Site icon PinterPolitik.com

Munculkan Prabowo, Jokowi “Tiru” Amerika Serikat?

Presiden Jokowi bersama dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto

Presiden Jokowi bersama dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Foto: Beritagar)

Baru-baru ini, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menyampaikan pidato yang berisi kesaksian bahwa Presiden Jokowi selalu memperhatikan nasib rakyat miskin dalam membuat kebijakan. Lantas, benarkah dimunculkannya kesaksian Prabowo tersebut merupakan tiruan atas strategi yang pernah dilakukan oleh Amerika Serikat (AS)?


PinterPolitik.com

Pada Januari lalu, ketika Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto mendapatkan kritik dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) karena kerap melakukan perjalanan ke luar negeri, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampil sebagai sosok pembela dengan menyebut perjalanan tersebut sebagai diplomasi pertahanan.

Seolah membalas pembelaan tersebut, baru-baru ini Prabowo menyampaikan pidato yang berisi kesaksian bahwa Presiden Jokowi terus berjuang demi kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia, serta selalu memikirkan keselamatan rakyat yang paling miskin dan paling lemah. Melihat momennya, kesaksian tersebut sepertinya merupakan pembelaan atas berbagai kritik yang dilayangkan terhadap mantan Wali Kota Solo tersebut, khususnya dalam menangani pandemi virus Corona (Covid-19).

Tidak hanya perihal Presiden Jokowi dinilai tidak maksimal, melainkan juga terkait adanya dugaan bahwa persoalan ekonomi lebih menjadi prioritas pemerintah daripada masalah kesehatan. Dugaan itu sendiri sebenarnya cukup mendasar jika mengacu pada berbagai kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19.

Publik tentu mengingat bagaimana pemerintah pada awalnya justru disibukkan dengan memberikan diskon pesawat, wacana menggunakan influencer untuk mempromosikan pariwisata, maju mundurnya larangan mudik, lambatnya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga pada belum diturunkannya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), meskipun harga minyak mentah dunia tengah merosot tajam dalam beberapa bulan terakhir.

Semua kebijakan yang dinilai kurang tepat tersebut bermuara pada satu sumbu, yakni beratnya pemerintah pusat untuk menempatkan persoalan ekonomi menjadi “nomor dua”.

Merujuk pada Prabowo adalah rival Presiden Jokowi dalam dua Pilpres terakhir, serta kerap memberikan kritik tajam atas kebijakan ekonomi yang ambilnya, itu membuat pembelaan yang disampaikan oleh mantan Danjen Kopassus tersebut menyimpan dimensi keunikan tersendiri.

Lantas, mengapa harus Prabowo yang muncul dalam memberikan kesaksian terhadap Presiden Jokowi? Mengapa bukan pejabat Istana lainnya?

Jokowi Tidak Lulus Ujian?

Dengan adanya pandemi Covid-19 yang telah melumpuhkan berbagai sektor, khususnya ekonomi, tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa Presiden Jokowi tengah berada dalam ujian kepemimpinan terkait apakah ia mampu untuk mengatasi pandemi ini dengan baik atau tidak.

Jeff Kingston dalam tulisannya di The Diplomat menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 menariknya telah menjadi semacam ujian kepemimpinan bagi pemimpin negara di dunia. Artinya, pandemi tersebut tengah “menelanjangi” bagaimana sesungguhnya kapasitas kepemimpinan suatu pemimpin negara. Dalam tulisannya,  Kingston secara khusus mengulas Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe sebagai salah satu pemimpin yang gagal dalam ujian ini karena dinilai tidak mampu menangani pandemi Covid-19 dengan baik.

Berbeda dengan Kingston, Vernon White dalam tulisannya The Coronavirus Pandemic is a Global Test of Leadership justru mengulas beberapa pemimpin negara yang menunjukkan kapabilitasnya dalam menanggulangi pandemi Covid-19. Dalam tulisannya, White menyebutkan PM Norwegia Erna Solberg dan PM Singapura Lee Hsien Loong sebagai sosok yang menunjukkan kapabilitas kepemimpinan yang mumpuni.

Jika pandemi Covid-19 telah menjadi ujian kepemimpinan bagi pemimpin-pemimpin negara di berbagai belahan dunia. Lantas, selaku pemimpin negara, apakah Presiden Jokowi mampu lulus dalam ujian tersebut?

Scott Dust dalam tulisannya The Coronavirus Pandemic: A True Test of Crisis Leadership menyebutkan setidaknya terdapat empat kriteria yang memperlihatkan apakah suatu pemimpin telah mengambil suatu kebijakan yang baik dalam menghadapi pandemi Covid-19 atau tidak.

Keempat kriteria tersebut adalah (1) mampu mengambil kebijakan secara cepat namun akurat; (2) dapat menjelaskan keadaan yang tidak menentu dengan jelas; (3) mampu menjelaskan garis besar kebijakan serta bagaimana rincian detailnya; dan (4) mampu memperbaiki kebijakan yang telah salah diambil sebelumnya.

Mengacu pada empat kriteria dari Dust, sangat disayangkan, sepertinya Presiden Jokowi belum mampu menempatkan dirinya dalam gerbong PM Norwegia Solberg dan PM Singapura Lee karena belum memenuhi keempat kriteria tersebut.

