Site icon PinterPolitik.com

Mungkinkah Airlangga Dilengserkan?

Mungkinkah Airlangga Dilengserkan?

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. (Foto: Media Asuransi News)

Isu pelengseran Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menjadi sorotan pemberitaan belakangan ini. Meski para elite Golkar memperlihatkan sinyal bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, tapi indikasi berseberangan selalu muncul. Lantas, mungkinkah Airlangga dapat dilengserkan?


PinterPolitik.com

Isu pelengseran Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menjadi pembicaraan hangat akhir-akhir ini. Wacana yang terbangun dalam isu ini bahwa Airlangga akan dijatuhkan melalui mekanisme musyawarah nasional luar biasa (munaslub).

Merespons isu tersebut, elite Golkar memberikan penjelasan bahwa sulit untuk munaslub dikarenakan aturan partai yang ketat. Nurdin Halid, Wakil Ketua Umum Partai Golkar, mengatakan perlu syarat-syarat untuk menggelar munaslub, dan semua diatur dalam AD/ART Golkar.

Setidaknya terdapat dua syarat agar munaslub dapat dilakukan. Pertama, jika ketua umum berhalangan tetap, mengundurkan diri, atau melanggar AD/ART. Kedua, munaslub digelar jika ketua umum ditetapkan sebagai tersangka kasus hukum atau terlibat perbuatan pidana.

Dalam berbagai pemberitaan juga menyampaikan alasan isu penggulingan dikaitkan dengan elektabilitas Airlangga yang tak kunjung membaik, meski telah melakukan sosialisasi. Hal ini bertolak belakang dengan target Golkar yang ingin mengusung calon dari partainya sendiri untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Isu elektabilitas bisa jadi wacana yang dapat menarik perhatian, bukan hanya pengurus pusat partai politik, melainkan pengurus di setiap daerah. Terlebih jika kita telusuri konflik Golkar yang muncul di kepemimpinan Airlangga mengakar pada konflik antara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) I dan DPD II Golkar.

Adie Kadir, Wakil Ketua Umum DPP Golkar, mengatakan dalam AD/ART partai Pasal 39 ayat 3 terdapat syarat teknis untuk menggelar munaslub. Salah satunya, diadakan atas permintaan dan/atau persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 Dewan Pimpinan Daerah Provinsi.

Melihat begitu penting posisi tawar daerah, mengartikan bahwa wacana ini tidak bisa dianggap isu biasa. Isu penggulingan Airlangga sebagai Ketua Umum Golkar dapat menjadi bom waktu. Sang Menko Perekonomian harus lebih peka dan cepat mengantisipasi setiap isu yang berkembang.

Apalagi di tengah kondisi politik yang semakin memanas menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, indikator apapun dapat memicu perubahan besar. Lantas, seperti apa memahami akar konflik ini lebih dalam?

Airlangga digoyang lagi?

Airlangga Digoyang dari Dalam?

Dalam sistem demokrasi, fungsi partai politik salah satunya sebagai manajemen konflik. Namun dalam konteks partai politik di Indonesia, fungsi ini tidak bisa  dilakukan karena hampir semua partai  politik, baik besar maupun kecil, tidak pernah terlepas dari konflik yang terjadi dalam internal partai.

Begitu pula bagi Golkar, sebagai partai besar yang pernah berjaya di Orde Baru, partai beringin mempunyai banyak cerita tentang konflik internal. Terakhir cerita yang muncul saat pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) 2019.

Seperti diketahui, pada Munas Golkar 2019 pertarungan perebutan ketua umum didalangi  oleh pertarungan dua kubu besar, yaitu kubu  Airlangga dengan kubu Bambang Soesatyo (Bamsoet).

Ujang Komarudin, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), mengatakan klaim dukungan mayoritas DPD I Golkar terhadap Airlangga tidak bisa jadi ukuran kemenangan. Pasalnya, suara DPD I tidak merepresentasikan suara DPD II Golkar, yakni tingkat Kabupaten/Kota.

Menurut Ujang, peta dukungan DPD I dan DPD II ini menegaskan posisi dukungan Airlangga yang dianggap didominasi oleh kalangan elite. Dengan kata lain, lingkup dukungan untuk Airlangga kemungkinan tidak mengakar. 

Airlangga adalah seorang politisi yang memang dari awal berasal dari keluarga elite. Menurut beberapa pihak, hal ini yang menjadikan Airlangga tak terbiasa dengan gerakan akar rumput. Berbeda dengan Bamsoet yang tumbuh dan merasakan karier politik dari bawah.

Pertarungan dua kubu di internal Golkar ini bisa menjadi salah satu pemicu munculnya isu pelengseran Airlangga yang sebenarnya telah mencuat sejak akhir tahun lalu. Sebenarnya, selain pelengseran, beredar juga isu perselingkuhan yang sempat menimpa Airlangga.

