Site icon PinterPolitik.com

Muchdi ke Jokowi, Cendana Bagaimana?

Muchdi PR (Foto: Liputan 6)

Keputusan Muchdi PR mendukung Jokowi-Ma’ruf disebut hanya sikap pribadi. Apakah benar demikian?


PinterPolitik.com 

[dropcap]D[/dropcap]alam setiap pesta demokrasi, selalu ada tokoh dari barisan para jenderal yang menarik untuk diperbincangkan.

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 kini juga disebut menjadi battlefield bagi para pensiunan jenderal, hal yang tampak dari persoalan dukung-mendukung calon presiden beserta wakilnya.

Salah satu sosok yang menunjukkan dukungan terbuka adalah mantan Danjen Kopassus sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Berkarya Muchdi Purwoprandjono alias Muchdi PR.

Jenderal purnawirawan bintang dua tersebut menyebut dirinya mendukung pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin bersama seribu purnawirawan TNI lainnya yang mendeklarasikan dukungannya sehari yang lalu. Acara tersebut diinisiasi oleh tim Cakra 19, salah satu tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf yang diketuai Andi Widjajanto dan Luhut Binsar Panjaitan sebagai pembina.

Beberapa jenderal yang hadir memang dikenal sudah menjadi tim kampanye bayangan Jokowi, misalnya seperti Jenderal (Purn) Fachrul Razi dan Letjen (Purn) Suaidi Marasabessy. (Baca: Jokowi Takut, Tim Bravo 5 Bergerak)

Dukungan dari para jenderal tersebut memang sesuatu yang biasa saja. Namun, khusus untuk Muchdi, hal tersebut cukup menarik untuk diamati, terutama terkait dengan posisinya sebagai politisi Partai Berkarya yang secara partai tegas mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Muchdi bisa dikatakan sebagai salah satu petinggi dan orang penting di partai yang didirikan oleh Tommy Soeharto itu. Selain sebagai Wakil Ketua Umum (Waketum), ia juga menjadi anggota Majelis Tinggi partai berlambang beringin tersebut. Muchdi disebut juga memiliki kedekatan secara pribadi dengan Tommy Soeharto.

Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan adalah apakah dukungan Muchdi kepada Jokowi tersebut hanya menjadi pandangan pribadi – mengulang dukungannya pada saat Pilpres 2014, atau ada kepentingan tertentu baik dari sikap pribadi Muchdi, Partai Berkarya, atau bahkan Keluarga Cendana di belakangnya?

Sembunyi dari Kasus Munir?

Dukungan Muchdi saat ini seperti mengulang Pilpres 2014 silam dimana ia juga mendukung Jokowi-Jusuf Kalla (JK) melalui Relawan Matahari Indonesia. Meski begitu, Muchdi menyebut dirinya sebagai sahabat dekat Prabowo. Pada 1998, ia menjabat sebagai Danjen Kopassus, posisi yang ditinggalkan Prabowo setelah menjabat sebagai Pangkostrad. Persahabatan ini berlanjut hingga keduanya purna tugas.

Setelah selesai dari tentara, Muchdi mengikuti jejak purnawirawan pada umumnya, masuk ke kancah politik. Karir politik Muchdi bisa dikatakan seperti “kutu loncat”. Ia beberapa kali ganti baju parpol. Pada 2008, Muchdi ikut mendirikan Partai Gerindra bersama Prabowo, jabatan terakhirnya adalah wakil ketua umum.

Tak sejalan dengan Gerindra, Muchdi mencoba peruntungan dengan masuk ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 2011. Meski begitu, ada yang menyebut pindahnya Muchdi itu hanya sebatas strategi politik Gerindra untuk menggalang dukungan dari partai Islam, khususnya PPP untuk pencapresan Prabowo – hal yang tentu saja sulit diterima jika melihat posisi politiknya yang kemudian mendukung Jokowi di 2014.

