Jelang pembebasannya, sejumlah pengamat memprediksi terpidana terorisme Abu Bakar Ba’asyir berpotensi menjadi oposisi pemerintah. Ia bahkan diramal akan mampu menggaet dukungan massa eks Front Pembela Islam (FPI) yang tengah berseteru panas dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan menggantikan posisi Habib Rizieq Shihab (HRS). Akankah hal itu terjadi?
Sekitar awal 2019 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat sorotan tajam publik lantaran mengizinkan pembebasan terhadap terpidana terorisme Abu Bakar Ba’asyir. Jokowi saat itu berdalih keputusan itu diambil karena alasan kemanusiaan mempertimbangkan Ba’asyir yang telah memasuki masa lanjut usia.
Kendati demikian, keputusan yang diumumkan di tengah-tengah perhelatan pemilihan presiden (Pilpres) 2019 itu tentu memantik spekulasi lain. Banyak yang menduga rencana pembebasan Ba’asyir kala itu diambil Jokowi demi menggaet suara golongan Islam konservatif.
Meskipun pada akhirnya tak terlaksana, wacana itu setidaknya membuktikan satu hal. Publik masih mengakui signifikansi pengaruh Ba’asyir di kalangan Islam fundamentalis kendati dirinya sudah belasan tahun mendekam di balik jeruji besi.
Setelah menjalani 11 dari vonis 15 tahun vonis yang dijatuhkan kepadanya, Ba’asyir akan bebas secara murni awal Januari ini. Aparat kepolisian pun mewanti-wanti kepada para simpatisan Ba’asyir untuk tak melakukan penjemputan agar insiden kerumunan massa saat kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) tak terulang.
Bebasnya Ba’asyir pun tak luput dari sorotan dunia. Australia, misalnya, melalui kedutaan besarnya di Jakarta meminta pemerintah bisa memastikan tak akan ada aksi terorisme jelang pembebasan Ba’asyir.
Di sisi lain, pengamat terorisme, Al Chaidar memprediksi kebebasan Ba’asyir tak akan terlalu berpengaruh terhadap aktivitas terorisme di Indonesia. Ia menyebut pengaruh dan perannya di organisasi yang Ia dirikan, Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), sudah jauh berkurang.
Kendati demikian, Chaidar mengatakan pembebasan Ba’asyir yang dilakukan tak terlalu lama sejak pemerintah membubarkan FPI bisa saja memberikan keuntungan bagi dirinya. Ia memprediksi Ba’asyir bisa merebut simpati massa FPI.
Keluarga Ba’asyir sendiri pun tak menampik bahwa pendiri Ponpes Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo itu akan kembali berdakwah usai menghirup udara bebas nanti.
Lantas pertanyaannya, akankah Ba’asyir mampu menarik simpati massa FPI setelah imam besar mereka, HRS, kini tengah berurusan dengan aparat kepolisian?
Beda HRS Beda Ba’asyir
Setelah berhasil menumbangkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan mengantarkan Anies Baswedan memenangkan Pilgub DKI, FPI di bawah komando HRS sepertinya ketagihan berkecimpung di level politik nasional. Mereka rajin bertindak sebagai oposisi yang cukup berisik menentang pemerintahan Jokowi.
Aksentuasi yang lantang ketika mengkritik pemerintah pun membuat sosok HRS kerap dianggap sebagai representasi evaluasi terhadap kekuasaan. Hal itu pun semakin mendapatkan afirmasinya lantaran kenyataanya, dimensi kritik HRS tak melulu berkutat pada persoalan religiusitas melainkan juga menyentuh persoalan-persoalan yang lebih realistis seperti sosial, ekonomi, dan hukum.
