HomeNalar PolitikMPR Harus Kembali Jadi Lembaga Tertinggi?

MPR Harus Kembali Jadi Lembaga Tertinggi?

Dalam acara diskusi daring bertajuk Kaleidoskop Politik Indonesia 2020, aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Hatta Taliwang memberikan kritik terhadap demokrasi Indonesia sembari menyarankan MPR harus kembali jadi lembaga tertinggi negara. Tepatkah kritik tersebut?


PinterPolitik.com

Sebelum terjadinya amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 – kini menjadi UUD NRI – MPR adalah lembaga tertinggi negara yang memiliki kewenangan untuk memilih presiden. Tidak sekadar memilih, MPR juga menerima pertanggungjawaban presiden guna menilainya masih layak memenuhi mandat atau tidak.

Namun sekarang, MPR hanyalah lembaga tinggi biasa. Kewenangan memilih presiden dilimpahkan kepada masyarakat melalui skema pemilu langsung. Perpindahan ini juga menandai awal perjalanan Indonesia sebagai negara demokratis.

Menariknya, evaluasi terhadap output pemilu langsung, seperti politik uang, hingga sulitnya mendapatkan pemimpin berkualitas telah membuat berbagai pihak mulai memberi saran agar UUD NRI diamendemen untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Pada September tahun lalu, wacana ini menjadi diskursus hangat setelah PDIP dan Megawati Soekarnoputri disebut-sebut ingin mengembalikan kembali pemilihan presiden di tangan MPR.

Saat itu, John McBeth dalam tulisannya Megawati Looks to Roll Back Indonesian Democracy (2019)juga turut membahas adanya ambisi politik Megawati melakukan amendemen UUD NRI untuk mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi. Pengembalian tersebut setidaknya untuk melakukan dua hal, yakni menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan mengembalikan pemilihan presiden di tangan MPR.

Seperti yang mudah ditebak, wacana itu tentunya menuai kritik, penolakan, hingga kecaman. McBeth misalnya memberi dugaan bahwa pengembalian itu untuk menguntungkan ambisi politik putri Megawati. Namun, di tengah kritik yang ada, nyatanya narasi pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi masih menggema hingga saat ini.

Baca Juga: Megawati Putar Kembali Demokrasi?

Terbaru, dalam acara diskusi daring bertajuk Kaleidoskop Politik Indonesia 2020, salah satu pembicara yang juga merupakan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Hatta Taliwang memberikan kritiknya terhadap berjalannya demokrasi setelah reformasi.

Menurutnya, pergantian presiden yang disebutnya hanya bersifat prosedural memiliki output yang tidak jelas dan makin hari justru melahirkan pemimpin yang tidak bermutu. Tegas aktivis KAMI ini, persoalan itu bermula sejak MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara yang memiliki kewenangan kontrol terhadap kekuasaan.

Saat ini kewenangan tertinggi berada di oligarki politik dan oligarki ekonomi yang disebutnya mengatur laju negara dan pemerintahan. Sebagai saran, tentunya Hatta Taliwang ingin MPR kembali menjadi lembaga tertinggi seperti sebelumnya.

Tentu pertanyaannya, tepatkah kritik dan saran tersebut?

Tidak Cocok dengan Kapitalisme?

Di sini, tentu akan ada banyak pihak yang memandang sinis kritik dan saran Hatta Taliwang. Bagaimana mungkin jerih payah untuk menerapkan pemilu langsung harus diputar balik seperti sebelumnya?

Kritik tersebut tentu tepat jika kita mengacu pada memori kolektif perjuangan menurunkan rezim Orde Baru. Namun, jika kita melepas sentimen yang ada dan membawanya ke diskursus terkini, pertanyaan serius yang harus diajukan adalah, seberapa baik demokrasi menjadi jawaban terhadap masalah sosial-politik kita?

Jika membahas persoalan sosial-politik, apa sekiranya yang paling penting? Tentunya ekonomi. Menimbang pada sistem ekonomi saat ini dihegemoni oleh kapitalisme, pertanyaan selanjutnya yang harus diajukan adalah, apakah kapitalisme dapat berjalan beriringan dengan demokrasi?