Bergabung ke PPP tidak menjadi masalah karena Muchdi memiliki latar belakang organisasi keislaman – dia lahir dari keluarga Masyumi di Sleman, lalu aktif di Muhammadiyah, dan saat masih duduk di sekolah menengah juga aktif dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).

Meski pada akhirnya PPP mendukung Prabowo-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014, dukungan partai berlambang Kabah itu tidak diikuti oleh sikap pribadi Muchdi. Ia malah lebih memilih mendukung Jokowi-JK.

Kurang lebih konteks yang sama terjadi pada Pilpres 2019. Muchdi adalah salah satu petinggi di Partai Berkarya besutan Tommy Soeharto.

Bisa dikatakan bahwa Muchdi turut membidani lahirnya Partai Berkarya sebab ia sudah terlibat aktif dalam Partai Nasional Republik yang menjadi cikal bakal Partai Berkarya. Dalam konteks tersebut, tentu agak aneh melihat kini orang dekat Tommy itu memilih mendukung Jokowi.

Oleh karena itu, timbul sebuah pertanyaan mengapa Muchdi memilih mendukung Jokowi, dan terkesan berseberangan dengan partainya tersebut?

Berbicara tentang Muchdi maka sulit melepaskannya dari isu kematian aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) sekaligus pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Munir Said Thalib.

Kendati dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan, namun kasus Munir tetap menjadi misteri karena dalam penguakannya tidak ada “jalan terang”.

Atas dasar ini, berbagai pihak – termasuk kalangan pejuang HAM – menilai kasus Munir belum selesai.

Meski begitu, Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf membantah kaitan dukungan Muchdi dengan kasus Munir. Hal itu seperti yang dilayangkan oleh Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (purn) TNI Moeldoko yang menyebut dukungan Muchdi ke Jokowi karena alasan kinerja selama menjabat menjadi presiden, dan ia yakin Jokowi tidak akan mengintervensi kasus hukum yang menimpa Muchdi.

Bagaimanapun juga, kasus Munir memiliki jejaring yang cukup rumit, bahkan aktor intelektual disebut mengarah hingga ke lingkaran kekuasaan. Oleh karena itu, “mengamankan” dukungan dari Muchdi bisa menjadi cara untuk membuat kasus tersebut dalam status quo.

Bagi Muchdi, hal ini sangat mungkin menjadi strategi politik kalau-kalau Jokowi menang lagi. Ia tak perlu cemas kasusnya akan diungkit-ungkit lagi. Tapi apa benar demikian? Hanya Muchdi dan Tuhan yang tahu.

Politik Dua Kaki Cendana? 

Pilihan Muchdi untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf terbilang mengejutkan, meski ia pernah melakukannya di 2014. Sebab saat ini, ia ada di Partai Berkarya – partai yang disebut seratus persen mendukung Prabowo.

Selain itu, Muchdi adalah orang penting di dalam struktur Partai Berkarya. Ia juga disebut memiliki kedekatan dengan sang Ketua Umum, Tommy Soeharto. Selain itu, hampir semua anak-anak Keluarga Cendana kini telah ada dalam partai tersebut dan bulat mendukung Prabowo.

Jika demikian, apakah dukungan Muchdi ini hal biasa? Atau ada maksud lain dari Partai Berkarya – secara khusus Keluarga Cendana?

Faktanya, meski Soeharto beserta kekuasaannya sudah mangkat, namun bukan berarti pengaruhnya benar-benar hilang. Hal itu terbukti dengn secara ekonomi politik dan sosial Keluarga Cendana dan kroni Orde Baru yang masih mengakar kuat di Indonesia.

Berdasarkan hasil investigasi Time yang diterbitkan pada 1999, Soeharto telah membangun kerajaan bisnis dan menimbun miliaran dolar Amerika Serikat (AS) di dalam maupun di luar negeri. Tak hanya aset, miliaran dolar uang Soeharto juga disebut-sebut disimpan di bank Swiss.

