Dalam teks-teks politik realis, seperti yang ditulis oleh Niccolo Machiavelli ataupun Hannah Arendt, uniknya rumus untuk menjaga kekuasaan memiliki pola yang sama. Lantas, apakah rumus itu juga terlihat dalam pemerintahan Jokowi?
“Divide et impera must be the motto of every nation that either hates or fears us.” – Alexander Hamilton, Founding Father Amerika Serikat
Suatu hari di kelas pengantar ilmu politik, terjadi perdebatan cukup sengit antara Jurgen dengan Niccolo terkait apa itu politik. Bagi Jurgen, politik itu harus mengejar kebaikan bersama (common good) dan keadilan (justice). Jurgen sangat mengutuk praktik politik kotor yang hanya mengejar kekuasaan semata.
Sementara Niccolo, justru melihat politik memang sebagai ajang pertarungan kekuasaan. Niccolo paham bahwa apa yang dikatakan Jurgen tidak salah. Pada kaidahnya, politik memang tercipta untuk kebaikan masyarakat luas.
Namun, bagi Niccolo, anggapan politik semacam itu terlalu normatif dan jauh dari realita yang sebenarnya. Bertolak dari pengalaman pamannya yang menjadi politisi, Niccolo sangat paham bahwa realitanya, politik itu digunakan untuk menjaga status quo.
Melihat perdebatan kedua muridnya, menariknya Profesor Austine tidak membenarkan ataupun menyalahkan salah satu pihak, melainkan mengatakan keduanya benar.
Menurut Profesor Austine, apa yang disampaikan Jurgen adalah politik normatif, yakni bagaimana politik seharusnya dijalankan. Sedangkan yang disampaikan Niccolo adalah politik realis, yakni bagaimana sesungguhnya realitas politik di lapangan.
Dalam teks-teks ilmu politik ataupun filsafat politik, terdapat dua kategori besar, yakni teks politik normatif dan teks politik realis. Politik normatif misalnya dapat kita baca dari karya-karya Jurgen Habermas yang menerangkan perihal demokrasi deliberatif ataupun rasionalitas komunikatif.
Sementara teks politik realis dapat kita baca dari karya Niccolo Machiavelli yang berjudul Il Prince atau The Origins of Totalitarianism dari Hannah Arendt.
Namun, menimbang pada tulisan ini berusaha menyingkap rasionalisasi di balik politik praktis, teks-teks politik realis menjadi lebih relevan untuk digunakan.
Baca Juga: Di Balik Jokowi Minta Masyarakat Mengkritik
Menariknya, kendati Il Prince (1532) dan The Origins of Totalitarianism (1951) memiliki rentan waktu (sekitar) 419 tahun, kedua teks tersebut menggambarkan pola yang sama yang digunakan kekuasaan dalam mempertahankan status quo-nya ataupun dalam rangka mengontrol masyarakat.
Lantas, mungkinkah pola tersebut terlihat di pemerintah Joko Widodo (Jokowi)?
Dua Pola Utama
Il Prince adalah buku politik yang sangat ikonik. Atas kejujuran narasinya, Michael H. Hart bahkan menjulukinya sebagai “Buku Pedoman Para Diktator”. Dikatakan, diktator-diktator besar dunia, seperti Adolf Hitler, Vladimir Lenin, Joseph Stalin, hingga Benito Mussolini menjadikan Il Prince sebagai rujukan mereka.
Il Prince sangat jujur menggambarkan realitas politik. Betapa tidak, buku ini memberi pelumrahan, bahkan tanpa malu menyarankan kebohongan, kelicikan, hingga pembunuhan dalam rangka mengejar dan menjaga kekuasaan.
Baca Juga: Rezim Jokowi Kombinasikan Orwellian dan Huxleyan?
Merangkum buku Il Prince, Machiavelli hendak menegaskan dua pola utama untuk menjaga kekuasaan. Pertama, biarkan masyarakat berada dalam ketidaktahuan. Kedua, perintah masyarakat di bawah ketakutan.
