Wakil Ketua MPR dari DPD, Fadel Muhammad meminta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dicopot karena mengurangi anggaran MPR. Peneliti Formappi, Lucius Karus sampai menyebut pernyataan itu kekanak-kanakan. Kenapa petinggi MPR mengeluarkan pernyataan se-vulgar itu?
“Everybody keeps falling back to the same patterns without doing too much dramaturgy.” – Mitchell Hurwitz, penulis Amerika Serikat
Baru-baru ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tengah menarik atensi publik. Namun, ini bukan soal amendemen UUD NRI 1945, melainkan pernyataan Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad yang meminta Sri Mulyani dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Keuangan (Menkeu).
“Maka kami, ini atas nama pimpinan MPR Republik Indonesia mengusulkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk memberhentikan saudari Menteri Keuangan, karena kami anggap Menteri Keuangan tidak etik, tidak cakap dalam mengatur kebijakan pemerintahan kita demi untuk kelanjutan,” ungkapnya pada 30 November 2021 lalu.
Usulan pencopotan itu bertolak dari kebijakan Sri Mulyani yang mengurangi anggaran MPR — dari Rp750,87 miliar pada 2021 menjadi Rp695,7 miliar pada 2022. “Kami di MPR ini kan pimpinannya 10 orang, dulu cuma 4 orang kemudian 10 orang. Anggaran di MPR ini malah turun, turun terus,” ungkap Fadel.
Selain persoalan anggaran, seperti yang juga disebutkan Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet), Sri Mulyani juga kerap membatalkan rapat dengan MPR. “Dua hari sebelum diundang rapat, dia selalu membatalkan datang. Ini menunjukkan bahwa Sri Mulyani tidak menghargai MPR sebagai lembaga tinggi negara,” ungkap Bamsoet pada 1 Desember 2021.
Mudah ditebak, berbagai pihak memberi respons, hingga mempertanyakan mengapa pernyataan semacam itu bisa keluar. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus, misalnya, menyebut permintaan MPR untuk mencopot Sri Mulyani dapat dikatakan kekanak-kanakan karena persoalan anggaran tidak diputuskan sendiri oleh Menteri Keuangan.
Tentu pertanyaannya, mengapa pernyataan vulgar seperti itu keluar dari petinggi MPR?
Bukan Pernyataan Denotatif
Untuk menjawabnya, kita dapat mengutip pernyataan Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahuddin ketika mengomentari pertemuan Surya Paloh dan Sohibul Iman pada Oktober 2019. Menurutnya, pertemuan tersebut merupakan gertakan politik yang ditujukan untuk menaikkan posisi tawar partai.
Dalam konteks tersebut, sekiranya mudah menyimpulkan, itu adalah gertakan politik Nasdem karena dikabarkan kurang puas dengan formasi kabinet pada periode kedua. Pertemuan itu dilakukan Surya Paloh agar kepentingan politik Nasdem dapat diakomodir.
Melihat pada sejarah, gertakan politik atau political bluff merupakan strategi yang paling banyak digunakan agar kepentingan si penggertak terakomodir. Salah satu gertakan politik paling hebat di dunia adalah peristiwa yang disebut dengan The Capitulation of Stettin di Prusia.
Diceritakan, pada 29 Oktober 1806, brigade kavaleri Prancis yang dipimpin Jenderal Brigade Antoine Lasalle yang hanya membawa 800 prajurit berkuda dan 2 senjata, secara mengejutkan mampu membuat Romberg, komandan Benteng Stettin untuk menyerah.
Ini mengejutkan karena Benteng Stettin memiliki hampir 300 meriam dan 5.000 tentara. Jumlahnya sangat jauh dibanding 800 prajurit yang dibawa Lasalle. Lalu, bagaimana Lasalle membuat Romberg menyerah?
Sederhana, dengan gertakan.
Lasalle menggertak Romberg dengan menyebut ia membawa 30.000 korp tentara. Untuk meyakinkan Romberg, Lasalle memerintahkan para tentaranya menyeret gerbong-gerbong kereta untuk membuat debu beterbangan agar tercipta ilusi terdapat puluhan ribu tentara yang sedang berjalan di belakang.
Melihat tingginya debu di belakang Lasalle, Romberg ketakutan dan menyerahkan kunci Benteng Stettin. Ya, Romberg menyerah oleh “pasukan hantu”, sebuah keputusan yang sangat disesali olehnya.
