Covid-19, sangat tidak memungkinkan untuk melakukan strategi mengerahkan segala hal yang dimiliki, melainkan harus memiliki manajemen sumber daya, atau membuat skala prioritas.
Oleh karenanya, menimbang pada Omnibus Law dan proyek pemindahan ibu kota baru telah di tengah jalan, maka patut diduga bahwa Jokowi tidak ingin keduanya tidak berjalan di tengah terpaan pandemi Covid-19.
Selain itu, tanpa adanya kehadiran Luhut ataupun Airlangga, dalam Gugus Tugas Covid-19 telah terdapat nama Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang pada Keppres Nomor 9 Tahun 2020 telah diubah posisi menjadi Sekretaris Pengarah. Artinya, itu membuat pengaruh Sri Mulyani dalam mengelola anggaran Gugus Tugas jauh lebih besar dari sebelumnya.
Jika benar Jokowi telah melakukan strategi menyebar pasukan, maka hal tersebut boleh jadi memiliki kemiripan dengan strategi perang komandan militer Mongolia, Genghis Khan yang membagi pasukannya dalam tiga sampai lima kelompok atau komando, yang mana setiap komando memiliki tanggung jawab khusus tersendiri.
Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan bahwa absennya nama Luhut di susunan keanggotaan Gugus Tugas Covid-19 dapat dipahami dengan dua sudut pandang. Pertama, itu sebagai bentuk usaha Jokowi agar Luhut tidak mengintervensi Gugus Tugas tersebut. Kedua, itu sebagai bentuk strategi menyebar pasukan.
Namun, di luar itu semua, kita tentu berharap bahwa Gugus Tugas Covid-19 dapat menanggulangi pandemi Covid-19 dengan sebaik mungkin. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.