HomeHeadlineMuncul di Tiap Pilpres, Isu Freeport Akan Bermain di 2024?

Muncul di Tiap Pilpres, Isu Freeport Akan Bermain di 2024?

Di tengah hiruk pikuk jelang Pilpres 2024, ada satu peristiwa menarik yang sepertinya tersisih dari pemberitaan banyak media arus utama. Adalah pertemuan Presiden Jokowi dengan petinggi Freeport McMoran yang terjadi saat Presiden RI ke-7 itu berkunjung ke Amerika Serikat beberapa hari lalu, yang menjadi topik utamanya. Peristiwa ini menarik karena isu Freeport dan kiprahnya di Indonesia seolah selalu muncul jelang Pilpres di Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang berspekulasi kepentingan Amerika Serikat selalu punya pertalian dengan isu Freeport di Indonesia.


PinterPolitik.com

Presiden Jokowi sendiri mengaku senang dengan adanya pembahasan tambahan 10 persen saham Freeport dalam pertemuannya dengan CEO Freeport McMoran, Richard Adkerson, pada kesempatan tersebut. Angka 10 persen saham itu disebut-sebut akan diberikan pada Indonesia. Memang tidak ada informasi yang jelas apakah tambahan 10 persen saham ini di luar wacana tambahan 20 persen saham yang pada awal Juni 2023 lalu sempat diberitakan, atau merupakan angka hasil negosiasi dari wacana 20 persen tersebut.

Yang jelas, kompensasi dari peningkatan kepemilikan saham ini adalah perpanjangan izin tambang bagi PT Freeport Indonesia dari yang seharusnya berakhir pada tahun 2041, menjadi tahun 2061, alias diperpanjang 20 tahun.

Dan seperti sudah di singgung di awal, lagi-lagi isu ini mencuat di sekitaran tahun politik jelang Pilpres 2024. Jika kita Googling berita tentang Freeport di seputaran Pilpres 2014, ada kasus “Papa Minta Saham”. Sedangkan di tahun-tahun jelang Pilpres 2019 ada persoalan divestasi saham, di mana Indonesia akhirnya mendapatkan 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Pencapaian ini bahkan digunakan oleh Presiden Jokowi sebagai salah satu poin kampanye politiknya.

Artinya, sangat besar kemungkinan masalah Freeport selalu punya pertalian dengan konteks pergantian kepemimpinan di Indonesia. Perkara Freeport memang sangat memusingkan negeri ini. Sebagian besar masyarakat amat menginginkan perusahaan multinasional tersebut segera angkat kaki dari negeri ini. Meski begitu, sebagai simbol hegemoni Paman Sam di negeri ini, hal itu tidak mudah untuk diwujudkan.

Freeport mau tidak mau memang menjadi salah satu kepentingan utama AS di negeri ini. Oleh karena itu, sedikit saja isu tentang perusahaan ini mengemuka, Washington hampir pasti akan bereaksi. Tengok saja bagaimana negeri adikuasa tersebut merespons rencana pemerintah untuk mengambil saham mayoritas perusahaan tersebut di 2017.

Beberapa saat setelah pemerintah mengemukakan rencana tersebut, Wapres AS kala itu, Mike Pence, terbang ke Jakarta untuk bertemu dengan pemerintah. Mantan Gubernur Indiana itu disebut-sebut memiliki agenda khusus untuk membahas nasib perusahaan tersebut saat mengunjungi tanah air.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Selain itu, salah satu pemilik saham terbesar perusahaan mulitnasional tersebut, Carl Icahn juga mengeluhkan rencana nasionalisasi Freeport. Ia merasa terhina melalui langkah tersebut. Icahn sendiri tidak bisa dianggap orang sembarangan, ia adalah salah satu penasihat Presiden Donald Trump – walaupun telah meninggalkan jabatannya tersebut beberapa waktu lalu.

Tentu pertanyaannya seperti apa efeknya terhadap hasil akhir Pilpres 2024?

Risalah Freeport dan Pilpres

Banyak pihak menilai bahwa melalui Freeport, AS berusaha untuk menunjukkan kekuatannya sebagai negara kolonial versi baru. Mereka tidak menunjukkan diri lagi sebagai sebuah negara yang menginvasi wilayah tertentu secara langsung, tetapi melalui kekuatan lain berupa ekonomi dan perusahaan multinasional.

Kondisi tersebut dapat membuat AS dianggap tengah melakukan praktik neokolonialisme. Dalam konsep tersebut, ada sejumlah hal yang bisa dilakukan sebuah negara untuk melakukan kolonialisasi terhadap negara lain dalam bentuk baru.

