Mundurnya Ketua Ikatan Ahli Urologi Indonesia, Prof. Akmal Taher dari Satgas Covid-19 semakin memperkeruh spekulasi publik terkait kurang baiknya penanganan pandemi Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah. Lantas, apa sekiranya akar dari masalah tersebut?
“Not only stupid people act foolishly: Smart people can act foolishly by virtue of their thinking they are too smart to do so.” – Robert J. Sternberg dalam Why Smart People Can Be So Foolish
Sedari awal, berbagai langkah yang diambil pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 telah mendapat sorotan minor publik. Ketika Covid-19 belum teridentifikasi di Indonesia, kita melihat berbagai pernyataan pejabat pusat justru seakan meremehkan virus tersebut. Mulai dari candaan mobil Corona, makan nasi kucing, hingga menyamakan Covid-19 dengan penyakit lainnya.
Atas berbagai pernyataan bernada meremehkan tersebut, tidak heran kemudian kita menemukan kebijakan kontradiktif, seperti memberikan diskon tiket pesawat dan wacana penggunaan influencer untuk mempromosikan pariwisata. Padahal, apabila kita berpikir secara rasional, bagaimana mungkin turis mancanegara akan datang di tengah ancaman tertular Covid-19.
Kini, setelah pandemi sudah lebih dari enam bulan di tanah air, peningkatan drastis kasus Covid-19 justru tengah terjadi. Namun, dari kacamata metode, kenaikan kasus tersebut dapat dimaknai secara positif karena itu menunjukkan angka tes Covid-19 terus meningkat. Konteks ini juga pernah diungkapkan oleh Ketua Satgas Covid-19, Doni Monardo dalam keterangannya pada 30 Agustus lalu.
Tegasnya, peningkatan kasus Covid-19 diakibatkan karena semakin tingginya pemeriksaan spesimen harian. Pada awalnya, pemeriksaan spesimen hanya di kisaran angka 2-3 ribu, namun dalam beberapa hari terakhir, jumlahnya meningkat drastis menjadi 30 ribu.
Akan tetapi, pembenaran metodis tersebut tentunya tidak dapat digunakan untuk membenarkan masih kurang baiknya penanganan pandemi Covid-19. Pada 19 September lalu, epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono bahkan dengan tegas menyebutkan bahwa pemerintah tidak memiliki rencana penanganan pandemi jangka panjang.
Tuturnya, pemerintah seharusnya belajar dari kampanye program Keluarga Berencana (KB) soal tagline “Dua Anak Cukup”. Menurutnya, kampanye tersebut berhasil mengubah persepsi masyarakat tentang “banyak anak banyak rezeki”, sehingga mau melakukan KB.
Terbaru, mundurnya Ketua Ikatan Ahli Urologi Indonesia, Prof. Akmal Taher dari Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19 tampaknya semakin menguatkan persepsi publik bahwa pemerintah tidak memiliki rencana yang matang dalam menangani pandemi Covid-19.
Kendati tidak terdapat pernyataan resmi, baik dari Satgas Covid-19 ataupun dari Prof. Akmal Taher, spekulasi publik meruncing pada adanya dugaan saran penanganan pandemi Akmal agar pemerintah fokus dalam melakukan tracing (pelacakan) dan testing (pengetesan), khususnya melalui puskesmas sampai saat ini belum menjadi prioritas kebijakan.
Lantas, jika spekulasi tersebut benar adanya, mengapa itu dapat terjadi?
False Dichotomy
Disadari atau tidak, sejak awal diidentifikasinya Covid-19 di Indonesia, tampaknya terdapat benturan persepsi antara dua kubu, yakni mereka yang memprioritaskan kesehatan dan mereka yang memprioritaskan ekonomi.
Bagi kubu pakar kesehatan, khususnya epidemiolog, dipersepsikan bahwa pandemi dipahami sebagai bencana kesehatan. Akan tetapi, bagi kubu pelaku usaha, pandemi lebih dipersepsikan sebagai bencana ekonomi. Benturan persepsi ini yang kemudian jamak dipahami publik sebagai alasan mengapa kebijakan lockdown (karantina wilayah) tidak dilakukan sedari awal karena pemerintah tengah mengalami dilema antara memilih kesehatan atau ekonomi.
Kendati Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulang kali menegaskan bahwa pemerintah memprioritaskan kesehatan. Namun, kebijakan-kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah justru jamak dipahami publik sebagai prioritas pada persoalan ekonomi.
Pada 21 Juli lalu, penulis buku The Black Swan, Nassim Nicholas Taleb telah memberikan penjelasan menohok terkait dilema tersebut. Menurut Taleb, terdapat kekeliruan bernalar jika menyebutkan terdapat dilema antara prioritas kesehatan atau ekonomi dalam penanganan pandemi Covid-19.
Tegasnya, pemahaman semacam ini merupakan false dichotomy atau dikotomi palsu. Kekeliruan ini terjadi karena pandemi dan persoalan ekonomi yang seharusnya dipahami sebagai dua hal yang tidak terpisahkan, justru dipahami sebagai dua hal yang harus dipilih salah satu. Pasalnya, jika ekonomi memang ingin diselamatkan, akar masalah, yakni pandemi Covid-19 justru harus diselesaikan terlebih dahulu agar dunia usaha tidak mendapatkan ancaman ke depannya.
