Wacana masuknya Gerindra ke koalisi pemerintahan Jokowi menimbulkan pro dan kontra. Sekalipun dinilai akan mampu membawa kesejukan politik, konteks ini bisa melahirkan kondisi ketiadaan oposisi. Bahkan, Gerindra dan Prabowo secara spesifik bisa mengubur mimpi menjadi pemenang di 2024 jika larut dalam strategi eliminasi oposisi – hal yang telah dipraktikan oleh Caesar di Romawi dan Hitler di Jerman – yang kini dijalankan oleh Jokowi.
PinterPolitik.com
“Opposition brings concord. Out of discord comes the fairest harmony”.
:: Heraclitus (535-475 SM), filsuf Yunani kuno ::
Penguasa mana yang tak ingin kekuasaannya bertahan tanpa ada gangguan dari lawan politik. Sejak era Julius Caesar di Romawi, Adolf Hitler di Jerman, hingga para pemimpin bertangan kuat yang ada saat ini, peran oposisi atau lawan politik memang sentral mengambil tempat dalam kekuasaan.
Namun, baik Hitler maupun Caesar memiliki cara masing-masing untuk mengeliminasi tekanan oposisi. Tak jarang keduanya menggunakan cara-cara kekerasan dan represi untuk menyingkirkan para penentangnya tersebut.
Gleichschaltung atau Nazifikasi – kontrol absolut yang dilakukan oleh Partai Nazi terhadap masyarakat yang mengarah pada praktik totalitarian – misalnya, sukses menekan kehadiran oposisi terbuka terhadap kekuasaan Hitler di Jerman.
Aplikasi police state atau negara totaliter dengan kekuatan polisi sebagai sentral pengawasan terhadap masyarakat, memang membuat gerakan oposisi terbuka dengan sendirinya menjadi mati.
Kekuasaan Hitler menjadi begitu absolut dan keterbukaan politik – apalagi demokrasi – dengan sendirinya menjadi dongeng yang diceritakan ibu-ibu untuk anak-anak mereka sebelum tidur, demi menutupi suara tank-tank baja yang berderap mengiringi ambisi der Führer – sang pemimpin – untuk menguasai seluruh daratan Eropa.
Eliminasi oposisi itu berhasil dan Hitler dikenal sebagai salah satu pemimpin paling kejam sepanjang sejarah.
Konteks eliminasi oposisi inilah yang saat ini menjadi sentral perdebatan politik di Indonesia pasca Pilpres 2019. Walaupun caranya tidak dengan kekerasan dan se-ekstrem Hitler, namun upaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk merangkul semua kekuatan oposisi ke dalam pemerintahannya secara tidak langsung mengarah pada praktik eliminasi oposisi.
Hal ini tampak semakin jelas setelah wacana cohabitation – sebutan untuk semacam pemerintahan bersama dengan oposisi ikut ambil bagian di dalamnya – bersama Prabowo Subianto pada akhirnya memang mengancam kelangsungan demokrasi, setidaknya dalam 5 tahun ke depan.
Pasalnya, keberadaan oposisi merupakan intisari dari demokrasi itu sendiri dan menjadi wajah penghargaan terhadap perbedaan pandangan.
Tak heran, banyak pihak yang kemudian menentang hal ini dan menyebutnya akan mendatangkan dampak buruk bagi demokrasi di Indonesia. Baberapa pihak lain juga secara spesifik menyebut kondisi ini bisa berdampak buruk bagi Partai Gerindra dan Prabowo Subianto yang akan punya momentum politik bagus jika tetap bertahan sebagai oposisi untuk memenangkan kontestasi elektoral di 2024. Benarkah demikian?
Jika Gerindra Tak Jadi Oposisi
Potensi masuknya Partai Gerindra ke dalam koalisi pemerintahan Presiden Jokowi memang menjadi wacana yang kuat berhembus beberapa waktu terakhir. Konteks ini muncul karena dianggap sebagai solusi untuk mengatasi kebuntuan politik pasca Pilpres 2019.
