HomeNalar PolitikMungkinkah Indonesia Cuma Punya Satu Partai?

Mungkinkah Indonesia Cuma Punya Satu Partai?

Setelah munculnya Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang banyak pihak mulai memikirkan masa depan demokrasi di Indonesia. Salah satu kekhawatiran yang timbul adalah kemungkinan munculnya dominasi satu partai.


Pinterpolitik.com

Drama kongres luar biasa (KLB) Partai Demokrat versi Moeldoko beberapa waktu telah menimbulkan banyak tanda tanya. Salah satu yang mengemuka adalah soal kemungkinan Indonesia mengubah sistem kepartaian atau setidak-tidaknya koalisi yang bersifat permanen.

Ungkapan semacam itu disebut misalnya dalam artikel yang ditulis kantor berita asal negeri kanguru The Australian. Dalam artikel yang ditulis oleh Amanda Hodge, judul yang dipilih adalah “Jakarta closer to rule of one party”.

Judul itu tentu bisa memantik pertanyaan sekaligus kekhawatiran. Mungkinkah Indonesia akan benar-benar mengadopsi sistem satu partai? Lebih jauh, bukankah sistem ini jika diterapkan akan membuat demokrasi yang dibangga-banggakan bertahun-tahun akan luntur?

Jika mendengar kata negara dengan sistem satu partai, banyak orang akan teringat dengan sistem kepartaian yang ada di negara yang jauh dari gambaran demokratis. Negara-negara seperti Tiongkok atau Korea Utara mungkin akan jadi top of mind saat mendengar sistem seperti itu.

Sistem Partai Sederhana

Selama bertahun-tahun, banyak orang merasa kalau jumlah partai di Indonesia terlalu banyak. Oleh karena itu, nyaris setiap kali jelang pemilu, akan ada gagasan untuk memiminimalisasi jumlah kelompok politik tersebut.

Salah satu yang kerap jadi langkah utama adalah pemberlakuan parliamentary threshold. Dari Pemilu ke Pemilu, ambang batas minimal partai masuk ke kamar legislatif ini kerap kali dinaikkan untuk mewujudkan penyederhanaan partai.

Bagi beberapa pihak, penyederhanaan jumlah partai ini sendiri memang dianggap cukup perlu. Dari sisi pemilih misalnya, jumlah partai yang lebih sedikit tentu memudahkan mereka dalam menentukan pilihan di bilik suara.

Baca Juga: AHY Hanyalah Mangsa Pertama?

Lalu, dari sisi pengamat, jumlah partai yang lebih sedikit bisa memperkuat sistem presidensial karena kamar eksekutif tak melulu harus tersandera kekuatan banyak partai di DPR.

Nah, dari sisi parpol itu sendiri, jumlah partai yang lebih sedikit di atas kertas tentu membuat pesaing mereka di Pemilu lebih sedikit. Selain itu, mereka juga tentu akan lebih mudah untuk memutuskan sesuatu di legislatif.

Lalu, bagaimana jika disederhanakan secara ekstrem lewat sistem partai tunggal?

Di atas kertas, beberapa hal tersebut di atas tentu dapat terpenuhi. Meski demikian, hal semacam ini jelas menjadi potret muram bagi negeri ini yang sejak reformasi kerap membangga-banggakan capaian demokrasi.

Indonesia Jadi Negara Satu Partai

Secara konsep, sistem satu partai ini sendiri dapat muncul melalui dua faktor. Pertama, adanya aturan formal yang memang melarang berdirinya partai selain partai yang sedang berkuasa di pemerintahan.

Baca juga :  Jokowi Wrapped 2024

Kedua, ada juga kemungkinan sistem satu partai dominan ini muncul di sistem multipartai. Hal ini terjadi karena partai selain penguasa kekuatannya dilemahkan.

Kondisi ini bisa terjadi melalui adanya semacam keharusan partai yang tak dominan untuk berkoalisi dengan partai yang dominan. Selain itu, hal ini juga bisa terjadi dengan memberikan tindakan khusus kepada partai yang beroposisi.

Koalisi Makin Kuat

Menurut Renske Doorenspleet dan Lia Nijzink sebagaimana dikutip oleh Margaret Monyani dalam One Party State: Is It Good or Bad for Governance?, negara dengan sistem satu partai bisa terjadi baik dalam negara otoriter maupun sistem multipartai.

Hal tersebut kemudian dapat direfleksikan pada kondisi di Indonesia. Sejauh ini, memang banyak parpol yang berlomba mengajukan parliamentary threshold lebih tinggi untuk diterapkan pada Pemilu berikutnya.

Namun, apakah itu artinya mereka berlomba untuk mewujudkan sistem partai tunggal murni? Tentu sejauh ini jawabannya adalah tidak.

