Setiap Hari Raya Idul Fitri, masyarakat Indonesia – khususnya umat Muslim – berbondong-bondong pulang kampung atau mudik. Selain menjalin silaturahmi dengan keluarga, tradisi ini juga menjadi salah satu cara pemerataan ekonomi.
PinterPolitik.com
“Kami perkirakan arus balik akan terjadi pada Jumat dan Sabtu karena kita tahu mulai Senin, 3 Juli 2017 semua sudah masuk. Cuti bersama habis. Ini akan terjadi kepadatan.”
[dropcap size=big]P[/dropcap]rediksi Sekertaris Jenderal Kementerian Perhubungan Sugihardjo ini kiranya tak meleset, karena sejak Kamis (29/6), kemacetan sudah mulai terjadi di beberapa titik jalan dari arah Jawa Tengah dan Jawa Barat menuju Jakarta. Kemacetan ini terjadi karena sebagian masyarakat Jakarta dan sekitarnya telah usai melakukan tradisi pulang kampung atau mudik, mengisi liburan Hari Raya Idul Fitri 25-26 Juni lalu.
Kemacetan menjelang dan setelah pulang kampung, bagi masyarakat Indonesia bukan hal yang luar biasa lagi. Hampir setiap tahun kondisi yang sama terjadi, tak heran bila pembangunan jalan tol lintas wilayah, baik di Jawa maupun di luar Jawa, menjadi salah satu kebutuhan vital. Di tahun ini, sejumlah tol lintas wilayah yang baru selesai dikerjakan, sangat membantu masyarakat kembali ke Jakarta lebih cepat dan lancar.
Namun tahun ini, liburan ‘pulang kampung’ cukup spesial karena mantan presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama, juga ikut pulang kampung ke Indonesia. Lawatan pribadi Obama yang ketika kecil sempat tinggal empat tahun di Jakarta ini, juga berbarengan dengan tanggal libur bersama yang ditetapkan pemerintah, yaitu 23 Juni hingga 1 Juli, untuk mengunjungi Bali, Yogyakarta, dan Jakarta.
“Pulang kampung nih,” begitu celetukan Obama di tahun 2010, ketika lawatan ke Indonesia. Bagi presiden ke 44 AS dan yang pertama dari keturunan Afrika-Amerika ini, Indonesia bagaikan rumah kedua baginya. Tak heran bila selama liburan ini, Obama membawa serta istrinya, Michelle, dan kedua putrinya berkunjung ke Yogyakarta, tempat ibunda Obama, Ann Dunham, yang seorang antropolog melakukan penelitian.
Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) pun tak lepas dari tradisi pulang kampung. Pada Lebaran kedua, Senin (26/6), mantan walikota Solo ini kembali ke kota Surakarta sambil membagi-bagikan sembako. Selain silaturahmi dengan keluarganya, Jokowi juga meresmikan Pasar Klewer dan mencanangkan Economic Policy. Dan hari ini, Jumat (30/6), keduanya akan bertemu di Istana Bogor untuk makan malam bersama.
Pemerataan Ekonomi, Setahun Sekali
“Untuk beberapa provinsi (di Jawa) akan mendapatkan peningkatan aktivitas ekonomi dari sisi tempat tinggal yaitu hotel dan tempat makan.”
Tradisi mudik memang cukup merepotkan pemerintah setiap tahun. Namun dibalik segala keruwetan perpindahan manusia dari kota ke pedesaan, menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, momen mudik Lebaran ini juga menguntungkan secara ekonomi, terutama wilayah Jawa. Pasalnya, tradisi mudik ke kampung halaman terkonsentrasi di pulau terpadat di Indonesia tersebut.
Sri Mulyani yang akrab disapa Ani ini menjelaskan, di beberapa provinsi di Jawa, aktivitas ekonomi menggeliat pesat selama periode mudik Lebaran, misalnya Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Di samping itu, saat hari Idul Fitri pun aktivitas ekonomi tidak berhenti, terutama bisnis yang terkait konsumsi. “Pasti banyak pekerja yang membutuhkan bayaran ekstra,” ungkap mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, saat open house di rumah dinasnya, Minggu (25/6).
Seiring meningkatnya transaksi, perputaran uang di masyarakat juga cukup besar. Meski demikian, ia berharap transaksi uang tunai perlahan dapat berkurang. Sebaliknya, transaksi non-tunai diekspektasikan meningkat. “Dilihat dari jumlah, mudah-mudahan kita tidak lihat banyak cash (uang tunai) ya. Jadi lebih banyak cashless (transaksi nontunai),” harapnya.
