Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan bahwa dirinya sudah tidak memiliki beban lagi dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya dalam lima tahun mendatang. Namun, faktor-faktor ekonomi dan perbedaan kepentingan bisa jadi turut menghantui Jokowi 2.0.
PinterPolitik.com
“Scared to see what I left behind. It’s weighin’ heavy on my mind” – Drake, penyanyi rap asal Kanada
Terpilihnya Jokowi-Ma’ruf Amin dalam Pilpres lalu mungkin membawa kembali harapan dan angin segar bagi sebagian masyarakat. Apalagi, sang presiden telah menekankan kembali bahwa dirinya telah terbebas dari beban yang dihadapinya dalam lima tahun sebelumnya.
Angin segar ini mungkin sangat terasa di kalangan investor. Pasalnya, paslon lawan Jokowi, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, selalu mengusung arah dan janji kebijakan proteksionis yang dapat menghambat alur investasi.
Inilah hebatnya @jokowi, tdk punya beban. Dan hal itu semakin mantap bila JKW berani utk bersikap tegas bersihkan lingkaran Istana dari intrik sisa2 benalu politik Orba yg menghambat agenda reformasi.
Jokowi Minta Aktivis 98 Berani Koreksi Pemerintahhttps://t.co/I1bzX4ubJM
— Faizal Assegaf (@faizalassegaf) June 17, 2019
Kemenangan Jokowi pada Pilpres lalu turut dianggap telah mendorong kenaikan peringkat kredit Indonesia milik lembaga-lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) Global Ratings, Moody’s, dan Fitch. Kenaikan peringkat ini membuat Indonesia semakin layak untuk menjadi tempat berinvestasi.
Investor boleh saja merasa lega dengan terpilihnya Jokowi kembali. Mantan Wali Kota Solo tersebut disinyalir memiliki keinginan untuk melanjutkan dan menambahkan proyek-proyek infrastruktur lebih banyak lagi – seperti pembangkit listrik dan bandar udara – guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Belum lagi, sejalannya kepentingan investor dan arah kebijakan Jokowi juga didukung oleh sebagian besar masyarakat. Dalam periode pertama Jokowi, sederet infrastruktur di penjuru wilayah Indonesia – seperti Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta dan Jalan Tol Trans-Jawa – juga dapat dibilang berhasil terlaksana.
Apalagi, masyarakat dianggap merasa puas dengan hasil kerja sang presiden. Gelombang mudik Idulfitri beberapa waktu lalu misalnya, disebut-sebut telah menjadi poin tambahan bagi keberhasilan pemerintahan Jokowi.
Namun, terlepas dari keberhasilan-keberhasilan Jokowi tersebut, apakah benar Jokowi telah lepas dari segala bebannya? Jika beban tersebut masih ada, apa sebabnya?
Dihantui Beban?
Jokowi dalam beberapa kesempatan selalu mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki beban lagi dalam menjalankan kebijakan-kebijakan “gila” dalam lima tahun mendatang. Namun, pernyataan Mantan Wali Kota Solo tersebut disebut-sebut belum tentu benar.
Kebijakan-kebijakan reformatif Jokowi, seperti pembangunan infrastruktur, dalam lima tahun mendatang dianggap tetap memiliki beban dari segi ekonomi. Dalam sebuah artikel Bloomberg, ekonom dari Oxford Economics Singapura, Sung Eun Jung, menjelaskan bahwa sang presiden masih memiliki banyak beban dalam lima tahun mendatang.
Menurut Sung, kebijakan-kebijakan infrastruktur Jokowi telah memberi banyak beban bagi perekonomian Indonesia. Pasalnya, kebijakan-kebijakan tersebut telah menyebabkan melebarnya defisit fiskal dan eksternal, komplain investor, dan melemahnya nilai rupiah.
Laporan Kementerian Keuangan memang menunjukkan defisit fiskal yang melebar. Seperti ungkapan “lebih besar pasak dibandingkan tiang,” kondisi defisit ini terjadi akibat pengeluaran negara yang lebih besar dibandingkan dengan penerimaannya.
Dalam laporan keuangan Januari 2019, defisit fiskal telah melebar hingga 0,28 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Belanja negara telah mencapai 6,3 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, yaitu Rp 153,8 triliun. Padahal, pendapatan negara baru bernilai Rp 105,1 triliun (lima persen dari target setahun).
Belum lagi, nilai rupiah sempat melemah hingga menyentuh kisaran nilai Rp 14 ribu per dollar AS. Jika dibandingkan dengan tahun 2014 silam yang hanya Rp 11 ribuan per dollar AS, nilai rupiah bisa dibilang melemah jauh dan sempat mencatat rekor terburuknya.
Terlepas dari situasi fiskal dan moneter yang menghantui perekonomian Indonesia, pemerintahan Jokowi tetap ingin melakukan penggenjotan tingkat pertumbuhan ekonomi. Salah satu cara yang diajukan untuk mewujudkannya adalah peningkatan investasi.
Pemerintahan Jokowi memiliki target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 hingga 5,6 persen pada tahun 2020. Guna mencapai tingkat pertumbuhan tersebut, Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan bahwa Indonesia perlu penambahan investasi sebesar 7 hingga 7,4 persen.
Target pemerintah untuk meningkatkan investasi ini tentunya tidak bebas dari kritik. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, misalnya, menilai target pemerintah tersebut tidak realistis dan akan kembali mengancam defisit fiskal Indonesia.