Pada kriteria pertama, berbagai pihak telah mengkritik bagaimana lambatnya kebijakan pemerintah, seperti terlambat memberlakukan larangan penerbangan, mudik, ataupun PSBB.

Pada kriteria kedua, alih-alih menjelaskan situasi pandemi Covid-19 yang tidak menentu dengan jelas, pemerintah justru memperlihatkan disharmoni antar pejabat hingga lembaga terkait kebijakan yang akan diberlakukan. Itu misalnya terlihat dengan adanya silang pendapat terkait data Covid-19, aturan ojek online (ojol) boleh mengangkut penumpang, hingga pada berbagai kepala daerah justru mencuri start dengan memberlakukan local lockdown tanpa menunggu komando pemerintah pusat.

Pada kriteria ketiga, dengan adanya disharmoni antar pejabat dan lembaga, itu jelas menunjukkan bahwa pemerintah sejatinya tidak memiliki garis besar kebijakan yang jelas untuk menanggulangi Covid-19. Pada awalnya, berbagai pejabat bahkan melontarkan candaan ketika kasus Covid-19 belum terkonfirmasi di Indonesia.

Namun, pada kriteria keempat, Presiden Jokowi sepertinya sudah mampu belajar dari kesalahan dengan menerapkan berbagai kebijakan yang dinilai tepat. Ini misalnya terlihat dengan mantan Wali Kota Solo tersebut mampu menyediakan dana sebesar Rp 405 triliun untuk menanggulangi dampak ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19.

Jokowi Keluarkan “Kartu AS”?

Mengacu pada kegagalan Presiden Jokowi dalam memenuhi kriteria pertama sampai ketiga, itu sebenarnya mengindikasikan bahwa ia adalah pemimpin yang tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik.

Konteks tersebut pada dasarnya memang telah disinggung oleh berbagai pihak sejak periode awal kepemimpinannya, yang mana mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut dinilai tidak memiliki kemampuan komunikasi sebaik presiden sebelumnya ataupun pesaingnya dalam gelaran dua Pilpres terakhir, yakni Prabowo.

Jamilah Jamal dan Hassan Abu Bakar dalam tulisannya The Mediating Role of Charismatic Leadership Communication in a Crisis:  A Malaysian Example menyebutkan bahwa sosok pemimpin karismatik yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik merupakan aspek penting yang dibutuhkan dalam menghadapi situasi krisis.

Merujuk pada Jamal dan Abu Bakar, dengan kurangnya kemampuan komunikasi Presiden Jokowi, boleh jadi itu membuat sosok Prabowo kemudian dimunculkan untuk memberikan kesaksian guna meredam berbagai kritik atas kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19, khususnya dari pihak oposisi.

Senada, Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Aditya Perdana juga menyebutkan bahwa munculnya pembelaan Prabowo merupakan indikasi pemerintah tengah dalam tekanan seiring dengan adanya keraguan publik terhadap berbagai kebijakan penanganan Covid-19 yang diambil oleh pemerintah.

Dipilihnya Prabowo memang bukan tanpa alasan, mantan Pangkostrad tersebut dinilai sebagai sosok karismatik yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Selain itu, suara Ketua Umum Partai Gerindra tersebut juga dinilai dapat didengar oleh kelompok oposisi yang menjadi pendukungnya ketika berlaga di gelaran Pilpres.

Strategi menggunakan sosok karismatik untuk menarik simpati publik seperti itu nyatanya juga kerap dilakukan dalam sejarah politik. Pada Perang Dunia II misalnya, ketika Jepang kalah dalam peperangan melawan Amerika Serikat (AS) setelah kota Hiroshima dan Nagasaki dibom. Kaisar Jepang Hirohito justru tidak diadili, melainkan tetap dibiarkan menjadi Kaisar agar dapat mengumumkan kekalahan Jepang atas negeri Paman Sam.

Olivia B. Waxman dalam tulisannya How the U.S. and Japan Became Allies Even After Hiroshima and Nagasaki menyebutkan bahwa kebijakan itu diambil karena masyarakat Jepang sangat menghormati dan menuruti Hirohito selaku sosok yang dianggap sebagai perwujudan Dewa Matahari.

Jika Hirohito diadili, itu akan memberikan dampak yang buruk bagi AS karena akan terjadi gelombang besar pemberontakan oleh masyarakat Jepang. Oleh karenanya, AS harus menggunakan karisma Hirohito agar pemberontakan tersebut tidak terjadi dengan memintanya mengumumkan kekalahan Jepang atas negara yang kini dipimpin oleh Donald Trump tersebut.

Sedikit tidaknya, strategi AS tersebut, sepertinya telah dilakukan oleh pemerintah saat ini dengan memunculkan sosok Prabowo untuk memberikan kesaksian bahwa Presiden Jokowi mengambil keputusan dengan mempertimbangkan nasib rakyat miskin.

Walaupun demikian, tentunya kebenaran hal tersebut tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi, di luar itu semua kita tentu dapat menilai bahwa pembelaan Prabowo tersebut memiliki dimensi politik yang kuat menimbang pada situasi pemerintah yang tengah terjepit dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Pada akhirnya, kita tentu berharap bahwa Presiden Jokowi mampu lulus dalam ujian kepemimpinan ini dengan membawa masyarakat Indonesia keluar dari belenggu yang diakibatkan oleh Covid-19. Keberhasilan tersebut adalah harapan kita semua. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version