Di luar doa dan puisi, Malam Munajat 212 menyisakan satu kisah tak mengenakkan: kekerasan kepada jurnalis.
Pinterpolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]eberapa waktu belakangan, tampaknya banyak berita pilu terkait dengan profesi jurnalistik di berbagai penjuru dunia. Kasus intimidasi, kekerasan, bahkan pembunuhan terhadap wartawan tengah meningkat akhir-akhir ini. Hal ini jelas menjadi potret muram bagi kebebasan media dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.
Tak hanya di dunia, kekerasan dan intimidasi kepada jurnalis juga terjadi di Indonesia. Beberapa waktu lalu, dalam acara Malam Munajat 212, kisah pilu itu terjadi kepada sejumlah pewarta yang meliput. Aksi ini kemudian memicu kecaman keras dari para jurnalis tanah air.
Meski dikecam, nyatanya tak sedikit pula elemen-elemen masyarakat yang seperti mencari pembenaran atas kekerasan tersebut. Ada yang mengungkit tentang keberpihakan media, ada juga yang berharap kejadian itu tak dibahas berlarut-larut.
Pada kondisi yang ideal, kekerasan dan intimidasi kepada siapa pun, termasuk kepada profesi jurnalis, jelas bukanlah hal dapat dibenarkan. Lalu, mengapa hal seperti itu masih dilakukan dan dianggap wajar oleh pihak-pihak tertentu? Adakah dampak yang dapat timbul dari aksi intimidasi dan kekerasan semacam ini?
Menambah Luka
Malam Munajat 212 seharusnya menjadi malam yang diingat karena doa-doa dan harapan yang dipanjatkan umat di malam itu. Sayangnya, malam tersebut justru diingat melalui sisi yang tak diinginkan. Selain diperbincangkan akibat puisi milik Neno Warisman, malam itu juga jadi malam tak mengenakkan bagi hubungan pegiat aksi 212 dengan para pewarta.
Memang hubungan dua kelompok ini tergolong tak harmonis. Pada Aksi 212 di tahun 2016 misalnya, intimidasi para pegiat aksi kepada profesi jurnalis sudah terlebih dahulu dilakukan. Tak hanya itu, pada Aksi Bela Tauhid tahun 2018 lalu juga para pewarta sempat diintimidasi karena mengabadikan foto sampah.
AJI Jakarta Kecam Kekerasan dan Intimidasi Jurnalis Saat Munajat 212
Link: https://t.co/girtB9MpsL pic.twitter.com/VNaKUJLCD7
— AJI Indonesia (@AJIIndonesia) February 22, 2019
Di luar itu, pada Reuni 212 di penghujung 2018 lalu, ketegangan juga terjadi karena paparan media kepada acara tersebut tak terlampau banyak. Tak hanya itu, terjadi pula perselisihan karena ada perbedaan jumlah peserta menurut laporan wartawan dengan klaim panitia.
Meski hubungan kedua kubu tak terlampau akur, kejadian di malam itu tetap bukan hal yang bisa dibenarkan. Kekerasan kepada pihak manapun jelas bukan hal yang bisa dibenarkan termasuk kepada jurnalis, terlepas dari kiprah mereka. Kejadian itu menambah luka profesi jurnalis yang menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) telah mendapatkan 56 kasus kekerasan sepanjang Januari 2018 hingga Februari 2019.
Jika diperhatikan, kekerasan yang dilakukan para Laskar Pembela Islam (LPI) di Munajat 212 itu tergolong ke dalam pelanggaran terhadap UU Pers. Ada intimidasi dan penghalangan kegiatan jurnalistik melalui penghapusan rekaman yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Hal ini belum termasuk dengan aksi penganiayaan yang berpotensi terjerat KUHP.
Siklus Sejarah
Menurut Jennifer E. Moore dan Michael J. Socolow, kekerasan kepada jurnalis merupakan hal yang umum terjadi dalam sejarah. Mereka menggambarkan bahwa kekerasan bahkan pembunuhan terhadap pelaku jurnalistik di Amerika Serikat (AS) sudah terjadi sejak abad 18 dan 19.
Pada tahun 1837 misalnya, editor surat kabar yang pro terhadap pengahapusan perbudakan, Elijah Lovejoy, dibunuh karena kiprahnya tersebut. Massa pro perbudakan kala itu masuk ke dalam selnya dan membunuhnya.
Selain itu, ada pula Ida B. Wells-Barnett yang mempublikasikan laporan anti lynching atau extrajudicial killing di tahun 1892. Ketika itu, ada massa yang menghancurkan kantor medianya dan mengancam membunuhnya.
Merujuk pada kasus tersebut, jelas tergambar bahwa kekerasan pada kerja jurnalistik terjadi karena para jurnalis tersebut mencoba membongkar atau memperjuangkan isu tertentu yang penting di masyarakat. Ada segelintir orang yang merasa terganggu, lalu membalasnya dengan bertindak kelewat represif.
Seiring perjalanan AS sebagai sebuah republik, terjadi perubahan dalam dunia jurnalistik di negara tersebut. Kala itu, surat kabar tidak hanya terlihat partisan, tetapi juga sering kali disubsidi oleh partai politik. Dikarenakan hal tersebut, surat kabar kerap direndahkan.