Regulasi investasi yang rumit turut menjadi beban yang dapat menghantui Jokowi 2.0 dalam lima tahun mendatang. Share on XBhima menilai target tersebut sulit untuk dipenuhi karena beberapa hal, seperti kebijakan pajak dan kondisi perekonomian global yang dapat terdampak oleh situasi politik di negara lain. Amerika Serikat misalnya, akan melaksanakan Pemilu pada 2020 yang disebut-sebut akan berdampak pada ekonomi global.
Selain itu, faktor regulasi turut menjadi beban yang dapat menghantui Jokowi 2.0 dalam lima tahun mendatang. Sebelumnya, peraturan-peraturan investasi memang sempat menjadi batu ganjalan bagi pemerintahan Jokowi.
Berbagai regulasi ketat yang berlaku – disertai dengan ketidakpastiannya – di Indonesia disebut-sebut telah menghambat laju investasi. Regulasi daerah dan beberapa regulasi nasional di sektor-sektor tertentu dianggap menyulitkan para investor.
Regulasi-regulasi investasi infrastruktur di bidang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) misalnya, disebut-sebut telah menghambat berbagai stakeholders dalam mengikuti tren investasi dunia pada energi terbarukan, seperti di Eropa.
Selain PLTS, investasi dalam infrastruktur pembangkit mikrohidro (PLTMH) juga dinilai terhambat oleh peraturan yang berlaku. Ketentuan-ketentuan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) No. 50 Tahun 2017 dinilai masih membuat para investor melarikan diri.
Beda Kepentingan?
Namun, seperti yang dijelaskan sebelumnya, regulasi nasional bukanlah penghambat satu-satunya bagi laju investasi di Indonesia. Berlakunya berbagai peraturan daerah (Perda) menciptakan ketidakpastian dan kerumitan bagi para investor.
Ganjalan Perda ini sempat menjadi perhatian Jokowi. Mantan Wali Kota Solo tersebut menilai banyaknya Perda yang diberlakukan oleh pemerintah-pemerintah daerah membuat proses investasi berbelit-belit sehingga para investor malas berinvestasi.
Padahal, guna meningkatkan investasi di Indonesia, pemerintahan Jokowi telah menerapkan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang diberlakukan melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sang presiden menilai bahwa seharusnya izin investasi dapat selesai hanya dalam waktu tiga jam melalui sistem tersebut.
Namun, persoalan justru muncul di tingkat daerah. Pada tingkat pemerintah daerah, proses investasi tampaknya memakan waktu lebih lama dan lebih rumit.
Jokowi pun memberikan beberapa contoh program investasi yang mengalami kesulitan di daerah. Beberapa di antaranya adalah program investasi listrik dan pertanian yang prosesnya hanya membutuhkan waktu 19 hari di BKPM tetapi dapat memakan waktu sebanyak 726-775 hari di tingkat daerah.
Berlakunya regulasi-regulasi yang mengatur investasi ini tentu membawa dampak buruk bagi negara. Menurut Anne O. Krueger dalam tulisannya yang berjudul “The Political Economy of the Rent-Seeking Society” dan Susan Rose-Ackerman dalam “The Political Economy of Corruption,” pemberlakuan berbagai peraturan pemerintah dalam hal impor dan izin bisnis justru meningkatkan kesempatan dan tendensi perilaku koruptif pejabat negara.
Selain kepentingan koruptif, kepentingan politik yang berbeda-beda antar-pejabat pada tingkat daerah dan nasional turut memengaruhi berbelitnya proses investasi di Indonesia.
Barry Hindess dalam tulisannya yang berjudul “‘Interests’ in Political Analysis” menjelaskan bahwa sebuah kebijakan, praktik, atau keadaan tertentu merupakan bentuk dari kepentingan individu atau kelompok yang menguntungkan bagi individu atau kelompok tersebut.
Menurut Hindess, kepentingan inilah yang memengaruhi keputusan dan reaksi seorang pejabat negara dalam hubungannya dengan aktor-aktor politik lain. Perbedaan regulasi investasi di tingkat nasional bisa jadi berhubungan dengan kepentingan politik yang berbeda.
Perbedaan kepentingan ini semakin mungkin memengaruhi apabila terdapat perbedaan afiliasi partai politik antara pemerintah pusat dan daerah. Kaare Strom dalam tulisannya yang berjudul “Inter-party Competition in Advanced Democracies” menjelaskan bahwa kompetisi dan konflik kepentingan antar-partai turut memengaruhi perbedaan dalam kebijakan publik yang dihasilkan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan misalnya, mempermasalahkan PTSP izin investasi yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Menurut pejabat yang diusung oleh Gerindra dan PKS dalam Pilgub 2017 ini, berbagai persoalan PTSP yang tak mau diungkapnya mendorong pemerintah DKI Jakarta untuk membuka sistem perizinan sendiri.
Keinginan Anies itu pun dikritik oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution. Menurut sang menteri, upaya yang dilakukan Anies tersebut akan memperburuk indeks kemudahan berbisnis Indonesia karena dapat memperumit proses perizinan.
Pada akhirnya, kebijakan reformatif Jokowi yang menekankan pada investasi guna meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap lah memiliki beban. Beban ini justru berasal dari pemerintah-pemerintah daerah yang bisa saja menghambat visi Jokowi akibat adanya perbedaan kepentingan di antara dua tingkat pemerintahan tersebut, baik kepentingan korupsi maupun kepentingan politik.
Mungkin, seperti lirik rapper Drake, Jokowi terlalu berfokus dan berpikir pada beban masa lalunya di periode pertama. Namun, tampaknya, sang presiden tetap akan memiliki beban lanjutan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (A43)