Problem-problem yang mengaitkan nama Airlangga ini yang mungkin juga menjadi faktor elektabilitasnya sulit terdongkrak. Selain itu, Airlangga juga dianggap melakukan blunder politik ketika memberikan pernyataan mendukung wacana penundaan pemilu yang juga jadi sorotan dan  mendapat sentimen negatif dari masyarakat.

Akumulasi dari konflik dan kenyataan politik di atas, mewajarkan bagi seorang Aburizal Bakrie (ARB) yang menjadi Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar untuk bicara soal pentingnya soliditas dan keutuhan antar kader Golkar menjelang Pemilu 2024.

ARB menegaskan, bahwa dukungan penuh kader Golkar harus tertuju kepada Airlangga. Dia berharap isu negatif, dan upaya-upaya untuk memecah belah yang dibangun oleh kader maupun kelompok harus dihindari.

Terlihat di sini bahwa ARB “pasang badan” untuk Airlangga. Kedekatan sesama pengusaha mungkin menjadi jawaban dari tindakan ARB ini kepada Airlangga. Pernyataan terbuka ARB beberapa waktu yang lalu menjadi swabukti bahwa benar adanya friksi yang tajam dalam internal Golkar.

Hal ini ditambah dengan berita investigatif Tempo yang menyebut terjadi persekongkolan untuk menggoyang kursi Airlangga di Golkar. Nama-nama yang disebut juga merupakan elite Golkar, seperti Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, eks Menteri Sosial Idrus Marham, dan Ketua MPR Bambang Soesatyo.

Semakin terlihat jelas isu penggulingan Airlangga dari tapuk Ketua Umum Golkar terindikasi oleh perpecahan internal yang sejatinya telah akut. Lantas, apakah isu yang berakar dari konflik ini akan semakin memanas dan menemukan klimaksnya?

Airlangga wajib Capres

Hidup Mati Airlangga?

Merunut sejarah konflik Partai Golkar, jika sebelumnya konflik selalu memunculkan partai baru, maka setelah mekanisme yang disebut konsensus partai diterapkan, hal tersebut dapat diminimalisir.

Meutya Viada Hafid dalam tulisannya Konsensus Politik dalam Penyelesaian Konflik Partai Golkar, mengatakan terdapat fenomena baru dalam penyelesaian konflik Golkar yang disebut konsensus partai. Konsensus ini dipelopori oleh tiap elite yang berbeda dalam internal partai.

Setiap faksi dalam tubuh Golkar diberikan posisi strategis dalam struktur partai untuk menjadi penyeimbang roda organisasi. Hal ini menjelaskan bahwa isu penggulingan karena gesekan elite adalah fenomena yang lumrah.

Para elite yang beragam kepentingan membuat faksi dan berusaha memenangkan faksi-faksi mereka dalam kontestasi internal partai.

Ilmuwan politik Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca mengemukakan konsep rolling class dan sirkulasi elite dengan mengatakan terdapat sekelompok minoritas (elite) akan selalu menguasai mayoritas. Pareto juga mengatakan, singa (The Lion’s) dan serigala (The Fox’s) merupakan pola konflik elite politik yang senantiasa terjadi.

Mungkin terkesan saling menyerang, tapi para elite sebenarnya bertemu pada titik ekuilibrium yang disebut kepentingan bersama. Wajar jika faksi bertentangan dengan faksi lain, tapi tetap menjaga kepentingan bersama yaitu kepentingan partai secara menyeluruh.

Tapi kemungkinan lain, yaitu Airlangga digulingkan juga bisa juga terjadi. Hal ini mengingat isu elektabilitas Airlangga yang makin merosot ditambah isu penundaan pemilu, larangan ekspor CPO, dan persoalan perselingkuhan yang sempat mencuat.

Isu-isu ini akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menyingkirkan Airlangga dari kabinet dan mengambil alih Golkar. Tentunya sebagai stimulus yang baik untuk mengadakan munaslub.

Di saat yang bersamaan, syarat munaslub sekurang-kurangnya 2/3 Dewan Pimpinan Daerah Provinsi, dapat dikondisikan dengan cara menyulutkan api konflik antara DPD I dan DPD II. Caranya mungkin dengan menarasikan bahwa DPD I yang menjadi pendukung Airlangga dianggap hanyalah sebuah dominasi kalangan elite yang tidak mengakar.

Jika operasi penggulingan ini mendapat dukungan solid dari DPD II yang merupakan akar rumput, maka pelengseran kemungkinan besar dapat terjadi.

Sebagai penutup, terlihat bahwa semua kemungkinan dapat bekerja di dua level yang berbeda. Akrobat politik para pemangku kepentingan Golkar menjadi faktor penting untuk memutuskan akhir dari polemik ini. (I76)

Jika Indonesia Tidak Dijajah
Exit mobile version