Di era tersebut, editor-editor yang diserang tak terhitung jumlahnya. Beberapa dari mereka bahkan bernasib buruk karena harus menghadapi pembunuhan. Pada titik itu, kekerasan kepada jurnalis menjadi sangat lazim di AS.
Merujuk pada hal tersebut, ada masanya di mana kekerasan terhadap jurnalis terjadi karena sikap partisan atau keberpihakan mereka kepada partai politik tertentu. Pada titik tersebut, boleh jadi intimidasi di Malam Munajat 212 kepada para jurnalis memiliki kaitan dengan hal itu.
Mereka bisa saja merasa selama ini para pewarta tak berpihak pada mereka dan memihak kubu lawannya. Meski begitu, apakah kekerasan sepenuhnya dapat dibenarkan?
Kesalahan Kill the Messenger
Secara alamiah, publik tidak akan mengingat pelaku kekerasan dan intimidasi sebagai pahlawan, termasuk dalam kekerasan kepada jurnalis. Dalam kadar tertentu, kekerasan kepada jurnalis justru akan menguntungkan pihak yang menjadi korban ketimbang pelaku.
Moore dan Socolow mengingatkan bahwa akan selalu ada kegagalan ketika ada upaya untuk kill the messenger atau membunuh pembawa pesan dalam aksi intimidasi dan kekerasan kepada jurnalis. Ia mencontohkan bagaimana pembunuhan terhadap Elijah Lovejoy justru membuat pesan penghapusan perbudakan yang dibawa Lovejoy menjadi lebih luas. Selain itu, ia juga menyebut bahwa kekerasan kepada Ida B. Wells-Barnett tidak menghentikan gerakan anti extrajudicial killing yang didorongnya.
Munajat 212 menyisakan sebuah kisah tak mengenakkan: kekerasan kepada jurnalis. Share on XMerujuk pada hal tersebut, para peserta Malam Munajat 212 dapat mendapatkan kerugian yang luar biasa akibat kekerasan dan intimidasi kepada para pewarta. Alih-alih bisa menghentikan atau mematikan kiprahnya, pesan dari para pewarta ini akan menjadi lebih besar ketimbang dari para pelaku kekerasan tersebut.
Yang jadi perkara adalah, intimidasi dan kekerasan tersebut tidak hanya membuat jarak antara gerakan 212 dengan para jurnalis semakin lebar. Aksi kekerasan di malam itu dapat membuat masyarakat menjadi semakin tidak simpatik kepada kelompok tersebut karena melakukan kekerasan kepada para jurnalis sebagai pembawa pesan atau informasi.
Yang membuatnya menjadi problematik adalah, malam tersebut banyak dikaitkan dengan para politisi tanah air. Para aktor politik, terutama yang beroposisi dengan pemerintah hadir dan tampak mendukung acara tersebut.
Pada titik ini, para politisi yang terang-terangan mendukung acara Malam Munajat 212 dan membela kekerasan itu, berpotensi menghadapi apa yang terjadi dalam kasus Barnett dan Lovejoy. Simpati akan mengalir kepada para jurnalis alih-alih pihak yang satu frekuensi dengan pelaku kekerasan, terutama para politisi.
Di luar itu, kekerasan kepada jurnalis ini juga merupakan catatan hitam bagi demokrasi di negeri ini. Kebebasan pers yang menjadi salah satu prasyarat demokrasi, ternyata harus dicoreng oleh perilaku di malam Munajat 212 tersebut.
KontraS Mendesak Aparat Penegak Hukum untuk Menangkap Pelaku Kekerasan Terhadap Jurnalis Korban Kekerasan dan Intimidasi Saat Munajat 212.@AJIIndonesia @AJI_JAKARTA pic.twitter.com/ttTGHP6K1I
— KONTRAS (@KontraS) February 22, 2019
Memang, para pewarta dan khususnya perusahaan media memiliki pekerjaan rumah besar agar level mereka bisa benar-benar setara dengan Barnett dan Lovejoy. Kedua tokoh ini tergolong ke dalam pegiat gerakan sipil, sehingga pesan yang mereka wartakan dapat meluas dan meraup simpati dari masyarakat. Pada titik ini, perusahaan media tersebut idealnya bisa mengesampingkan ambisi para pemiliknya dan mau berjuang untuk isu-isu seperti Barnett dan Lovejoy.
Pada akhirnya, tindakaan kekerasan dan intimidasi di Malam Munajat 212 jelas adalah hal yang perlu dikutuk semua pihak. Tindakan tersebut tidak akan membantu para pegiat aksi 212 dan tokoh politik yang berafiliasi dengannya dalam level apapun.
Alih-alih menuai simpati, kekerasan dan beragam alasan pembenarannya, hanya akan membuat citra mereka terpuruk karena menciderai kebebasan dan kemerdekaan pers di Indonesia. Walau bagaimanapun, kelompok 212 tetap akan butuh media. Jika tidak, mereka tak akan geram jika acara mereka tak diliput. (H33)