Fenomena HRS yang kerap dianggap sebagai evaluator kekuasaan berkaitan dengan konsep utilitas yang pernah diungkapkan David Hume. Christine Chwaszcza dalam tulisannya Hume and the Social Contract. A Systematic Evaluation (2013) menyebutkan bahwa ketaatan, aturan, dan kewenangan negara sebenarnya didasarkan pada utilitas, yang berarti ditetapkan karena dinilai baik bagi banyak orang.
Dengan mengacu pada utilitas, itu memungkinkan warga negara untuk mengevaluasi kinerja negara atau pemerintahan. Misalnya untuk mengevaluasi kinerja ekonomi, cukup dilihat data ekonominya, apakah pertumbuhan ekonomi baik? Apakah angka kemiskinan menurun? Apakah pendapatan per kapita meningkat?
Konsekuensinya, ini memungkinkan masyarakat untuk mendelegitimasi pemerintahan yang berkuasa jika dirasa gagal dalam memenuhi utilitas negara.
Celah dari utilitas ini lah yang sepertinya tidak dimanfaatkan oleh Ba’asyir. Meski dalam ideologi keduanya bisa dibilang didasarkan pada ketidakpuasan terhadap sistem negara yang ada saat ini, namun pada masanya Ba’syir tak terlalu banyak mengeksploitasi isu persoalan-persoalan domestik yang mudah dijangkau masyarakat, seperti ekonomi, kemiskinan, dan kriminalisasi. Hal tersebut kiranya bisa menjadi ganjalan bagi Ba’asyir jika ingin merebut simpati massa FPI.
Perbedaan Ideologi
HRS dan Ba’syir boleh jadi memiliki pandangan yang searah terkait penegakan syariat Islam, namun begitu, terdapat perbedaan mendasar terkait ideologi yang mereka anut.
Pengamat terorisme dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak, pernah menyebut bahwa Ba’asyir berpegang teguh pada konsep hakimiyyah. Penganut konsep ini disebut menolak segala hukum, termasuk Undang-undang yang dibuat manusia dan hanya mau berkiblat kepada hukum-hukum yang tertulis dalam kitab suci. Ba’asyir, menurut Zaki, pernah menyatakan bahwa model pemerintahan yang ideal adalah kekuasaan Islam ala kelompok Taliban di Afghanistan.
Di sisi lain, HRS, meski kerap menggelorakan agar Indonesia menerapkan sistem pemerintahan tauhid, namun dalam narasi-narasinya Ia masih mengakui kedudukan Pancasila sebagai dasar negara.
Hal ini setidaknya tercermin dari pernyataannya dalam Dialog Nasional Reuni Akbar 212 Desember 2020 lalu yang menyerukan bahwa Indonesia harus hijrah ke sistem pemerintahan berbasis tauhid dan berbasis sila pertama Pancasila.
Disparitas ideologi keduanya ini agaknya mempengaruhi perbedaan gerakan yang mereka lakukan. Ba’asyir lewat JAT-nya seperti jamak diketahui, menganut pendekatan jihadis yang tak segan melakukan teror untuk menyingkirkan pihak-pihak yang dinilai menghalangi misinya.
Sementara gaya perjuangan HRS melalui FPI lebih mengarah pada gerakan sosial massa yang bertujuan menghimpun dukungan sebanyak-banyaknya. Ini setidaknya bisa dilihat dari gerakan-gerakan yang dimotori FPI selama ini seperti gerakan 411, 212 dan seterusnya.
Meski kerap menuai kontroversi dan sentimen minor publik, nyatanya pendekatan gerakan massa yang dianut FPI terbukti efektif menarik kelompok Islam moderat.
Sholihul Huda dalam risetnya yang dipublikasikan di The Conversation berhasil memotret fenomena migrasi pendukung-pendukung Muhammadiyah yang kini merapat ke FPI.
