Krisis ekonomi di Sri Lanka telah membuat rakyatnya bergejolak. Protes bahkan dilakukan di depan rumah Presiden Gotabhaya Rajapkasa. Sebagai respons, pemerintah Sri Lanka memberlakukan pemblokiran akses media sosial. Bagaimana kita merefleksikannya dengan nilai-nilai demokrasi?
Sri Lanka berkecamuk. Negara kepulauan itu saat ini disebut sedang berkutat dengan krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaannya dari penjajahan Inggris pada tahun 1948. Menurut pemberitaan yang ada, krisis yang dialami negeri tetangga India itu diakibatkan oleh kurangnya mata uang asing karena digunakan untuk membayar utang luar negeri. Sebagai dampaknya, Sri Lanka tidak memiliki uang untuk mengimpor bahan bakar, serta kekurangan bahan pokok dan obat-obatan.
Tidak berhenti di situ, kemarahan warga Sri Lanka semakin tersulut setelah pemerintah melakukan pemadaman listrik selama 13 jam. Demonstrasi pun dilakukan di depan rumah Presiden Gotabhaya Rajapaksa, dan sayangnya, berakhir ricuh dengan sejumlah tembakan gas air mata oleh pihak aparat.
Akibatnya, untuk meredam amarah publik, pemerintah Sri Lanka memutuskan untuk memberlakukan lockdown selama 36 jam dari Sabtu (2/4/2022) sampai Senin (4/4/2022), disertai kebijakan jam malam.
Tidak hanya itu, Kementerian Pertahanan Sri Lanka juga telah menetapkan pemblokiran akses skala nasional ke platform-platform media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Twitter. Kepala Komisi Regulator Telekomunikasi Sri Lanka, Jayantha de Silva mengatakan bahwa pemblokiran ini dilakukan demi kepentingan negara dan untuk menjaga agar masyarakat tetap tenang.
Tindakan ini memancing kritik dari kalangan pemerintah Sri Langka sendiri. Menteri Pemuda dan Olah Raga, Namal Rajapaksa melalui akun Twitternya @RajapaksaNamal, mengatakan bahwa dirinya tidak akan “memaafkan” tindakan pemblokiran media sosial.
Namal pun mendesak pihak berwenang untuk dapat berpikir lebih progresif dan mempertimbangkan kembali keputusan pemblokiran tersebut.
Well, tidak heran bila Namal berpikir demikian, karena sejatinya pemblokiran yang terjadi bisa dinilai murni untuk meredam gejolak aspirasi masyarakat yang sedang keresahan.
Dengan begitu, permasalahan ini pun sesungguhnya berkutat pada upaya untuk membungkam dampak dari demokrasi, bukan untuk melindungi negara dari ancaman konvensional seperti serangan musuh.
Menarik kemudian untuk dipertanyakan, bagaimana kita bisa mengilhami fenomena pemblokiran ini dengan keberlangsungan demokrasi?
Demokrasi Ditakdirkan Takluk?
Tabrakan antara nilai-nilai demokrasi dengan perkembangan teknologi telah menjadi topik perdebatan yang sengit dalam beberapa tahun terakhir.
Kekuatan eksklusif yang bisa didapatkan dengan memiliki kemampuan mengelola teknologi telah membuat publik khawatir, produk seperti media sosial bisa digunakan sebagai jendela otoritarianisme baru yang belum pernah kita lihat sebelumnya.
Krisis di Sri Lanka dan pemblokiran media sosial menjadi bukti terbaru bahwa sulit menciptakan keakuran antara demokrasi dan teknologi.
Jamie Bartlett dalam bukunya The People Vs Tech: How the Internet Is Killing Democracy mengungkapkan kekhawatirannya tentang masa depan demokrasi di bawah perkembangan teknologi. Dalam tulisannya, Bartlett mengatakan teknologi dan demokrasi pada dasarnya adalah dua produk yang tidak akan menemukan kecocokan.
Demokrasi menurut Bartlett, memang adalah sistem yang paling ideal untuk menampung aspirasi masyarakat. Tetapi seiring perkembangan zaman, demokrasi semakin membuktikan ke dirinya sendiri bahwa ia adalah metode yang terlalu memakan banyak waktu dan tenaga untuk benar-benar bekerja secara efektif.
Sementara itu, di era modern ini, kecepatan menjadi fitur utama, baik itu dalam bisnis, ataupun pengambilan kebijakan. Teknologi kemudian hadir sebagai jawaban alternatif yang menggiurkan bagi para pemegang kekuatan. Hanya dengan satu ketukan tombol, seorang pemimpin bisa meredam penyebaran ujaran kebencian di negaranya.
Menariknya, Bartlett tidak melihat gesekan antara teknologi dan demokrasi sebagai pertempuran, melainkan sebagai proses alamiah “zeitgeist” atau tren sistem pemerintahan suatu zaman.
Ke depannya, Bartlett berargumen bahwa demokrasi akan bergabung dengan sistem seperti feodalisme, monarki, dan komunisme sebagai eksperimen politik lain yang diam-diam menghilang ditelan oleh zaman. Sementara, zeitgeist pemerintahan baru dengan adanya teknologi akan berbentuk otoritarian.