Bagaimana cara menjaga masyarakat berada dalam ketidaktahuan? Sederhana, musnahkan semua potensi perlawanan. Machiavelli mencontohkan hal tersebut ketika suatu kerajaan berhasil ditaklukkan. Untuk meredam sedini mungkin potensi perlawanan di masa depan, maka semua keluarga kerajaan yang ditaklukkan harus dimusnahkan.
Tujuannya? Agar nantinya tidak ada pihak yang menghasut masyarakat untuk melakukan perlawanan ataupun merebut kembali kekuasaan. Dengan kata lain, ide atau narasi perlawanan hendak dihilangkan di tengah masyarakat.
Lalu, jangan pula mengubah norma, kepercayaan, aturan, atau nilai di kerajaan yang ditaklukkan. Itu bertujuan agar masyarakat tidak menyadari adanya perubahan, atau membandingkan kekuasaan yang baru dengan yang lama.
Sementara terkait memerintah di bawah ketakutan, Machiavelli memberi pertanyaan menarik, “mana yang lebih baik, dicintai atau ditakuti?”. Untuk menjawabnya, Machiavelli mencontohkan kasus Hannibal yang mampu menjaga perselisihan tidak terjadi di pasukan besarnya.
Menariknya, rasa hormat yang tinggi terhadap Hannibal dari pasukannya justru muncul karena kekejamannya yang melampaui kemanusiaan, bukan karena kebaikan ataupun kesopanannya. Dari kasus Hannibal, Machiavelli menjawab, jika harus memilih antara dicintai atau ditakuti, Ia lebih memilih ditakuti. Menurutnya, ketakutan lebih mengikat daripada rasa cinta.
Sekarang kita akan menengok The Origins of Totalitarianism. Dalam bukunya, Hannah Arent menjelaskan pola pertama melalui indoktrinasi yang dilakukan Nazi di bawah kepemimpinan Adolf Hitler.
Dalam The Origins of Totalitarianism jilid I (antisemitisme), Arendt melihat Nazi menggunakan propaganda antisemitisme atau propaganda rasial untuk menciptakan legitimasi moral bahwa Jerman berhak berkuasa dan berlaku kejam.
Menariknya dalam The Origins of Totalitarianism jilid II (imperialisme), Arent menyebut bahwa perkembangan studi tentang ras telah dimanfaatkan untuk semakin membenarkan tindakan tersebut. Bahkan duganya, jika studi tentang ras pertama kali ditemukan di Jerman, doktrin rasial mestilah telah menyebar di seluruh dunia, jauh sebelum adanya Nazi.
Dengan kata lain, doktrin rasial ataupun propaganda-propaganda yang dilakukan Nazi adalah bentuk untuk menciptakan kesadaran palsu di tengah masyarakat – ketidaktahuan.
Lalu terkait memerintah di bawah ketakutan. Dalam The Origins of Totalitarianism jilid III (totalitarianisme), Arent menyebutkan bahwa propaganda hanyalah salah alat kontrol dalam pemerintahan totaliter. Alat utama atau esensinya adalah teror.
Singkatnya, kendati memperlihatkan penerapan praktis yang berbeda, baik Il Prince ataupun The Origins of Totalitarianism menunjukkan pola yang sama dalam menjaga kekuasaan, yakni propaganda dan teror.
Kedua hal tersebut bermuara pada satu hal, yakni menjaga masyarakat tidak bersatu atau memiliki persepsi yang sama untuk melawan. Divide et impera (politik pecah belah).
Gunakan Pola yang Sama?
Sekarang, kita akan melihat apakah dua pola utama tersebut terlihat dalam pemerintahan Jokowi atau tidak.
Namun sebelum sampai ke sana, terlebih dahulu kita akan mengonversi pola kekuasaan tersebut ke dalam logika simbolik (symbolic logic).
“Menjaga masyarakat berada dalam ketidaktahuan” dan “memerintah di bawah ketakutan” dikonversi menjadi “P v Q”.
Terkait konversi tersebut, mungkin ada yang bertanya, mengapa menggunakan conjunct (kata hubung) “v” (atau “or”, disebut disjungsi “disjunction”), bukannya “●” (dan “and”, disebut konjungsi “conjuction”)?