Konteks kritik Taleb tersebut dapat kita temukan justifikasinya apabila kita membaca buku epidemiologi. Dalam buku Kenneth J. Rothman dan Sander Greenland yang berjudul Modern Epidemiology, misalnya, di sana disebutkan bahwa penanganan epidemi ataupun pandemi tidak hanya memperhatikan persoalan kesehatan semata, melainkan juga harus memperhitungkan dampaknya secara sosial.
Tidak hanya menyinggung ekonomi, persoalan ras dan gender bahkan masuk ke dalam variabel pembahasan. Oleh karenanya, persepsi yang menyebutkan bahwa epidemiolog hanya memahami pandemi sebagai bencana kesehatan adalah suatu pemahaman yang keliru.
Menariknya, kritik atas kebijakan pemerintah yang terlihat lebih memprioritaskan ekonomi tidak hanya datang dari epidemiolog, melainkan juga datang dari ekonom. Pada 6 Agustus lalu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad telah menegaskan bahwa pemerintah jangan bermimpi untuk mengatasi resesi ekonomi apabila kebijakan pandemi masih amburadul.
Penegasan yang sama juga datang dari Wakil Direktur INDEF, Eko Listiyanto. Menurutnya, pemerintah seharusnya mencontoh Tiongkok dan Vietnam yang ekonominya sudah pulih karena fokus mengendalikan pandemi terlebih dahulu.
Sekarang pertanyaan pentingnya adalah, mengapa false dichotomy tersebut terjadi?
Meraba Akar Masalah
Tanpa diragukan lagi, mereka yang berada di pemerintahan adalah sosok-sosok cerdas dengan pendidikan dan pengalaman yang tinggi. Akan tetapi, mengapa kekeliruan bernalar semacam itu tetap terjadi?
Robert J. Sternberg dalam tulisannya Why Smart People Can Be So Foolish tampaknya dapat membantu kita menjawab pertanyaan tersebut. Menurut Sternberg, mereka yang cerdas dapat bertindak kurang tepat karena melakukan satu atau lebih dari lima kesalahan kognitif berikut.
Pertama, optimisme yang tidak realistis. Kepercayaan bahwa dirinya begitu pintar sehingga merasa dapat melakukan apa pun yang diinginkan dan tidak mengkhawatirkannya.
Kedua, egosentrisme. Fokus pada dirinya sendiri dan apa yang menguntungkan baginya, sehingga mengabaikan atau bahkan sama sekali menghiraukan tanggung jawab kepada orang lain.
Ketiga, omniscience (maha mengetahui). Percaya bahwa dirinya mengetahui segalanya, sehingga lupa mencari apa yang tidak diketahui.
Keempat, omnipotence (maha berkuasa). Percaya bahwa dirinya dapat melakukan apapun yang diinginkan karena merasa sangat berkuasa.
Kelima, invulnerability (kekebalan). Percaya bahwa dirinya akan lolos dari apa pun yang dilakukannya, tidak peduli betapa tidak pantas atau tidak bertanggung jawabnya hal tersebut.
Tanpa bermaksud menghakimi, boleh jadi salah satu dari lima kesalahan yang disebutkan Sternberg tengah terjadi di pemangku kebijakan publik. Pasalnya, dengan segala otoritas, prestasi, dan pengalamannya, sedikit tidaknya itu dapat membentuk semacam persepsi kebanggaan yang dapat bermuara pada kesalahan kognitif tersebut.
Konteks tersebut misalnya dapat kita korelasikan dengan adanya spekulasi bahwa saran penanganan pandemi dari Prof. Akmal Taher agar pemerintah fokus dalam melakukan tracing dan testing yang tampaknya belum menjadi prioritas kebijakan.
Artinya, jika spekulasi tersebut benar adanya, maka dapat disimpulkan bahwa pemangku kebijakan publik tampaknya tidak menempatkan saran dari pakar kesehatan sebagai opsi utama dalam menangani pandemi Covid-19. Akar masalahnya? Boleh jadi karena pemangku kebijakan publik merasa memiliki pengalaman yang berlimpah, sehingga menyimpulkan bahwa persepsi mereka atas berbahayanya resesi ekonomi harus menjadi prioritas.
Tidak hanya soal kebijakan penanganan, masih terjadinya false dichotomy ataupun suara pakar kesehatan yang belum menjadi opsi utama, juga dapat bermuara pada belum baiknya komunikasi dalam penanganan pandemi. Seperti yang kita ketahui, saling revisi pernyataan pejabat pusat justru beberapa kali kita temukan. Ini tentu aneh, bagaimana mungkin pernyataan vital seputar penanganan pandemi belum terkoordinasi dengan baik.
Jika pemerintah serius ingin mengakhiri pandemi ini dengan segera, maka yang pertama harus dibenahi adalah komunikasi yang masih buruk. Jill Rutter dalam tulisannya The Government’s Communications Need to Reflect the Seriousness of the Coronavirus Crisis menyebutkan bahwa komunikasi pemerintah dalam menghadapi krisis akibat Covid-19 adalah faktor yang sangat penting.
Rutter misalnya mencontohkan bahwa imbauan seperti tidak pergi ke restoran atau kafe tanpa diikuti dengan kebijakan untuk menutupnya, dapat dirasionalisasi masyarakat bahwa pemerintah tidak benar-benar serius dalam imbauannya.
Pada akhirnya, terlepas dari apa pun yang terjadi, tentu kita berharap agar pemerintah dapat menelurkan kebijakan terbaik sehingga pandemi lekas berlalu. Mundurnya Prof. Akmal Taher dari Satgas Covid-19 juga diharapkan dapat menjadi evaluasi bagi pihak terkait untuk memperbaiki langkah penanganan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)