Site icon PinterPolitik.com

Mungkinkah Indonesia Terbebas Buzzer Politik?

Foto: Kumparan

Istilah ‘buzzer politik’ semakin populer semenjak Pemilu 2019. Meskipun pada awalnya tidak berkonotasi negatif, kampanye politik yang meresahkan membuat masyarakat mengartikan buzzer layaknya hama bagi demokrasi, yang sampai saat ini masih belum bisa diatasi. Mampukah Indonesia terlepas dari pasukan dunia maya tersebut?


PinterPolitik.com

Sebagai manusia yang hidup di era informasi, tentu kita sudah tidak asing lagi dengan yang namanya media sosial. Selain untuk berbincang dan berkoneksi dengan teman ataupun orang baru, media sosial juga digunakan sebagai salah satu platform digital paling utama dalam memperoleh informasi baru. Hanya dengan satu klik, kita bisa terhubung dengan berbagai media pemberitaan, peneliti, dan aktivis ternama.

Namun, layaknya hal lain di dunia, media sosial sangat rentan untuk disalahgunakan. Dalam isu politik, misalnya, kita tidak bisa lupa bagaimana pada Pemilihan Umum 2019 (Pemilu 2019) lalu, platform media populer seperti Twitter, Facebook, dan Instagram dibanjiri oleh ratusan, bahkan ribuan perbincangan politik yang terkesan provokatif dan menyebarkan informasi yang keliru. Akun-akun yang aktif menyebarkan informasi seperti ini kemudian kita kenal dengan istilah ‘buzzer’, yang artinya pendengung isu.

Meskipun sebenarnya istilah buzzer sendiri tidak memiliki makna yang sepenuhnya negatif, karena mereka juga bisa digunakan untuk memasarkan sebuah produk, istilah buzzer mulai mendapat sorotan besar ketika musim kampanye politik. Ini kemudian diperburuk dengan tidak adanya pengakuan dari tokoh politik yang menggunakan buzzer, yang kemudian membuat banyak warga curiga buzzer-buzzer sejenis ini dibiayai oleh oknum tertentu hanya untuk menjatuhkan lawan politik.

Ini kemudian dibuktikan oleh hasil riset dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang mewawancarai 78 orang buzzer, pada awal Oktober ini. Riset tersebut membenarkan, buzzer memang menjadi alat bagi para elite politik dan elite ekonomi di Indonesia untuk memanipulasi opini publik di media sosial. Bahkan, Ward Berenschot, peneliti KITLV, yang terlibat dalam riset tersebut, mengatakan ada orang dari circle pemerintah yang menggunakan jasa buzzer.

Baca Juga: Mengapa Buzzer Serang Bintang Emon?

LP3ES juga menemukan ternyata kelompok pendengung isu ini memiliki struktur yang terorganisir, memiliki hierarki dan juga koordinator. Mereka pun diketahui memiliki gaji bulanan, dengan rata-rata Rp 5-6 juta untuk buzzer biasa, dan hingga Rp 15 juta untuk koordinator. Lalu, kelompok ini juga menggunakan jasa influencer, yang umumnya merupakan figur terkenal di media sosial, dengan jumlah followers yang banyak.

Melihat fenomena ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa kehadiran buzzer dalam sistem demokrasi di Indonesia tak bisa dihindari. Meski begitu, ia mengakui buzzer merupakan hama dari demokrasi.

Lantas, benarkah fenomena pendengung isu ini tak terelakkan dalam demokrasi? Siapa sesungguhnya yang menjadi korban dan pelaku?

Bola Liar Demokrasi?

Francis Fukuyama dalam artikelnya yang berjudul Social Media and Democracy mengatakan, internet dan kebangkitan media sosial telah mengubah pemahaman mengenai kebebasan berbicara dalam ruang publik di seluruh negara. Ini karena komunikasi bernuansa politik bisa dengan bebasnya berseliweran di media sosial. Hal ini adalah salah satu akibat dari implementasi sistem demokrasi.

Dari sini, Fukuyama menilai kebebasan berpendapat di ruang publik digital tidak bisa lagi dilihat hanya sebagai tujuan mulia demokrasi, tetapi juga telah berubah bentuk menjadi pasar ide politik. Tokoh politik dan buzzer bergerak layaknya pedagang yang menjual ide, kemudian masyarakat menjadi calon pelanggan yang akan membeli agenda politik mana yang populer dan sesuai dengan dirinya.

Dampaknya, semakin hal ini disadari, maka akan selalu ada informasi buruk, propaganda, dan disinformasi yang sengaja dikeluarkan untuk mempengaruhi hasil politik. Fukuyama menilai tren politik di media sosial saat ini, jika ada informasi yang buruk, solusi yang dilakukan oleh buzzer atau tokoh politik bukanlah menyensor atau mengaturnya, tetapi dengan mengeluarkan informasi lain yang lebih baik, yang pada akhirnya mampu menangkal informasi yang buruk tersebut.

Ini kemudian diperburuk dengan bagaimana sistem digital itu dijalankan. Algoritma yang digunakan di media sosial seperti Facebook dan Twitter mengutamakan interaksi yang tinggi pada sebuah cuitan, dan kemudian menjadikannya sebagai utas yang viral. Dari sini, penyebaran cerita konspirasi dan postingan kontroversial dapat dengan mudah mencapai banyak lapisan pengguna media sosial, dan ini semakin bagus bagi para buzzer, karena toh tujuan awal penyebaran informasi ini adalah untuk mencapai orang sebanyak-banyaknya.