Wolfgang Merkel dalam tulisannya Is Capitalism Compatible with Democracy? (2014) menjadikan pertanyaan tersebut sebagai jantung pembahasan. Menurut Profesor Ilmu Politik di Humboldt University of Berlin ini, kapitalisme dan demokrasi memang memiliki logika yang berbeda.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Di satu sisi, akumulasi kekayaan dalam kapitalisme adalah praktik distribusi tidak merata terkait hal milik. Sedangkan di sisi lain, demokrasi menegaskan pada hak sipil dan politik yang sama atau setara. Lalu, kapitalisme adalah sistem perdagangan yang berorientasi profit. Ini kontras dengan pencarian kebaikan bersama (common good) dalam demokrasi.

Pun begitu pada level teknis, di mana kapitalisme berlandas pada praktik hierarki tenaga kerja dan pemilik modal, sangat berbeda dengan praktik debat, kompromi, dan pengambilan keputusan oleh mayoritas dalam demokrasi.

Namun menariknya, kendati memiliki logika atau cara kerja yang berbeda, kapitalisme pada awalnya ditujukan sebagai jawaban atas ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang terjadi ketika feodalisme menghegemoni.

Baca Juga: Ada Market Justice di UU Ciptaker?

Adalah Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) yang memperkenal konsep perdagangan bebas, yang kemudian dikenal sebagai kapitalisme. Saat itu, Smith bertolak atas ketimpangan sosial-ekonomi yang besar karena dulunya akumulasi kekayaan disandarkan pada praktik pengumpulan emas dan perak, serta melakukan perbudakan.

Alhasil, praktik tersebut hanya bekerja untuk mengisi kantong-kantong golongan kaya, kuat, dan berpengaruh, serta hanya menyisakan kesengsaraan bagi mereka yang lemah dan tidak beruntung.

Oleh karenanya, Smith mempromosikan perdagangan bebas, di mana sistem ini memungkinkan setiap pihak untuk memiliki akses terhadap akumulasi kekayaan, sehingga kemakmuran atau kesejahteraan tidak lagi menjadi mimpi kosong belaka. Sama dengan logika demokrasi kan.

Dalam bayangannya, kemerataan sosial-ekonomi akan terjadi jika pasar sempurna dapat terwujud. Menurut Smith, ada invisible hand yang memungkinkan self-interest perdagangan bebas akan menciptakan masyarakat yang stabil dan menciptakan kemakmuran tanpa perlu adanya arahan negara.

Smith menyebutkan ada tiga prinsip yang memungkinkan pasar sempurna dapat terwujud. Pertama adalah freedom atau kebebasan, yakni setiap individu harus memiliki hak untuk memproduksi dan bertukar. 

Kedua adalah competition atau kompetisi, yakni setiap individu harus memiliki hak yang sama untuk dapat bersaing. Ketiga adalah justice atau keadilan, yakni setiap tindakan individu dalam pasar harus adil dan jujur. 

Akan tetapi, seperti yang kita ketahui, ketiga prinsip tersebut tampaknya begitu sulit teraktualisasi. Persoalan kompetisi misalnya, agaknya sulit membayangkan pengusaha kecil dapat bersaing dengan monopoli perusahaan-perusahaan raksasa.

Pun begitu dengan prinsip keadilan. Agaknya menjadi rahasia umum bahwa perusahaan raksasa kerap kali mendapatkan privilese tersendiri dari kekuasaan.

Dalam simpulannya, mungkin dapat dikatakan, secara teoretis, awalnya demokrasi memang sejalan dengan kapitalisme. Tanpa adanya demokrasi, kapitalisme sendiri tidak dapat lahir. Namun, seperti yang disinggung oleh Merkel, kapitalisme keuangan yang berkembang saat ini memang berbahaya bagi demokrasi karena dapat memecah ikatan-ikatan sosial dan politik.

Sekarang coba bayangkan, dengan kapitalisme menjadi fokus negara – dalam artian meningkatkan pertumbuhan ekonomi – saat ini, apakah itu memungkinkan untuk membuatnya sejalan dengan politik demokrasi?

Kembalikan MPR Jadi Lembaga Tertinggi?