Dari segi sumber daya alam, neokolonialisme AS melalui Freeport dapat dilihat melalui teori sistem dunia. Salah satu pemikir yang terkenal dengan teori ini adalah Immanuel Wallerstein. Dalam pandangan Wallerstein, dunia kini mengarah kepada sistem dunia kapitalisme.

Dalam sistem ini, kekuasaan tidak berbentuk kekuatan militer yang berkuasa. Penguasaan suatu negara terhadap negara lain lebih banyak dilakukan dalam bentuk ekonomi. Dalam konteks ini, terjadi ekstraksi barang dan jasa dari negara pinggiran kepada negara inti. Ekstraksi barang seperti itu terjadi di Indonesia melalui Freeport.

Dalam konteks tersebut, kolonialisme AS tidak dilakukan melalui senjata, melainkan melalui perusahaan yang mengektraksi hasil alam. Freeport kemudian menjadi semacam simbol ketidakberdayaan menghadapi kekuatan AS sebagai sebuah hegemoni. AS kemudian mampu menanamkan pengaruhnya yang kuat melalui kegiatan ekonomi ekstraktif tersebut.

Masalah Freeport diprediksi dapat mempengaruhi Washington memberikan restu mereka kepada sosok tertentu yang akan bertarung di Pilpres 2024 mendatang. Hilangnya restu AS memang dapat berpengaruh pada pergantian rezim di suatu negara, termasuk di Indonesia. Kondisi yang hampir mirip seperti kasus Freeport ini sebenarnya pernah terjadi puluhan tahun yang lalu.

Di tahun 1965, terjadi sebuah prakondisi menuju pergantian rezim di Indonesia. Kala itu, peristiwa Gerakan 30 September 1965 disebut-sebut sebagai upaya kudeta yang dilakukan oleh Soeharto terhadap Presiden Soekarno. Dalam berbagai dokumen diberitakan bahwa AS mulai tidak nyaman dengan Soekarno dengan segala program nasionalisasi dan anti Barat, sehingga disebut-sebut terlibat dalam upaya Soeharto merebut kekuasaan.

Baca juga :  Peekaboo Jokowi-Golkar

Uniknya, jelang peristiwa tersebut, Soekarno memaksa melakukan nasionalisasi terhadap sejumlah perusahaan milik AS dan Inggris. Proklamator tersebut memang begitu anti dengan imperialisme, sehingga nasionalisasi perusahaan dilakukan secara masif. Hasil akhirnya adalah kejatuhan Soekarno dan 32 tahun kekuasaan Soeharto. Fenomean yang mirip-mirip seperti ini bisa saja terjadi di Pilpres 2024 mendatang.

Tangan di Pilpres 2024

Setidaknya ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa keberadaan Freeport sering kali menjadi perhatian dan mempengaruhi pergantian kepemimpinan di Indonesia.

Faktor pertama adalah kontribusi signifikan terhadap perekonomian. Freeport adalah salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia, dan status ini memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara dan ekonomi nasional. Sebagai hasilnya, kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan Freeport dapat memiliki dampak langsung pada kesejahteraan ekonomi negara.

Kemudian, operasi Freeport di Papua sering kali dikecam karena dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Isu-isu seperti pencemaran lingkungan, hak asasi manusia, dan ketidaksetaraan ekonomi telah menarik perhatian dan kritik baik dari masyarakat sipil maupun kelompok advokasi.

Selain itu, Freeport McMoran sebagai perusahaan asing sering kali menjadi simbol hubungan ekonomi dan politik Indonesia dengan dunia internasional. Keputusan yang berkaitan dengan Freeport dapat mencerminkan dinamika diplomasi ekonomi dan strategi nasional Indonesia.

Dan dalam konteks Pilpres, isu-isu seputar operasi Freeport dan dampaknya sering kali menarik perhatian opini publik dan media. Pergantian kepemimpinan dapat dipengaruhi oleh tekanan dan tuntutan publik untuk mengatasi isu-isu terkait Freeport dengan lebih tegas atau transparan.

Lalu pada siapa Freeport akan berpihak? Well, sejauh ini pertanyaan itu masih sulit untuk dijawab. Yang jelas, andaikata Freeport tak ingin kekuasaan Jokowi – yang memang cukup “keras” dalam program alih saham – terus berjalan, maka dukungannya mengarah pada sosok lawan dari capres yang didukung Jokowi.

Kita tahu bahwa Prabowo Subianto menjadi sosok yang digadang-gadang didukung oleh Jokowi. Jadi sangat mungkin Freeport tidak akan berada di balik Prabowo. Apalagi, nasionalisme Prabowo juga tinggi dan sangat mungkin akan melanjutkan sikap politik Jokowi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.