Site icon PinterPolitik.com

MUI Rumah Besar NU-Muhammadiyah?

MUI Rumah Besar NU-Muhammadiyah?

Logo MUI, NU dan Muhammadiyah dengan background bendera Merah Putih (Foto: hidayatullah.com)

Banyak yang menganggap Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah selalu rukun dan kompak dalam menjaga keislaman yang moderat dikarenakan terdapat peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tengah keduanya. Lantas, seperti apa peran MUI sebagai rumah besar kedua organisasi besar Islam ini?


PinterPolitik.com

Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan surat terbuka kepada seluruh warga Nahdliyin. Maksud surat tersebut sebagai respons dari adanya surat pengunduran diri KH Miftachul Akhyar dari jabatan Ketua Umum MUI yang diajukan sebelumnya.

KH Miftachul Akhyar memundurkan diri karena menjalankan permintaan Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) saat Muktamar ke 34 Nahdlatul Ulama (NU) akhir Desember tahun lalu. Hal ini merupakan komitmen KH Miftachul Akhyar untuk menjalankan amanah dari NU.

Merespons mundurnya KH Miftachul Akhyar, Anwar Abbas mengaku sedih dan tidak tahu harus menyampaikan apa. Sebab, KH Miftachul Akhyar adalah sosok ulama yang terpilih sebagai Ketua Umum MUI secara bulat. hal ini begitu luar biasa karena  MUI punya anggota yang sangat beragam.

Permintaan Anwar Abbas dapat dimaknai sebagai upaya untuk mempertahankan kondisi MUI yang dianggap banyak pihak ideal. Dipimpin oleh tokoh NU dan didampingi wakil dari Muhammadiyah merupakan komposisi yang sempurna. Dua organisasi ini merupakan organisasi Islam yang dominan di Indonesia.

Selain itu, dengan adanya komposisi NU dan Muhammadiyah di posisi puncak MUI, ini memperlihatkan soliditas kedua organisasi tersebut. Hal ini penting, dikarenakan sering kali kedua organisasi ini terlibat perbedaan pendapat dalam berbagai hal.

Salah satu contohnya dalam konteks politik, saat mantan Ketua MPR RI Amien Rais dianggap sebagai tokoh utama penjatuhan Abdurrahman Wahid (Gusdur) dari kursi Presiden RI. Konflik di antara keduanya, NU dan Muhammadiyah, kemudian tidak terelakkan dalam konteks politik.

Tentunya karena Gusdur sebagai tokoh NU dan Amien sebagai tokoh Muhammadiyah. Perbedaan pendapat antara Gusdur dan Amien, waktu itu diterjemahkan sebagai konflik antara kubu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dan menjalar ke akar rumput kedua organisasi.

Di sinilah dapat dilihat maksud dari Anwar Abbas yang tidak menginginkan KH Miftachul Akhyar untuk meninggalkan MUI. Ketokohan keduanya yang mewakili NU dan Muhammadiyah akan menepis persepsi pertikaian kedua organisasi tersebut.

Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah pada level akar rumput juga sering mengakibatkan banyak pertikaian dan perbedaan pendapat. Lantas, seperti apa dasar sosio-kultural dan politik yang mengakibatkan konflik keduanya sering terjadi?

NU-Muhammadiyah Sulit bersatu?

Secara historis, NU berdiri pada tahun 1926 dan Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912. Kedua organisasi ini sering berbeda pendapat dalam berbagai hal, sehingga sulit bagi pengikut kedua organisasi ini untuk “berdamai” dan menjalin persahabatan yang langgeng.

Pendiri kedua organisasi ini, seperti KH Hasyim Asyari (NU) dan KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) konon pernah berguru pada ulama yang sama di Mekkah di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, tetapi itu tidak menjadikan pengikut kedua ormas Islam ini secara otomatis akur dan bersatu.

Terdapat sejumlah faktor sosial-kultural-keagamaan dan kepolitikan dalam sejarah relasi NU-Muhammadiyah yang sangat akut, sehingga menyulitkan kedua belah pihak untuk pulih dan damai. Trauma sejarah masa lalu begitu besar sehingga sulit dapat diubah.

Sumanto Al Qurtuby dalam tulisannya Mitos Kerukunan Antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, menjelaskan bahwa dalam sejarahnya, Muhammadiyah adalah ormas Islam yang paling gencar menyerang tradisi, budaya, amalan, dan praktik-praktik ritual-keagamaan lokal yang dilakukan warga NU.

Muhammadiyah memerangi semua itu karena dianggap dapat “menyekutukan Allah” yang juga menggelincirkan umat Islam ke praktik syirik. Diyakini pula bisa menodai kemurnian Islam dan keaslian akidah Islam.

