Pernyataan Benjamin Netanyahu yang ingin membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia mendapatkan beragam tanggapan. Di satu sisi, pemerintah perlu mempertimbangkan hubungan tersebut untuk kepentingan proses perdamaian Israel-Palestina, namun di sisi yang lain, isu ini akan mendapatkan penolakan dari publik dalam negeri.
Pinterpolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]erdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan niatnya untuk membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia. Sebab, Indonesia merupakan salah satu negara penting bagi Israel. Hal ini diungkap Netanyahu dalam konferensi internasional untuk wartawan Kristiani di Yerusalem.
Menurut Netanyahu, dengan populasi di atas 200 juta jiwa dengan diversifikasi agama dan budaya, Indonesia dapat menjadi mitra strategis Israel.
Ketertarikan Israel untuk membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia bukanlah yang pertama. Sejak pemerintahan Sukarno, Israel sudah melakukan lirikannya untuk membuka hubungan secara resmi.
Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik, namun melakukan kerjasama dalam hal lain. Share on XSementara, bagi mayoritas masyarakat Indonesia, citra tentang Israel sendiri sangat buruk. Sebab mereka menganggap bahwa Israel adalah negara imperialis yang telah menjajah Palestina. Selain itu juga ada sentimen agama yang melanggengkan kebencian masyarakat Indonesia terhadap Israel.
Lantas, dengan wacana Netanyahu untuk membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia, apakah peluang tersebut bisa terealisasi di era Jokowi? Keuntungan seperti apa yang akan diterima oleh Indonesia jika hal ini terjadi?
Pasang Surut
Tahun 1949 adalah kali pertama komunikasi dilakukan oleh Israel terhadap Indonesia. Setahun setelah negara Israel berdiri, Presiden Chai Weizmann dan Perdana Menteri David Ben-Gurion pernah mengirim telegram rahasia berupa ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia kepada Presiden Sukarno. Namun surat itu tak ditanggapi. Pemerintah Indonesia tidak membalasnya.
Sukarno memang terkenal dengan sikap yang sangat tegas dengan eksistensi Israel sebab dirinya anti imperialisme dan menganggap Israel sebagai imperialis.
Rezim berganti, kebijakan luar negeri juga mengikuti. Pada masa rezim Suharto adalah awal mula dari melunaknya hubungan Indoensia dengan Israel. Di awal tahun 1980-an, Indonesia membeli lebih dari 30 pesawat Skyhawk dari Israel yang dilakukan secara rahasia melalui operasi Alpha.
Pembelian pesawat itu disebut sebagai upaya Suharto agar dapat melakukan lobi-lobi di Kongres atau Senat AS terkait dengan isu Timor-Timur.
Lebih lanjut, pada tahun 1993 keinginan untuk membuka hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Indonesia membawa pada pertemuan rahasia antara PM Israel saat itu, Yitzak Rabin dengan Suharto di Jakarta.
Kemudian, ketika Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur menjadi Presiden, hubungan dagang Indonesia-Israel diwujudkan secara resmi melalui surat keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Luhut Binsar Pandjaitan pada awal tahun 2001.
Gus Dur secara terbuka mengungkapkan keinginannya untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Sikap Gus Dur tentu saja mendapatkan penolakan dari lawan politiknya, terutama dari kalangan kelompok-kelompok Islam yang sejak awal menolak hubungan dalam bentuk apa pun dengan pemerintah Israel.
Penulis biografi Gus Dur, Greg Burton mengatakan bahwa Gus Dur percaya untuk menjadikan Indonesia dapat memperoleh kematangan sebagai suatu bangsa, ia harus berani menghadapi musuh-musuh imajiner itu dan mengganti kecurigaan dengan persahabatan dan dialog – sekalipun sikap ini tidak lepas dari personal Gus Dur yang punya sahabat dekat seorang Yahudi.
Sementara pada era Jokowi, disebut-sebut ada hubungan diplomatik rahasia antara Israel dan Indoenesia. Hal itu mengutip sejumlah media Israel yang menyatakan kesepakatan itu terkait dengan rencana pembukaan konsul Indonesia di Ramallah, meski hal ini dibantah oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Melihat sejarah hubungan Indonesia-Israel sekilas di atas, bukan sebuah hal baru jika Netanyahu menginginkan hubungan diplomatik antara kedua negara. Bisa dikatakan bahwa Indonesia memang penting dan strategis bagi kepentingan Israel.
Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar di dunia dengan beragam agama lain di dalamnya, bisa menjadi peredam terhadap kekuatan yang selama ini menekan Israel. Bisa dibayangkan jika Israel memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia, maka Israel bisa mendapatkan pengakuan atas kiprahnya dalam dunia internasional.
Selain itu, dalam logika politik Israel, jika Indonesia berhasil ditaklukan secara politik melalui pembukaan hubungan diplomatik, dengan pengaruh efek politik domino di Asia Tenggara, maka Malaysia dan Brunei (dua negara ASEAN yang belum mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel) sangat besar kemungkinannya untuk ikut. Apalagi, negara-negara tersebut pada tataran sosio-kultural dan dimensi religiusitas bisa dikatakan hampir sama dengan Indonesia.
Selain itu, bagi kepentingan ekonomi bisnis, Indonesia merupakan pasar yang strategis. Dengan besarnya penganut agama Abrahamic, potensi ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata oleh Israel karena Yerusalem adalah kota suci bagi tiga agama tersebut.
Potensi ekspor impor kedua negara juga tinggi. Meski begitu, hubungan dagang Indonesia-Israel tidak berjalan mulus. Situs resmi Kementerian Perdagangan mencatat, dari Januari hingga Maret 2018, nilai perdagangan Indonesia-Israel mencapai US$ 35.733 (Rp 543.077.054), dengan rincian ekspor mencapai US$ 29.965 (Rp 455.285.571) dan impor US$ 5.768 atau (Rp 87.638.484). Kondisi ini tentu saja bisa ditingkatkan lebih jauh jika ada kondisi hubungan diplomatik yang terjalin.
Proses Perdamaian Ekstensif
Satu-satunya hal yang menjadi penghambat bagi Indonesia untuk membuka diri bagi terciptanya hubungan diplomatik dengan Israel adalah konflik antara Israel-Palestina yang sudah terjadi sepanjang berdirnya negara Israel itu sendiri.
Fakta bahwa adanya penjajahan Israel terhadap Palestina menyebabkan ada perasaan keengganan Indonesia untuk menjalin hubungan diplomatik sebab negara ini berpegang teguh pada sikap anti imperialisme itu.
Meskipun demikian, sebagai aktor internasional, sebenarnya Indonesia bisa memainkan peran penting dalam mengatur negosiasi berbagai masalah yang berkembang di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Palestina. Jokowi bisa menggunakan jalur diplomasi untuk mencari solusi perdamaian.
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Joseph Frankel dalam tulisannya berjudul International Relations in a Changing World bahwa relasi-relasi aktor internasional dapat dilakukan dalam bentuk hubungan bilateral.
Dalam pendekatan bilateralisme, realisasi hubungan bilateral dalam konteks politik negara diwujudkan melalui saluran hubungan diplomatik sebagai bentuk hubungan formal antar kedua negara.
Indonesia yang berstatus sebagai negara berbasis Islam terbesar di dunia yang moderat dan negara demokrasi serta memiliki reputasi yang baik dalam upaya penciptaan perdamaian di dunia internasional, merupakan modal utama untuk menjadi mediator dalam permasalahan Israel-Palestina.
Selama ini, komunikasi antara Indonesia dengan Israel bisa dikatakan hanya melalui negara ketiga, misalnya Amerika Serikat, Australia, Singapura dan negara-negara lainnya yang punya kecenderungan lebih “dekat” dengan Israel. Selain itu ada juga pihak ketiga dalam bentuk organisasi-organisasi internasional seperti ASEAN, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Gerakan Non-Blok (GNB).
Selain itu, kelebihan ini tidak dimiliki oleh negara-negara Islam seperti Iran, Turki atau Arab Saudi sebab ketiga negara tersebut cenderung tidak luwes untuk menanggapi isu Palestina.
Dalam melihat posisi Yerusalem yang diklaim sebagai ibukota Israel misalnya, Iran cenderung lebih radikal, sedangkan Arab Saudi lebih pragmatis dan lunak, katakanlah dalam merespon pernyataan Presiden AS Donald Trump yang notabene adalah “suara lain” Israel. Sementara Turki terjebak dalam dua kepentingan, yakni AS dan Rusia.