Jawabannya sederhana, karena kedua pola tersebut tidak harus terjadi secara bersamaan. Mengacu pada buku Introduction to Logic karya Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, dalam logika simbolik, conjuction digunakan apabila dua pernyataan (atau lebih) terjadi sekaligus. Sementara disjunction, adalah conjunct yang digunakan apabila salah satu terjadi, atau keduanya terjadi.
Nah, logika simbolik P v Q disebut “premis mayor”. Kemudian, segala teknik, strategi, atau perbedaan cara dalam mempertahankan kekuasaan adalah “premis minor”. Oleh karenanya, kita cukup melihat strategi kekuasan yang dilakukan apakah lebih mirip dengan P atau dengan Q.
Misalnya propaganda Nazi, itu adalah P. Lalu kasus Hannibal yang ditakuti adalah Q. Dalam tabel kebenaran (truth table) konversinya menjadi sebagai berikut:
P | Q | P v Q |
T (Truth) | T | T |
T | F (False) | T |
F | T | T |
F | F | F |
Dengan kata lain, hanya jika kedua pola tersebut tidak terjadi, maka dapat disimpulkan bahwa pola kekuasan yang tersarikan dari Il Prince dan The Origins of Totalitarianism tidak terlihat di pemerintahan Jokowi.
Melihat gelagat pemerintahan Jokowi saat ini, sepertinya kita dapat melihat bahwa pola kekuasaan tersebut mewujudkan diri. Pertama, mengacu pada tulisan Kate Lamb di The Guardian yang berjudul ‘I felt disgusted’: inside Indonesia’s fake Twitter account factories, fenomena buzzer politik di Indonesia disebut masif digunakan sejak Pilkada DKI 2017.
Baca Juga: Jokowi Di Tengah Gelombang Hiperrealitas Politik?
Entah berasal dari pemerintah ataupun oposisi, konteks buzzer politik itu buruk, karena digunakan sebagai cara dalam mengelola persepsi publik (penggiringan opini). Jika mengacu pada Adam Garfinkle dalam tulisannya The Collapse of Reality, banjirnya informasi di media sosial (internet) bahkan disebut telah meruntuhkan realitas karena publik menjadi sulit membedakan antara realitas yang sesungguhnya dengan realitas buatan.
Contoh, karena buzzer politik aktif mengunggah konten bahwa politisi X begitu merakyat, warganet dapat menyimpulkan bahwa politisi X tersebut benar-benar merakyat.
Lalu pola yang kedua, menariknya, buzzer ternyata tidak hanya berlaku sebagai media propaganda, melainkan juga sebagai media transfer teror. Melalui buzzer, pihak yang berseberangan dapat diserang, yang bahkan tidak jarang mengulik ranah pribadi si pemberi kritik.
Ihwal tersebut misalnya dikeluhkan oleh mantan Menteri Koordinator Ekonomi Kwik Kian Gie dengan menulis, “Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil.“
Lalu, ada pula persoalan UU ITE yang jamak digunakan untuk melaporkan pihak yang melayangkan kritik di media sosial, ataupun media massa. Saat ini, bahkan lumrah celetukan, “hati-hati tukang bakso di depan rumah”. Suka atau tidak, celetukan itu adalah indikasi bahwa masyarakat telah menyadari dirinya tidak bebas bersuara di media sosial.
Namun terkait UU ITE, Presiden Jokowi telah memberikan angin segar dengan menyarankan DPR merevisi produk hukum tersebut apabila dinilai tidak memberikan rasa keadilan.
Pada akhirnya, dengan adanya tendensi pengaburan realitas di media sosial dan teror melalui buzzer serta UU ITE, mungkin dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Jokowi juga menerapkan pola kekuasaan yang tersarikan dari Il Prince dan The Origins of Totalitarianism.
Seperti postulat yang dikeluarkan oleh filsuf Prancis Michel Foucault, sejarah itu tidak bergerak linier, melainkan senantiasa mengulang dirinya.
Namun perlu untuk digarisbawahi, pola kekuasaan tersebut tidak dimaksudkan bermakna peyoratif, melainkan sebagai penjelasan netral (bebas-nilai “value-free”) bahwa seperti itulah cara kerja kekuasaan mempertahankan eksistensinya. Ini adalah penjelasan politik realis. (R53)