Karena dipandang sebagai bagian dari penyakit TBC, yaitu Takhayul, Bid’ah dan Churafat, Muhammadiyah selama berpuluh-puluh tahun dengan derasnya mengkritik dan menyerang berbagai praktik ritual-keagamaan yang dipraktikkan dan dilestarikan warga NU, seperti tahlilan, sedekahan, kenduri, barzanji, dan masih banyak lagi.

Ahmad Najib Burhani dalam tulisannya Benturan Antara NU dan Muhammadiyah, mengatakan konflik keduanya didasari oleh cara mengambil tafsir berdasarkan referensi yang berbeda. Muhammadiyah berdasarkan referensi kepada Al-Qur’an dan Sunnah (orthodoxy based on scripture).

Sementara NU disebut mengacu kepada tradisi dan kitab yang selama ini banyak dipegang oleh umat Islam (orthodoxy based on consensus). Menjaga konsensus yang menjadi kearifan lokal yang telah dijaga tiap generasi.

Perbedaan ini dijelaskan berdasarkan latar belakang pendirian keduanya. Pendirian NU dilatari kemauan para kiai dan ulama pesantren untuk melestarikan tradisi dan kebudayaan Islam, serta tradisi bermazhab yang selama ini dipraktikkan oleh komunitas santri dan masyarakat Muslim pedesaan yang menjadi basis jamaah NU.

Di sisi lain, pendirian Muhammadiyah dilatari untuk melakukan reformasi dan modernisasi umat Islam dengan jalan puritanisasi pemikiran dan praktik keislaman. Ini dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran modernis-reformis para ulama Mesir, seperti Jamaludin Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.

Nur Al-hidayatillah dan Sabiruddin dalam tulisannya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah: Dua Wajah Organisasi Dakwah di Indonesia, mengatakan sejumlah perbedaan tafsir, pandangan, pemahaman, dan tindakan yang menyangkut masalah-masalah sosial-kultural dan ritual-keagamaan, yang telah membuat NU dan Muhammadiyah sulit untuk berjalan bergandengan.

Meskipun relasi NU dan Muhammadiyah tampak kurang baik, bukan berarti tidak ada secercah harapan bagi kedua organisasi Islam utama di Indonesia  ini untuk membangun “rumah besar” yang lebih baik, hebat, bermartabat dan berkemajuan di kemudian hari.

Di sinilah peran penting MUI sebagai rumah bersama kedua organisasi besar Indonesia. MUI dapat menjadi pengejawantahan konsepsi ummah yang menjadi landasan persatuan ummat Islam. Lantas, seperti apa melihat MUI sebagai perwujudan konsep politik ummah?

MUI Perwujudan Konsep Ummah

Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar, menjelaskan konsep ummah berasal dari bahasa Hebrew/Ibrani, alef-mem yang arti dasarnya cinta kasih (saint lover), kemudian menyeberang menjadi bahasa Arab, umm yang arti dasarnya ibu.

Umm diartikan ibu karena ibu memiliki cinta kasih yang paling dalam. Dari akar kata alif-mim membentuk kata amam (keterdepanan, keunggulan), imam (imam shalat, pemimpin), makmum (pengikut imam, rakyat), imamah (konsep yang mengatur antara imam dan makmum, serta pemimpin dan rakyat). Keseluruhan makna dasar ini menghimpun suatu komunitas khusus yang bernama ummah.

MUI memiliki peran sangat penting dalam mewujudkan konsep ummah ini. Utamanya dalam menjalankan peran sebagai melting pot, titik temu, rumah besar Umat Islam yang terdiri dari banyak kamar, namun disatukan dengan dinding ukhuwah Islamiyah.

Muhammad Faqih dalam tulisannya Konsep Ummah dan Rakyat dalam Pandangan Islam, mengatakan ummah adalah suatu kumpulan masyarakat yang berbeda-beda, baik suku, ras, agama, dan budaya yang memiliki visi-misi dan tujuan hidup bersama.

Peran MUI untuk menampung perbedaan pandangan keislaman dari berbagai organisasi Islam di Indonesia, khususnya perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, dirasa adalah pengejawantahan konsep ashabiyah dalam makna solidaritas umat dan bangsa yang dipelopori oleh Ibnu Khaldun.

Seperti yang diketahui, konsep ashabiyah ini sebagai kekuatan kelompok sosial yang menunjuk pada ikatan sosial dan budaya. Selain itu dapat menimbulkan kesetiaan dan kasih sayang pada suatu kelompok.

Sebagai penutup, diharapkan kesadaran bahwa NU dan Muhammadiyah mempunyai satu rumah besar, yaitu MUI. Besar harapan, persepsi bahwa kedua organisasi Islam ini tidak  mungkin bersama dapat dihilangkan. MUI layaknya pengertian dasar dari ummah, yaitu ibu. MUI dapat merangkul erat kedua organisasi yang punya peran besar kepada ummat dan bangsa. (I76)


Exit mobile version