Pernyataan Menkeu juga diamini oleh Analis ekonomi dari Indosterling Capital William Henley, menurutnya tradisi mudik juga bakal menciptakan pemerataan perekonomian. Potensi itu didasarkan pada perkiraan Bank Indonesia (BI) yang menyebut peredaran uang pada tahun ini sebesar Rp 167 triliun atau meningkat 14 persen dibandingkan tahun lalu. “Harusnya perputaran uang yang sedemikian besar itu jangan sampai sia-sia hanya untuk konsumtif,” katanya, Senin (19/6).
Sayangnya lagi, de-urbanisasi temporer ini hanya terjadi setahun sekali, walaupun dalam jumlah besar. BI memperkirakan, uang yang beredar saat Lebaran 2017 sebesar Rp 646 triliun, naik 35 persen dibandingkan dengan saat di luar Lebaran, yaitu Rp 479 triliun. Meski data makro memperlihatkan ekonomi tumbuh baik, termasuk bertambahnya uang beredar saat Lebaran dan stabilnya harga pangan, tapi data mikro memperlihatkan belum semua yakin dengan perbaikan perekonomian.
Tradisi Turun Temurun
“Sampai tiba dititik jauh dari keluarga dan ingin berkumpul, baru kamu akan merasakan bagaimana arti mudik yang dianggap konyol sebagian orang.”
Konyol, memang bagi mereka yang bukan perantau. Tapi bagi yang merantau atau tinggal jauh dari keluarga, mudik akan menjadi suatu kewajiban tersendiri. Bukan karena ikut-ikutan, tapi karena seseorang butuh dekat dengan keluarga dan orang-orang yang dicintainya saat hari spesial, seperti Lebaran. Apalagi bagi umat Muslim, silaturahmi dengan saudara dan kerabat merupakan salah satu kewajiban yang harus terus dibina.
Pulang kampung juga dikenal dengan istilah mudik bagi warga Indonesia, khususnya Jawa. Tradisi yang biasanya dilakukan oleh hampir semua penduduk di Indonesia jelang hari raya besar ini, belum banyak yang memahami sejak kapan mulai berlangsung. Mudik sendiri, berasal dari bahasa Jawa ngoko (kasar) yaitu mulih dilik atau dhisik (pulang sebentar). Namun, ada juga yang mengatakan kata mudik berasal dari kata udik yang artinya desa, dusun, kampung, dan pengertian lain yang maknanya adalah lawan dari kota.
Konon, mudik bukan lahir karena tradisi Lebaran, karena nenek moyang bangsa Indonesia sudah lebih dulu melakukan ritual mudik sebelum mengenal lebaran. Awalnya, mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa sejak sebelum masa Kerajaan Majapahit. Saat itu belum ada istilah mudik, tapi merti desa (bersih desa).
Gambang Lebaran: dari ziarah kubur ampe THR. Nyanyi bareng nyook~ ? Vivi Sumanti & Frans Daromes, 1970. Dok. KITLV pic.twitter.com/mv03jpcGDj
— Potret Lawas (@potretlawas) June 28, 2017
Upacara ini dilakukan bersama-sama di pekuburan dan diikuti masyarakat dari ratusan desa pertanian. Mereka melakukan doa bersama, memohon keselamatan desanya. Menurut kepercayaan saat itu, roh para leluhur dapat membantu menyampaikan doa kepada dewa-dewa di kahyangan. Menjelang bersih desa, orang-orang yang berada di perantauan diminta pulang ke kampung halamannya, dari sinilah lahir tradisi mudik.
Setelah pengaruh Islam masuk ke tanah Jawa, tradisi tersebut berangsur-angsur terkikis, karena dianggap perbuatan yang sia-sia serta syirik. Meski begitu, peluang kembali ke desa setahun sekali itu muncul kembali lewat momentum Idul Fitri. Itulah sebabnya, mengapa kebanyakan masyarakat Jawa yang mudik, selalu menyempatkan diri berziarah dan membersihkan kuburan keluarga dan leluhurnya yang telah meninggal.
Walau mudik tidak diajarkan dalam agama Islam, tradisi ini membawa banyak nilai positif. Karena, mudik Lebaran bertalian erat dengan semangat Idul Fitri, yaitu kembali pada kesucian. Di momen ini, hubungan persaudaraan dilekatkan kembali. Seorang anak akan sungkem, menunjukkan baktinya kepada orangtua maupun sudaranya yang lebih tua. Misi ukhuwah islamiyah juga terkandung di dalamnya, dengan saling kunjung mengunjungi, halal bihalal, dan sedekah kepada fakir miskin. (Berbagai sumber/R24)