Hal serupa berlaku jika ingin mengaitkan dengan kemunculan Demokrat versi KLB Deli Serdang. Sejauh ini, yang terlihat adalah adanya aktor di lingkar Istana yang tiba-tiba menjadi ketua umum partai oposisi.

Jika kemudian hal itu berujung pada bergabungnya Demokrat dengan sisi penguasa, boleh jadi yang terjadi adalah adanya koalisi partai nondominan dengan partai dominan. Dalam konteks itu, belum tentu terjadi sistem satu partai yang benar-benar murni.

Hal ini mungkin akan memiliki kemiripan dengan negeri jiran Malaysia. Di atas kertas, negara tersebut memang menganut sistem multipartai.

Meski demikian, banyak pengamat yang menganggap dominasi koalisi Barisan Nasional di bawah kendali UMNO sudah serupa dengan sistem partai tunggal. Chin-Huat Wong dan James Chin dalam Malaysia – towards a topology of an electoral one-party state.

Merujuk pada kondisi tersebut, jika melihat peta yang ada sekarang, koalisi pemerintah boleh jadi akan semakin dominan. Dominasi ini mungkin akan serupa dengan Barisan Nasional di Malaysia sehingga sudah terasa seperti partai tunggal.

Dalam kondisi tersebut, ruang gerak oposisi menjadi sangat minim, sehingga proses pemilu mungkin akan didominasi oleh koalisi yang kuat.

Mungkinkah Terjadi?

Lalu, bagaimana jadinya jika Indonesia menerapkan sistem satu partai baik secara formal maupun nonformal?

Seperti yang disebutkan di atas, sistem ini jelas memudahkan pengaturan terutama dalam pengambilan keputusan. Selain itu, penguatan eksekutif juga akan terjadi karena memang oposisi di dalam legislatif akan berada dalam kekuatan yang sangat minim.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Meski demikian, tentu hal ini bukanlah potret yang menyenangkan bagi demokrasi negeri ini. Hal ini terutama jika mengingat transparansi dan akuntabilitas para pejabat negeri ini kerap kali menjadi sesuatu yang bisa digugat.

Baca Juga: Pembelaan Mahfud MD Untuk AHY

Sebagai gambaran, sistem ini bisa bermanfaat jika memang para pejabat negeri memang benar-benar bekerja dan membuat kebijakan untuk seluas-luasnya kepentingan masyarakat.

Extra Boss

Namun, bagaimana jika pejabat yang berkuasa tidak bertindak demi kepentingan masyarakat? Dalam kondisi tersebut, oposisi yang seimbang jelas diperlukan untuk menghindarkan negara dari kebijakan yang salah atau bahkan korup dan mungkin otoriter.

Oleh karena itu, tentu akan ada banyak kelompok masyarakat yang menentang sistem semacam ini. Pengalaman dominasi Soeharto dan entitas politik di sekelilingnya menjadi trauma yang tak ingin mereka ulangi.

Di luar itu, banyak pihak di luar negeri berpotensi tak akan nyaman jika Indonesia berubah haluan ke sistem yang berbau nondemokrasi seperti itu. Sebagaimana kerap disebutkan di berbagai laporan, negara-negara dari kubu Barat kurang nyaman jika harus berhadapan dengan negara bersistem tersebut.

Secara spesifik, lembaga global seperti IMF dan Bank Dunia boleh jadi akan lebih senang jika banyak negara menganut sistem multipartai. Hal ini diungkap misalnya dalam laporan Gail M. Presbey berjudul Criticism of multiparty democracy: Parallels between Wamba‐dia‐Wamba and Arendt.

Di laporan tersebut, ia menyebutkan kalau lembaga-lembaga tersebut plus negara-negara lain mendorong negara-negara di Afrika untuk menerapkan sistem demokrasi multipartai.

Merujuk pada kondisi tersebut, boleh jadi lembaga-lembaga global tersebut boleh jadi akan tetap mendorong Indonesia tetap menerapkan sistem demokrasi multipartai.

Oleh karena itu, boleh jadi jika sistem satu partai yang dimaksud adalah partai tunggal murni seperti Partai Komunis Tiongkok atau Partai Buruh Korea di Korea Utara, mungkin saja sulit terwujud.

Boleh jadi, jika akhirnya ada kekuatan partai dominan, bentuknya bukan seperti dua negara tersebut, melainkan kekuatan tunggal dominan yang meminimalisasi langkah oposisi formal.

Yang pertanyaan berikutnya adalah, apakah lembaga-lembaga itu mau menerima sistem multipartai yang terkesan formalitas belaka? Sebab, sistem ini memang bisa dibilang jauh dari demokrasi dan lebih dekat dengan pseudo-democracy.

Nah, kalau menurutmu, mungkinkah terjadi sistem satu partai di Indonesia? (H33)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Banner Ruang Publik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...