Ia menilai fenomena ini terjadi lantaran tumbuhnya pandangan di kalangan aktivis-aktivis Muhammadiyah bahwa FPI merupakan organisasi yang lebih berani dan tegas dalam mengajak pengikutnya untuk berbuat kebaikan dan mencegah kemaksiatan (amar makruf nahi mungkar). Pemikiran ini kemudian membuat mereka tidak puas dengan gerakan Islam arus utama yang dinilai terlalu ‘lembek’ dan terlalu sibuk di internal.
Sebaliknya, JAT pimpinan Ba’asyir merupakan organisasi terorisme yang tentunya bergerak di bawah tanah. Hal ini tentu membuat gerakan tersebut menjadi berjarak dengan masyarakat dan tak bisa seleluasa FPI dalam menjaring dukungan.
Kendati begitu, pengamat terorisme Al Chaidar menyebut bahwa Ba’asyir merupakan sosok yang oportunis dan populis. Ia menilai jika publik Islam, khususnya simpatisan FPI, menghendaki pemimpin radikal yang beroposisi kepada negara, maka Baasyir akan menyesuaikan gaya dakwahnya dengan keinginan tersebut.
Lantas pertanyaannya, jika hal itu benar-benar dilakukan, akankah Ia berhasil merebut simpati massa FPI?
Pengaruh HRS Terlalu Kuat?
Seperti diketahui, sejak 2017 lalu, HRS sempat bermukim di Arab Saudi selama kurang lebih 3,5 tahun lamanya. Kendati begitu, pengaruh HRS di dalam negeri nyatanya tidak pudar.
Langgengnya pengaruh tersebut boleh jadi disebabkan karena HRS tak pernah absen mengomentari polemik yang terjadi di dalam negeri. Hal ini lah yang mungkin membuat sosoknya tak pernah hilang dari memori publik, terutama pendukung-pendukungnya.
Di sisi lain, kuatnya dominasi HRS di tubuh FPI sepertinya sejalan dengan konsep panopticon atau panoptisisme. Konsep kekuasaan ini dicetuskan oleh filsuf posmodernisme Michel Foucault.
Foucault mengambil ide panoptisisme dari model bangunan penjara yang melingkar di bagian luar dengan menara pengawas di tengah-tengah. Karena efek cahaya dari balik sel, pengawas bisa mengamati orang-orang yang berada di dalam sel-sel.
Mekanisme panoptik membentuk kesatuan spasial yang memungkinnya terus terlihat dan terpantau. Akibatnya, efek utama panopticon ialah menciptakan kesadaran dalam diri para penghuni sel bahwa mereka diamati terus menerus dan menghadirkan fungsi kekuasaan secara otomatis.
Nah berangkat dari sini, bisa dibilang meski kini HRS harus kembali absen karena tengah berurusan dengan polisi, hal tersebut kiranya tak akan membuat dominasinya di tubuh FPI luntur begitu saja.
Sebaliknya, selama belasan tahun mendekam di tahanan, Ba’asyir praktis menghilang dari diskursus publik. Ia hanya menjadi pusat pemberitaan ketika dirinya terpaksa mendapatkan pelayanan medis ketika kesehatannya menurun saat menjalani hukuman.
Selain itu, Al Chaidar juga tak menampik rekam jejak Ba’asyir yang pernah berpindah-pindah haluan, seperti ketika Ia meninggalkan Jamaah Islamiyah untuk bergabung ke Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) telah menimbulkan kekecewaan tersendiri di kalangan pendukung-pendukungnya. Rekam jejaknya ini kiranya juga dapat menjadi penghalang Ba’asyir untuk dapat kembali meraih dukungan, termasuk merebut simpati massa FPI dan menggantikan posisi HRS.
Pada akhirnya, perlu diakui pembebasan Ba’asyir adalah sebuah konsekuensi hukum yang pasti akan terjadi. Namun, kendati dikatakan bahwa pengaruhnya sudah mulai melemah, pemerintah tetap tak boleh lengah. Mari berharap saja pembebasan Ba’asyir ini tak akan sampai memicu bangkitnya gerakan terorisme di Indonesia. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.