Dalam berbagai studi, demokrasi berbagai negara, bahkan negara maju sekalipun disebut mengalami tren kemunduran sejak tahun 2000-an. Mungkinkah itu imbas dari semakin menguatnya keterikatan atas praktik-praktik kapitalisme?

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Baca Juga: Kemunduran Laju Demokrasi di Asia

Selain kapitalisme, Merkel juga menyinggung globalisasi atau pasar global sebagai ancaman terhadap kemampuan negara dalam mengatur atau menjalankan demokrasi.

Dalam simpulannya, Merkel menegaskan, di luar perdebatan apakah kapitalisme cocok atau tidak dengan demokrasi, yang krusial saat ini adalah melakukan reformasi ekonomi dan demokrasi.

Konteks tersebut juga menjadi jantung pembahasan Founder sekaligus Executive Chairman World Economic Forum, Klaus Schwab dan Thierry Malleret dalam buku mereka yang berjudul Covid-19: The Great Reset (2020).

Terkait ekonomi, Schwab dan Malleret setidaknya mengungkit dua persoalan penting. Pertama, harus adanya kebijakan yang mengatur pasar agar menghasilkan outcomes atau hasil yang lebih adil.

Kedua, adanya investasi yang besar yang berujung pada ekonomi yang berkelanjutan dan mampu melahirkan kesetaraan atau equality.

Seperti judul bukunya, saran buku tersebut memang menginginkan adanya pengaturan ulang atas sistem ekonomi global saat ini. Di sini, terdapat tiga pengaturan ulang yang disebutkan. Pertama adalah makro reset yang meliputi masalah ekonomi, lingkungan, kemasyarakatan, geopolitik, dan teknologi.

Kedua adalah mikro reset yang berhubungan dengan bisnis dan industri. Ketiga adalah individual reset yang berhubungan dengan redefinisi kemanusiaan, persoalan kesehatan mental, dan prioritas-prioritas dalam masyarakat.

Baca Juga: Jokowi dan Hantu The Great Reset

Setelah memahami diskursus mengenai hubungan kapitalisme dengan demokrasi, sekarang kita akan kembali pada kritik dan saran dari Hatta Taliwang.

Jika kita mengerucutkannya pada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) saat ini, terdapat berbagai analisis yang menyebutkan bahwa mantan Wali Kota Solo tersebut memiliki orientasi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Itu kemudian membuatnya begitu pragmatis, khususnya dalam menjalankan hubungan luar negeri, yang mana ini membuat kerja sama ekonomi dengan Tiongkok menjadi mudah dan masif dilakukan.

Di titik ini, orientasi terhadap ekonomi mungkin sedikit tidaknya telah berkontribusi terhadap penurunan kualitas politik demokrasi di Indonesia. Meskipun hal ini tentunya masih menjadi perdebatan panjang.

Mengacu pada reformasi yang disinggung Merkel ataupun great reset yang diwacanakan Schwab dan Malleret, mungkinkah pengembalian MPR menjadi lembaga tertinggi termasuk dalam kategori reformasi tersebut?

Pasalnya, dengan sistem saat ini, arah pembangunan sangat tergantung atas visi dan misi dari seorang presiden. Jika kepala negara berganti, berubah pula arah pembangunannya. Di sinilah pentingnya GBHN.

Terkait hal itu, mungkin dibantah dengan mengungkit sudah adanya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Iya itu benar, namun persoalannya, RPJMN dan RPJPN tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat kepada negara.

Beda halnya dengan GBHN, presiden yang bertanggungjawab kepada MPR membuat MPR dapat memberikan sanksi bahkan pencopotan mandat apabila presiden gagal memenuhi tugasnya.

Pada konteks tersebut, kritik dan saran Hatta Taliwang mungkin menemui pembenarannya. Akan tetapi, kritik tersebut sebenarnya mudah saja dibantah. Pasalnya, sampai saat ini demokrasi yang dijalankan Indonesia masih bersifat prosedural semata.

Pun begitu dengan mengungkit kegagalan masa lalu, di mana Soeharto berhasil menciptakan rezim yang begitu otoriter ketika wewenang memilih presiden berada di tangan MPR.

Pada akhirnya, terkait masalah ini, itu tergantung dari sudut pandang atau interpretasi kita dalam melihatnya. Kalian di posisi mana? (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...