MRT akhirnya resmi beroperasi di Indonesia, menyusul Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand yang terlebih dahulu telah memiliki moda transportasi tersebut di regional ASEAN. Sebagai transportasi modern sekaligus kereta bawah tanah pertama di Indonesia, akankah MRT memiliki dampak yang terlihat dalam kehidupan masyarakat?
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]oda Raya Terpadu atau Mass Rapid Transit (MRT) resmi beroperasi di Indonesia pada 24 Maret lalu. Rute MRT dari pembangunan tahap pertama ini baru melayani dari Bundaran Hotel Indonesia sampai ke Lebak Bulus. Presiden RI Joko Widodo menganggap keberadaan MRT sebagai pertanda hadirnya peradaban dan budaya baru yang lebih maju bagi masyarakat karena baru pertama kali dioperasikan di Indonesia.
Pernyataan Jokowi tersebut mungkin memang tepat, mengingat Indonesia tersalip dari negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand yang lebih dulu memiliki moda transportasi tersebut.
Filipina adalah negara ASEAN pertama yang memiliki MRT, mulai dioperasikan pada 1984. Kemudian disusul Singapura pada 1987, Thailand pada 2004 dan Malaysia pada 2016.
Dengan beroperasinya MRT, Indonesia juga untuk pertama kalinya memiliki jalur kereta bawah tanah. Hal ini merupakan salah satu proyek perbaikan infrastruktur terbaru di Indonesia yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk kemacetan Jakarta.
Bagi kebanyakan pihak, hal ini memang dapat dijadikan kebanggaan untuk Indonesia, khususnya Jakarta – hal yang bisa dilihat dari kata-kata Jokowi. Namun, dengan segudang masalah yang masih tersisa, apakah MRT cukup untuk menjadi landasan pembentukan peradaban dan budaya baru? Dan apa efek dari MRT terhadap kehidupan bernegara di Indonesia?
MRT Belum Cukup?
Peningkatan pendapatan di Indonesia telah menciptakan naiknya jumlah masyarakat kelas menengah dan membuat kepemilikan kendaraan melonjak. Dampak buruknya, hal itu menimbulkan naiknya polusi udara dan kemacetan Jakarta yang menimbulkan kerugian ekonomi tahunan yang angkanya mencapai US$ 6,2 miliar atau setara Rp 65 triliun.
Hendi Bowoputro, seorang ahli angkutan umum dari Universitas Brawijaya Malang, mengatakan bahwa MRT tidak akan segera meredakan kemacetan lalu lintas, dikarenakan budaya urban harus diubah terlebih dahulu dan hal tersebut tidak mudah.
Hadirnya berbagai transportasi umum di Jakarta seperti TransJakarta, KRL Communter Line, dan berbagai moda transportasi umum lain tampaknya belum cukup untuk mengurai kemacetan Jakarta. Penggunaan kendaraan pribadi di ibukota juga masih tinggi, menembus angka 18.668.056 unit pada 2015.
Berdasarkan riset tentang transportasi umum di Jabodetabek yang dilakukan pada 2017 lalu, faktor utama penyebab keengganan pengguna kendaraan pribadi beralih menggunakan kendaraan umum adalah belum terintegrasinya feeder seperti angkot dan mikrolet ke halte TransJakarta ataupun stasiun kereta.
Maka dari itu, kehadiran MRT dianggap belum cukup untuk mengobati kemacetan Jakarta yang disebabkan oleh masih banyaknya penggunaan kendaraan pribadi dan sedikitnya trotoar yang layak. Itu berarti, tata kota dan restrukturisasi angkutan umum juga dibutuhkan untuk mengurangi kemacetan Jakarta.
Budaya Baru
Meskipun MRT tampaknya belum cukup untuk mengatasi masalah kemacetan di ibukota, tetapi setidaknya dapat memicu munculnya budaya dan peradaban baru dalam masyarakat Indonesia, sesuai dengan perkataan Jokowi.
Budaya baru yang dimaksudkan Jokowi terkhusus mengenai etiket mengantri dan disiplin waktu, mengingat MRT merupakan moda transportasi yang tepat waktu.
Jika masyarakat antusias dan memanfaatkan MRT dengan baik, maka budaya baru seperti budaya memanfaatkan transportasi umum, budaya tepat waktu, dan budaya mengantri dengan disiplin akan terbentuk secara niscaya meskipun perlahan.
Dampak jangka panjang lainnya yang bisa dirasakan adalah berkurangnya kemacetan dan polusi perkotaan karena menekan penggunaan kendaraan pribadi.
Dalam konteks tersebutlah kecanggihan MRT yang merupakan produk teknologi transportasi modern dan dianggap maju di Indonesia, diprediksi dapat memicu perkembangan peradaban masyarakat.
Baru fase pertama 16 km, tapi MRT jalur Lebak Bulus-Bundaran HI yang saya resmikan pagi ini adalah peradaban baru bagi Indonesia. Bersamaan dengan itu, kita mulai pembangunan MRT fase kedua rute Bundaran HI-Kota.
Terima kasih kepada semua pihak yang memungkinkan ini terwujud. pic.twitter.com/8mEdLXjwCK
— Joko Widodo (@jokowi) March 24, 2019
Selain budaya memanfaatkan tranportasi umum, tepat waktu, dan disiplin mengantri, penggunaan MRT secara tidak langsung dapat mengubah perilaku dan pola pikir masyarakat. Hal itu disebabkan oleh adanya berbagai aturan, etiket, dan tata cara menggunakan MRT yang teratur.
Seperti misalnya berdiri di belakang platform screen door atau pintu tepi peron untuk mengantre ketika sedang menunggu kereta di peron, atau berdiri di garis kuning ketika hendak memasuki kereta, serta berdiri di sisi kiri ketika sedang menaiki eskalator di stasiun.