Apalagi, saat ini ada wacana pertemuan para duta besar negara Arab di Australia untuk merespon pernyataan Perdana Menteri Scott Morrison yang mengatakan bahwa dirinya “berpikiran terbuka” untuk mengakui status Ibu Kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, menyusul sikap AS di bawah rezim Trump.
Sikap Australia yang mendapat respon dari para dubes negara Arab ini tentu dikhawatirkan akan memperkeruh proses perdamaian Israel-Palestina yang sedang berlangsung.
Sebagai negara tetangga Australia, dan sekaligus tokoh sentral dalam organisasi Islam semacam OKI, Indonesia bisa mengambil sikap untuk meredam isu tersebut. Menjalin hubungan diplomatik adalah satu hal, sementara mengakui pemindahan Ibu Kota Israel adalah hal lain.
Dengan demikian, jika Indonesia menjalin hubungan bilateral dengan Israel, maka diharapkan bisa berperan lebih strategis dalam menegosiasikan permasalahan antara Palestina dengan Israel ke arah rekonsiliasi.
Penolakan dari Dalam, Menanti Sikap Jokowi
Sementara itu, ada semacam paradoksal yang terjadi antara relasi Israel-Indonesia. Di satu sisi, ada anggapan bahwa menjalin hubungan diplomatik patut dipertimbangkan. Namun, di sisi lain akan ada penolakan yang keras dari mayoritas publik di Indonesia.
Permasalahan yang timbul dari peluang hubungan diplomatik kedua negara tersebut adalah adanya faktor-faktor penghambat dari dalam negeri Indonesia sendiri. Ada tekanan dari sebagian besar masyarakat Islam di Indonesia yang memandang bahwa Israel telah menjajah Palestina sebagai negeri Muslim.
Di titik ini, pada level pemerintah, perlu adanya dukungan publik apabila ingin membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Jika pemerintah berani melawan pengarus-utamaan opini publik, yang sangat anti-Israel, yaitu dengan membuka hubungan diplomatik dengan Israel, maka Pemerintah akan diprotes, didemo dan akan berdampak pada gejolak sosial-politik yang justru kontra-produktif bagi pembangunan nasional.
Dengan demikian, menjalin hubungan bilateral dengan Israel dianggap sebagai pengkhianatan terhadap prinsip politik luar negeri Indonesia yang menolak segala bentuk penjajahan di muka bumi sesuai amanat konstitusi dalam UUD 1945.
Selain itu, membuka hubungan bilateral dengan Israel juga dianggap menentang solidaritas dunia Islam yang mendukung perjuangan bangsa Palestina, sehingga Jokowi sebagai presiden akan sangat sulit kiranya untuk menerapkan kebijakan luar negeri dalam hal membangun hubungan diplomatik dengan Israel.
Kondisi ini diakibatkan perbedaan ideologis, gap psikologis dan kesenjangan kultural antara Indonesia-Israel yang berakar pada benturan Islam dan Yahudi.
Jika indonesia membuka hubungan diplomatik pada pemerintahan saat ini maka elektabilitas jokowi down
— Hamdani., SH (@1hamdhany) October 16, 2018
Peluang dan tantangan dari kemungkinaan terjalinnya hubungan diplomatik antara Israel dengan Indonesia merupakan dilema bagi presiden di negeri ini.
Meski Indonesia masih teguh memegang prinsip pembebasan Palestina, namun opsi membuka hubungan diplomatik dengan Israel patut dipertimbangkan untuk kepentingan perdamaian Palestina itu sendiri. Dengan demikian opsi tersebut tentu saja masih menjadi pertimbangan jika Indonesia ingin mencapai solusi dalam persoalan Israel-Palestina.
Meskipun demikian, nampaknya wacana tersebut tidak akan mendapatkan respon positif dari Jokowi. Ia akan masih tetap memainkan status quo terhadap Israel. Jokowi tidak ingin apabila sikapnya yang melunak terhadap Israel akan berbuah simalakama, apalagi saat ini memasuki tahun politik dan isu seperti ini akan mudah dimainkan oleh lawan politik. (A37)