Marwa Azelmat dalam tulisannya The Rise of Digital Authoritarianism: is the Internet to be Blamed?, sama-sama menyuarakan bahwa otoritarianisme tidak dapat dihindarkan dari perkembangan teknologi dan internet.
Azelmat menilai, selama negara masih memegang kekuatan, khususnya untuk mendikte kebijakan digital, kecil kemungkinannya internet akan membantu memperkuat demokrasi. Walaupun dari luar internet seakan memberikan kita akses ke mimpi-mimpi tentang kebebasan berpendapat, banyak masyarakat lupa bahwa informasi yang mereka dapatkan adalah sebuah hasil saringan.
Oleh karena itu, teknologi sesungguhnya diam-diam telah berubah bentuk menjadi sebuah senjata pamungkas untuk membungkam, dan bahkan berpotensi membunuh demokrasi. Yang membuat semua ini lebih seram lagi adalah, teknologi tidak hanya bisa digunakan sebagai “alat pukul”, tetapi juga berpotensi membentuk dan menciptakan persepsi masyarakat itu sendiri.
Belajar dari bagaimana alur informasi bisa dimanipulasi sekian rupa, tidak ada jaminan bahwa ke depannya demokrasi hanya menjadi embel-embel di bawah dahsyatnya pengaruh perkembangan teknologi.
Lantas, mengapa otoritarianisme digital itu sendiri bisa terjadi?
Perkembangan Teknologi Mendukung Tirani?
Perkembangan teknologi komunikasi telah menghubungkan negara-negara di dunia ke dalam bentuk yang tidak pernah terjadi dalam sejarah peradaban manusia. Sangat sulit untuk membayangkan dunia dapat berlangsung tanpa adanya dukungan teknologi.
Kekhawatiran tentang perkembangan teknologi modern utamanya karena ia memiliki kemampuan untuk memberikan kontrol atas sebuah dunia yang hanya segelintir orang saja yang mampu memiliki pengaruh. Sementara itu, kita tahu sendiri bahwa kontrol adalah kunci utama menuju tirani.
Sejarawan Israel, Yuval Noah Harari dalam artikelnya Why Technology Favors Tyranny, menjelaskan bahwa perkembangan teknologi sesungguhnya adalah sebuah alat tirani yang sepertinya memang ditakdirkan untuk menciptakan pemerintahan-pemerintahan otoriter pada abad ke-21.
Pada akhir abad ke-20, demokrasi memang mengungguli kediktatoran, banyak negara yang mengemban demokrasi dan mulai meninggalkan otoritarianisme. Hal ini, menurut Yuval, terjadi karena pada masa itu proses informasi sebagai salah satu komponen kekuatan, lebih efektif dijalankan dengan sistem yang menjunjung kebebasan berpendapat.
Berkembangnya pers dan media telah membuat proses pengambilan keputusan negara berjalan lebih baik. Oleh karena itu, pantas bila banyak negara yang lebih memilih seorang presiden yang menerima banyak masukan, daripada seorang diktator yang menutup dirinya dari masukan rakyat.
Menariknya, Yuval melihat fenomena tersebut hanya dapat terjadi akibat keterbatasan informasi dari teknologi yang ada pada masa itu. Berbeda dengan masa sekarang, teknologi telah membuka gerbang yang sangat lebar untuk alur informasi.
Seorang diktator modern tidak hanya mampu mendengar keinginan rakyatnya, tetapi juga telah memiliki teknologi untuk mengolah data secara cepat dan mampu merumuskan kebijakan secara efisien.
Sebagai dampaknya, fenomena ini membuat sistem tersentralisasi jauh lebih efisien daripada sistem yang menjalankan desentralisasi, karena algoritma mesin justru dapat bekerja lebih baik jika mesin tersebut memiliki lebih banyak informasi untuk dianalisis.
Dengan demikian, Yuval mewanti-wanti bahwa pemerintahan yang modern bentuknya akan seperti peternakan. Data dari masyarakat akan digunakan layaknya perasan susu sapi oleh seorang peternak yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri.
Dan layaknya hewan ternak, seluruh perilaku kita akan diatur. Kita pun tidak akan diberikan kesempatan untuk menjadi diri kita sendiri.
Kontribusi terpenting yang dapat kita berikan, menurut Yuval, adalah mencari solusi untuk mencegah terlalu banyak data terkonsentrasi pada segelintir kelompok saja, dan juga menemukan cara agar pemrosesan data dapat terdistribusi secara efisien.
Tentu, ini tidak akan menjadi tugas yang mudah. Tetapi usaha kita untuk mewujudkannya mungkin adalah satu-satunya jawaban terbaik untuk melindungi demokrasi.
Kembali bercermin pada kasus pemblokiran media sosial di Sri Lanka, kita tidak bisa pungkiri bahwa Sri Lanka telah menjadi bukti kuat bahwa teknologi memiliki otoritas yang lebih tinggi dari demokrasi. Semoga saja, krisis di sana dapat diselesaikan dengan baik dan cepat. (D74)