Namun, sesungguhnya poin utama yang harus kita pahami bersama dari keterkaitan antara buzzer dan demokrasi adalah, opini publik bagaimana pun bentuknya, virtual atau nyata, adalah sesuatu yang sangat menggiurkan bagi politik demokrasi. Noam Chomsky, seorang filsuf modern, dalam bukunya yang berjudul Secret, Lies, and Democracy, mengatakan pengetahuan atau opini masyarakat telah menjadi sumber kekuatan politik negara demokrasi modern.

Baca Juga: Mark Zuckerberg Terlalu Disalah-salahkan?

Kapitalisasi opini publik di era informasi menjadi hal yang sangat lumrah di negara demokrasi. Ini menjelaskan kenapa elite politik begitu candu pada indoktrinasi, yang di kasus sekarang ini bisa kita contohkan dengan maraknya penggunaan buzzer oleh elite politik.

Sebagai analogi menarik, Chomsky menyoroti fenomena seperti ini melalui istilah hume’s paradox, yang pada dasarnya menjelaskan paradoks bahwa penggiringan opini justru lebih populer dilakukan di negara demokrasi, dibandingkan negara otoriter. Ironis, bukan?

Hal ini menurut Chomsky disebabkan karena, jika ada kelompok masyarakat yang berani berbeda pendapat di negara otoriter, pemimpinnya hanya perlu membungkam, bahkan mungkin mengeksekusinya. Sementara itu, di negara demokrasi, perbedaan pendapat perlu diselaraskan melalui penggiringan opini.

Ini juga kemudian yang mendorong instansi pemerintahan dan perusahaan besar membuat yang namanya divisi hubungan masyarakat, yaitu untuk membentuk opini.

Dari pandangan-pandangan di atas kita bisa menyimpulkan, selama suara rakyat masih memegang peranan penting dalam memutuskan siapa yang berkuasa, kapitalisasi opini publik akan menjadi hal yang tidak terpisah dari demokrasi. Tentu, kita bisa menalarkan secara gamblang siapa pihak yang ingin memanfaatkan suara rakyat, yaitu elite politik dan elite ekonomi.

Lantas, langkah seperti apa yang perlu dikembangkan agar media sosial dapat menjadi ruang diskusi digital yang aman?

Kebebasan dan Aturan, Dilema?

Pendapat yang cukup populer saat ini tentang aktivitas di dunia maya adalah pengawasan ketat media sosial. Meskipun belum mengarah spesifik ke pembatasan gerak-gerik buzzer, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dianggap menjadi batu loncatan bagi Indonesia. Tetapi kembali lagi, aturan-aturan ini dikritik keras karena dianggap dapat menurunkan kebebasan berpendapat di internet.

Kembali mengutip Fukuyama, ia menawarkan sebuah solusi yang cukup menarik bernama ‘middleware’. Middleware adalah gagasan tentang perangkat lunak yang secara struktural beroperasi di atas platform media sosial yang ada, dan menyediakan cara berbeda untuk mengakses materi tertentu di aplikasi seperti Facebook dan Twitter.

Fukuyama menjelaskan ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk menerapkan middleware ini, tetapi konsep dasarnya adalah suatu kemampuan untuk membuat platform media sosial yang kita gunakan lebih selektif dalam menyeleksi konten internet yang dapat mereka sajikan, terutama materi politik, sesuai preferensi masing-masing pengguna.

Saat ini, jika kita melihat linimasa YouTube, contohnya, kita ditampilkan banyak video oleh algoritma media sosial hanya berdasarkan sejarah tontonan kita sebelumnya. Meskipun begitu, kita tidak pernah tahu secara persis bagaimana algoritma ini membuat sebuah keputusan. Ini dicontohkan dengan munculnya video yang sebetulnya tidak berkaitan dengan apa yang kita tonton sebelumnya, tetapi memiliki judul atau penggunaan kata yang sama.

Fukuyama menambahkan, di sinilah peran middleware bisa menjadi penting. Tujuannya bukan untuk memblokir materi yang buruk, tetapi untuk meningkatkan keberagaman pilihan yang bisa kita tentukan, serta memberi pengguna lebih banyak kendali atas apa yang ingin mereka lihat dan dengar. Middleware, kata Fukuyama, bisa mengambil bentuk program ekstensi yang biasanya kita gunakan di browser-browser internet.

Baca Juga: Google, Facebook, dan Twitter Mengancam Demokrasi?

Itu dari segi teknis. Secara kebijakan, jika ingin benar-benar mengatasi fenomena buzzer yang semakin tidak terpantau, regulasi dunia maya Indonesia tampaknya bisa mengambil pelajaran dari sudut pandang ekonomi, di mana populer digunakan aturan yang namanya antitrust laws. Singkatnya, aturan jenis ini melarang persaingan usaha yang tidak sehat dan juga meredam monopoli. Di Indonesia, aturan semacam ini diwujudkan melalui UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli.

Antitrust laws sangat bisa digunakan untuk membatasi pergerakan propaganda politik di media sosial. Daripada sibuk mendakwa cuitan yang sifatnya sangat abstrak dan berpotensi mencederai demokrasi, pemerintah justru bisa memberikan penekanan pada keleluasaan yang dimiliki platform media sosial. Pendekatan seperti ini sudah dilakukan di beberapa tempat, seperti di Uni Eropa melalui kebijakan General Data Protection Regulation (GDPR). (D74)

Exit mobile version