Persoalannya, kini pemerintahan Jokowi sedang melakukan kebijakan menggandeng negara lain untuk kerjasama terkait pertukaran informasi keuangan. Salah satunya adalah Mutual Legal Assistant (MLA) dengan Swiss yang ditandatangi beberapa waktu lalu. Kebijakan ini memang dianggap baik oleh masyarakat banyak, namun tidak bagi para konglomerat yang memiliki dana di luar negeri.

Swiss memang menjadi salah satu negara tujuan penyimpanan kekayaan Warga Negara Indonesia (WNI) karena alasan jaminan keamanannya. Konteks tresebut juga berhubungan dengan kerahasiaan informasi pemilik rekening, sumber keuangan dan lain sebagainya. Bahkan, karena kerahasiaan data yang ditawarkan, tidak sedikti dana yang disimpan di sana juga bersumber dari kejahatan keuangan atau dana-dana “haram” lainnya.

Perjanjian MLA tersebut dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud) sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya.

Tentu pertanyannya siapa yang hendak disasar oleh pemerintahan Jokowi dengan perjanjian tersebut?

Jika melihat pada pola “penggembosan” Jokowi terhadap lawan politiknya melalui instrumen hukum itu, maka bisa dikatakan bahwa keluarga Cendana sangat mungkin akan dirugikan dengan kebijakan tersebut.

Apalagi, sebuah laporan dirilis pada Juli 1998 tentang sejumlah besar uang milik “seseorang” di Indonesia dipindahkan secara besar-besaran dari sebuah bank di Swiss – negara yang terkenal sebagai surganya “hush-hush money” alias uang-uang haram.

Mantan Jaksa Agung Andi M. Ghalib bahkan secara terbuka menyatakan bahwa uang sejumlah US$ 9 miliar (Rp 129 triliun) tersebut adalah milik Soeharto, mengutip apa yang diberitakan oleh Majalah Time.

Perihal ini sudah ditunjukkan dengan misalnya perburuan aset warisan Orde Baru tersebut oleh Kejaksaan Agung. Selain itu, ada kemungkinan jika aset keluarga Cendana itu akan turut diburu oleh pemerintah. Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) juga menyebut aset keluarga Soeharto masih ada di Swiss.

Oleh karena itu, boleh jadi strategi two legged atau politik dua kaki merupakan hal yang sedang terjadi pada kasus Muchdi ini. Mark Lubell dalam The Oxford Handbook of Political Network yang menyebut pada umumnya politikus yang tidak menjadi bagian “inti” dari pertarungan politik bisa menancapkan kepentingannya di beberapa kubu yang potensial.

Jika melihat kepentingan ekonomi politik Tommy dan Cendana, maka konteks politik dua kaki itu bisa menjadi sebuah kenyataan. Tommy mungkin sadar bahwa Jokowi saat ini sangat powerful dengan instrumen aparatus hukumnya.

Ia sepertinya sadar bahwa Jokowi memiliki kans yang cukup besar memenangkan Pilpres kembali. Mungkin hal inilah yang membuatnya memperhitungkan semua kemungkinan dan menempatkan petinggi partainya ke kubu Jokowi.

Selain itu, jika Prabowo menang di 2019, Tommy juga tidak akan kesulitan untuk mendekati sang jenderal sebab masih ada legitimasi dukungan politik dari dirinya dan saudara-saudaranya.

Ada apa di balik dukungan Muchdi PR ke Jokowi? Share on X

Pada titik ini, memang tidak ada yang tahu pasti apa alasan di balik dukungan Muchdi PR kepada Jokowi. Namun, yang jelas tidak ada alasan sederhana dari sebuah sikap politik dan pasti ada pertimbangan tertentu sesuai dengan kepentingan yang ingin dicapai. Bukan begitu? (A37)

Exit mobile version