Pada kasus permintaan pencopotan MPR terhadap Sri Mulyani, bukan tidak mungkin, itu adalah “pasukan hantu” ala Lasalle. Bukan tanpa alasan, Fadel Muhammad dan Bamsoet merupakan politisi dan pebisnis senior yang memiliki pengaruh besar. Mereka tengah menekan Sri Mulyani untuk menyerahkan kunci Benteng Stettin.
Namun, perlu dicatat, kunci Benteng Stettin bukanlah agar Sri Mulyani dicopot, melainkan agar sang Menkeu memberi perhatian kepada MPR. Seperti pernyataan Bamsoet, ada indikasi mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu tidak melihat MPR memiliki daya tawar yang besar.
Simpulan ini terbukti dengan unggahan foto Sri Mulyani bersama Bamsoet beberapa hari kemudian di acara pembukaan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kadin di Nusa Dua, Bali. “Selfie ini beribu makna,” tulis Sri Mulyani pada unggahannya di Instagram @smindrawati pada 3 Desember 2021.
Secara khusus, ketegangan yang kemudian mereda ini dapat dilihat dari konsep dramaturgi yang dipopulerkan oleh Erving Goffman. Selayaknya drama, kehidupan politik juga bagaikan panggung pertunjukan, terdapat setting dan akting yang dipertontonkan oleh tiap individu sebagai aktornya. Goffman menyebutkan dua panggung, yakni panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage).
Dalam lanskap politik, interaksi yang riil seringkali yang berada di panggung belakang. Umumnya, panggung depan dipertontonkan karena lobi di belakang layar tidak berjalan semestinya. Oleh karenanya, aktor-aktor politik merasa perlu memainkan panggung depan sebagai gertakan politik atau sekadar menaikkan daya tawar agar lobi panggung belakang dapat diteruskan.
Mengacu pada konsep dramaturgi, pernyataan Fadel Muhammad untuk mencopot Sri Mulyani tidak boleh dimaknai secara denotatif, melainkan sebagai pernyataan penarik atensi. Itu semata-mata dilakukan untuk menarik perhatian Sri Mulyani dan kemudian dilanjutkan di panggung belakang.
Konteks ini terlihat jelas dalam pernyataan Bamsoet pada 3 Desember 2021, “Mengingat berbagai polemik yang terjadi belakangan ini antara Kemenkeu dengan MPR, bukan lah terkait masalah anggaran melainkan lebih kepada masalah komunikasi dan koordinasi terkait tugas-tugas kelembagaan.”
Di titik ini, sekiranya ada satu pertanyaan tersisa, dengan besarnya pengaruh politik Fadel Muhammad dan Bamsoet, mengapa petinggi MPR perlu memainkan dramaturgi politik alias panggung depan untuk menarik perhatian Sri Mulyani?
Macan Ompong Tak Bercakar?
Untuk menjawabnya, kita perlu membaca buku Menko Polhukam Mahfud MD yang berjudul Politik Hukum di Indonesia. Menurut Mahfud, tidak hanya menjadikan MPR sebagai lembaga tinggi negara biasa – sebelumnya lembaga tertinggi negara, amendemen UUD NRI 1945 juga telah menghapus TAP MPR sebagai peraturan (regeling).
Tadinya, TAP MPR merupakan peraturan perundang-undangan derajat kedua – di bawah UUD. Namun sekarang, TAP MPR hanya sebagai penetapan (beschikking), sehingga tidak heran kemudian apabila ada yang menilai TAP MPR hanya seperti formalitas semata.
Seperti pernyataan Rachmawati Soekarnoputri pada 12 Agustus 2019, MPR saat ini layaknya seperti macan ompong. Namun, tampaknya kurang tepat disebut macan ompong, melainkan macan ompong tak bercakar. Pasalnya, MPR tidak hanya kehilangan kekuatan hukum, melainkan juga mengalami downgrade kekuatan politik.
Rasionalisasi ini terlihat dari keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam memberikan hak veto kepada Menko agar memiliki daya tawar di hadapan para menteri. Setelah dievaluasi, ternyata banyak menteri yang tidak menghadiri rapat bersama Menko, sehingga perlu ada daya tawar tambahan, berupa hak veto agar Menko lebih didengarkan.
Sebagai solusi untuk keluar dari status macan ompong tak bercakar, MPR perlu diperkuat secara politik, misalnya dengan memberikan kewenangan hukum khusus. Jika tidak demikian, mungkin perlu ada langkah radikal untuk menghapus lembaga yang dulunya begitu powerful ini.
Well, sebagai penutup, saran untuk menghapus MPR juga merupakan dramaturgi. Saran ini tidak boleh dimaknai secara denotatif. Ini merupakan kalimat penarik atensi. (R53)