Apalagi, bentrokan yang terjadi akibat polarisasi di masyarakat sudah berujung pada jatuhnya korban jiwa pada 22 Mei 2019 lalu. Harapannya, dengan “berbagai” kekuasaan, riak-riak gesekan politik dengan sendirinya dapat teredam dan tensi politik bisa didinginkan.
Wacana cohabitation pada akhirnya memang “mengeliminasi” posisi oposisi sebab semua kubu akan menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif. Hal ini sangat mungkin ikut mempengaruhi peta politik yang ada di lembaga legislatif, dalam hal ini DPR.
Gerindra selama ini dianggap sebagai tulang punggung kekuatan oposisi Jokowi di DPR. Menarik Gerindra ke dalam pemerintahan sangat mungkin akan meninggalkan kekosongan di kubu oposisi.
Pasalnya, partai-partai koalisi Prabowo-Sandiaga Uno seperti Demokrat dan PAN juga berpotensi ikut masuk ke dalam pemerintahan Jokowi. Dua partai biru ini memang tengah dalam tahap penjajakan menuju hal tersebut.
Praktis hanya akan tersisa PKS sebagai satu-satunya partai oposisi di parlemen. Dengan suara hanya 8,21 persen pada Pileg 2019, kekuataan PKS tentu tak akan ada apa-apanya dibanding koalisi partai pemerintah – katakanlah jika Gerindra pada akhirnya merapat ke pemerintahan.
Menggaet Gerindra untuk bergabung ke koalisi pemerintah adalah pilihan yang bisa menguntungkan dua pihak, namun bisa pula merugikan. Sisi positifnya bagi Jokowi adalah keseimbangan kekuasaannya dapat lebih terjaga dan program-program kerjanya lebih sedikit berpotensi diganggu-gugat di DPR.
Bagi Gerindra, sisi positifnya adalah tentu saja akan menjadi kali pertama partai tersebut jadi bagian dari kekuasaan dan membuatnya punya akses terhadap banyak hal yang berkaitan dengan kekuasaan. Apalagi, partai politik di Indonesia memang punya kecenderungan untuk lebih suka berada di dalam kekuasaan karena berbagai alasan dan kepentingan.
Sementara, sisi negatifnya adalah dalam konteks pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Pasalnya, ketiadaan oposisi dengan sendirinya mematikan identitas demokrasi. Bahkan, bagi Gerindra, hal ini bisa berdampak sebaliknya dan merugikan citra politik partai tersebut.
Setidaknya hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago. Menurutnya, Gerindra akan lebih banyak mudaratnya jika memilih opsi untuk bergabung dengan pemerintah.
Konteks tersebut tentu saja dilihat dari variabel keuntungan politik yang didapatkan partai berlambang kepala burung tersebut, juga terkait jatah “kue” kekuasaan yang akan semakin sedikit didapatkan.
Dari sisi citra partai misalnya, jika bergabung dengan pemerintah dan kinerja Jokowi pada akhirnya buruk dalam 5 tahun ke depan, maka hal tersebut juga akan berdampak pada citra Gerindra di mata publik. Masyarakat akan cenderung melihat partai ini buruk karena menjadi bagian dari pemerintahan.
Sebaliknya, jika tetap menjadi oposisi, ada faktor pembeda yang bisa dimaksimalkan untuk mengkritik pemerintah dan bisa dikapitalisasi sebagai isu kampanye di 2024.
Sementara hal yang lain adalah dari sisi momentum politik. Bergabung dengan pemerintah bisa merugikan Gerindra dan Prabowo yang tengah mendapatkan momentum politik menuju 2024. Pasalnya, dengan kondisi politik saat ini, Gerindra diprediksi bisa menjadi pemenang di Pemilu 2024 dan Prabowo pun bisa memanfaatkan hal yang sama untuk merengkuh kekuasaan di kontestasi elektoral tersebut.