Dengan melakukan pembiasaan tersebut, kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan sarana dan prasarana umum yang ada menjadi bergeser. Fenomena ini berkaitan dengan pemikiran Don Ihde, seorang filsuf asal Amerika Serikat yang mengkhususkan pemikiran filosofisnya pada teknologi dan sains.
Ihde menganggap bahwa dengan penggunaan teknologi, persepsi dan kesadaran manusia dapat berubah. Namun, ia menambahkan, sebagaimana dikutip oleh Francis Lim dalam buku Filsafat Teknologi: Don Ihde Tentang Dunia, Manusia, dan Alat, yang berubah tidak hanya pada persepsi, tetapi juga kegiatan praktisnya.
Cara manusia dalam menggunakan teknologi secara langsung dapat mengubah relasinya dengan kehidupan dibandingkan ketika tidak menggunakan teknologi. Hal tersebut memengaruhi makropersepsi manusia yang diperoleh melalui struktur, budaya dan kebiasaan yang ada.
MRT Sebagai Kebangsaan Bangsa
Kehadiran MRT dapat menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi Indonesia. Dengan berbagai permasalahan selama pembangunan yang memakan waktu selama bertahun-tahun dapat membuat masyarakat memiliki kepuasan tersendiri ketika menggunakan moda transportasi tersebut.
Meskipun secara hakikatnya proses pembangunan MRT mendapat bantuan dari luar negeri, namun hal itu tampaknya tidak akan memengaruhi kebanggaan masyarakat terhadap ke-Indonesia-an MRT.
Dengan sendirinya MRT dapat memicu rasa national pride atau kebanggaan bangsa. Kebanggaan bangsa adalah suatu keyakinan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat bahwa mereka bangga hidup di negara tempat mereka tinggal.
Fenomena ini serupa dengan fenomena yang terjadi Tiongkok dengan proyek ambisius mereka untuk melakukan eksplorasi luar angkasa.
MRT, Ilusi Kebanggaan Bangsa? Share on XDalam tulisan yang berjudul The Stellar Status Symbol: True Motives for China’s Manned Space Program, Fiona Cunningham menyebutkan bahwa tujuan Tiongkok untuk melakukan penerbangan ke luar angkasa adalah manifestasi dari upaya untuk meningkatkan statusnya di mata internasional dan menguatkan national pride masyarakatnya.
Salah satu yang telah dilakukan Tiongkok untuk merealisasikan proyek ini adalah dengan mendaratkan rover Chang’e-4 di sisi terjauh Bulan pada Januari 2019 lalu. Bahkan mereka pun berencana untuk membangun stasiun luar angkasa baru, membangun pangkalan di Bulan, dan melakukan misi perjalanan ke Mars dalam beberapa dekade ke depan.
Hal itu dijadikan prasyarat agar Tiongkok dapat masuk ke dalam kelompok negara adidaya dan seolah-olah ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka dapat melakukan apa yang belum Amerika Serikat lakukan.
Pada masa Perang Dingin, konsep hierarki internasional yang berfokus pada kesepakatan dan norma tentang penerbangan luar angkasa menjadi penanda status dan prestise. Konsep tersebut terlihat tetap digunakan Tiongkok untuk membesarkan nama negaranya.
Tiongkok pun menyatakan kebanggaan mereka terhadap negara mereka sendiri dengan mengatakan bahwa eksplorasi luar angkasa bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara kecil.
Dengan kata lain, eksplorasi luar angkasa yang dilakukan Tiongkok meningkatkan posisinya di panggung dunia dan menunjukkan kekuatan negaranya. Prof. Ouyang Ziyuan, salah satu ilmuwan Tiongkok bahkan menyatakan bahwa hal ini penting untuk meningkatkan prestise internasional Tiongkok dan meningkatkan kohesi rakyat Tiongkok.
Dalam konteks ini, terlihat bahwa status merupakan suatu motivasi paling penting bagi Tiongkok untuk program luar angkasa di mata para elite pemimpin politik yang memikul tanggung jawab terbesar bagi kedudukan negara tersebut di mata dunia.
Jika dikaitkan dengan MRT di Indonesia, kebanggaan bangsa terhadap moda tersebut juga dapat dijadikan sebagai lonjakan status Indonesia di mata internasional, terkhusus di antara negara-negara ASEAN.
Indonesia menjadi terlihat tidak kalah dengan Filipina, Singapura, Thailand dan Malaysia dalam bidang Urban Rail Transit. Indonesia juga jadi terlihat lebih maju dibanding Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar yang belum memiliki MRT.
Berkaca pada Tiongkok yang mendapatkan identitas besar di mata dunia karena proyek luar angkasanya itu, Indonesia pun berpotensi mendapatkan pengakuan di kancah internasional. Indonesia dengan identitas sebagai negara berkembang seolah ingin menunjukkan langkah awal untuk keluar dari status tersebut dan bergerak lebih maju.
Status tersebut juga akan terlihat dari konteks budaya baru seperti yang disinggung oleh Jokowi – jika hal tersebut bisa terwujud tentunya. Bagaimanapun juga, budaya keteraturan dan ketertiban akan menjadi penanda status suatu negara di mata dunia internasional.
Selain untuk pengakuan identitas di mata internasional, MRT juga dapat dijadikan kebanggaan masyarakat Indonesia. Menunjukkan bahwa Indonesia juga mampu memiliki teknologi transportasi canggih dan modern.
Meskipun proyek MRT tidak sepenuhnya murni hasil karya masyarakat Indonesia, setidaknya moda transportasi ini dapat memotivasi generasi penerus bangsa untuk semakin maju dalam budaya dan teknologi. (D44)