Apalagi di 2024 nanti, Jokowi tak lagi bisa maju karena terhalang konstitusi yang membatasi kekuasaannya hanya 2 periode saja. Artinya, saat partai-partai lain harus kembali mulai dari nol dan mencari-cari tokoh calon pemimpin, Gerindra sudah satu langkah jauh di depan. Citra partai tersebut sedang bagus-bagusnya, dan ketokohan Prabowo juga sudah sangat menjanjikan.
Variabel negatif yang lain adalah dalam konteks “kue” kekuasaan. Jika Gerindra masuk ke kabinet, maka hal tersebut akan memperkecil peluangnya merengkuh jabatan strategis karena harus bersaing dengan partai-partai koalisi Jokowi lainnya. Hal ini juga bisa melahirkan kecemburuan politik.
Jokowi dan Eliminasi Oposisi
Oposisi adalah hal yang intrinsik dalam demokrasi. Tanpa oposisi, maka sistem “demokrasi” yang dijalankan patut dipertanyakan. Pasalnya demokrasi identik dengan perbedaan dan oposisi adalah lambang dari perbedaan itu.
Walter Lipmann – penulis dan reporter asal Amerika Serikat (AS) – pernah menulis pada tahun 1939 terkait pentingnya oposisi dalam demokrasi. Dalam tulisannya di majalah Atlantic Monthly, Lipmann menyebutkan bahwa keberadaan oposisi harus dipertahankan dalam demokrasi bukan hanya karena alasan konstitusional semata, tetapi juga karena fungsinya yang mutlak diperlukan.
Menurutnya, ketiadaan oposisi adalah kenihilan atau ketiadaan demokrasi sebab oposisi adalah lambang dari adanya kebebasan untuk berbicara dan mengungkapakan pendapat yang menjadi intisari dari demokrasi itu sendiri. Hitler telah mengeliminasi oposisi dengan cara Nazifikasi.
Walaupun tidak dilakukan dengan cara yang ekstrem seperti Hitler, strategi Jokowi mengeliminasi oposisi dengan merangkul lawan memang menjadi salah satu kekhasan politik di Indonesia.
Hal ini salah satunya ditulis oleh Indonesianis asal AS, Dan Slatter. Ia menyebutkan bahwa kekuasaan politik di Indonesia yang dibangun oleh presiden berkuasa cenderung mengarah pada bagi-bagi kekuasaan kepada semua spektrum tanpa pandang afiliasi politiknya.
Kondisi ini bisa disebut sebagai kartelisasi partai politik, di mana partai politik bersedia untuk berbagi kekuasaan eksekutif dengan semua pihak lain terlepas dari afiliasi politiknya. Dalam konteks demokrasi, kartel partai ini pada akhirnya memang bisa mematikan ruang-ruang perbedaan, termasuk oposisi.
Dengan demikian, wacana cohabitation memang punya dua jalur dampak. Di satu sisi memang ada proses rekonsiliasi politik untuk kembali menyatukan masyarakat, sementara di sisi lain ada ancaman terhadap demokrasi secara keseluruhan.
Persoalannya tinggal bagaimana Prabowo dan Partai Gerindra melihat hal ini. Jika tujuan jangka pendek yang ingin diraih, maka bergabung dengan pemerintahan Jokowi adalah jawabannya. Namun, jika yang dikejar adalah hal yang lebih besar di masa depan, maka menjadi oposisi adalah pilihan yang sangat tepat.
Perlu dicatat bahwa partai pemenang Pemilu saat ini – PDIP – butuh waktu 10 tahun untuk berada di luar pemerintahan untuk bisa menjadi partai berkuasa saat ini. Jika Gerindra ingin mencapai titik tersebut, maka tak ada salahnya menunggu 5 tahun lagi. Sebab, seperti kata Heraclitus di awal tulisan, menjadi oposisi bukan berarti merusak harmoni. (S13)