Ketakutan akan menguatnya sentimen agama di tahun 2018 dan 2019 terus bermunculan. Nyatanya, politik telah mengambil ceruk-ceruk ketimpangan sosial-ekonomi dan mengisinya dengan ekspresi moral keagamaan.
PinterPolitik.com
“Political marketing plays to people’s emotions, not their thoughts.” – Susan Delacourt, jurnalis politik Kanada
[dropcap]B[/dropcap]ukan tanpa alasan Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh atau Alissa Wahid mencemaskan isu Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA) akan menguat di tahun 2018 dan 2019. Gelaran Pilkada serentak dan berikutnya Pemilu masih akan membuat sentimen agama menjadi penghias utama pemberitaan di media massa.
Kecemasan putri almarhum Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur ) ini beralasan, mengingat pasca Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu, tensi politik berbasis identitas semakin sulit dibendung. Gerakan ini semakin menemukan ruang artikulasi ketika tajuk ‘bela agama’ digunakan sebagai bingkai perjuangan politik.
Namun, sentimen agama ini nyatanya tidak berdiri sendiri. Sejalan dengan kecemasan Alissa, Profesor Vedi Hadiz dari University of Melbourne dan Inaya Rakhmani dari Universitas Indonesia dalam tulisannya di East Asia Forum menyebut sentimen agama adalah ekspresi dari persoalan utama yang ada di belakangnya: ketimpangan sosial-ekonomi.
Menurut @AlissaWahid , sentimen agama laku dijual dalam Pilkada 2018 dan Pilpres 2019. Apa penyebabnya? https://t.co/x5zj6lAeWn #2018TahunDamai pic.twitter.com/7vxjuPumeH
— Damailah Indonesiaku (@DamailahRI) January 4, 2018
Keduanya menyebut apa yang dicemaskan oleh Alissa Wahid tidak berdiri sendiri sebagai isu tunggal, tetapi menjadi bagian dari muara persoalan utama bangsa ini sejak tahun 1980-an, yakni pemerataan kesejahteraan. Keduanya menggunakan istilah ‘moral marketing’ sebagai sebutan untuk kondisi ini.
Lalu, apa sebenarnya moral marketing itu? Apakah bisa menjegal laju Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin maju lagi di 2019?
Moral Marketing dan Pemilu Rasa SARA
Dalam tulisannya, Vedi Hadiz dan Inaya mengartikan moral marketing sebagai kondisi ketika ruang-ruang ketidakadilan ekonomi dan sosial diisi oleh isu-isu yang melibatkan kepentingan mayoritas.
Jika berkaca pada kondisi Indonesia, isu agama – dalam hal ini Islam – mendapatkan porsi yang sangat kuat karena menjadi agama mayoritas masyarakat di negara ini. Pada tahun 2016, jumlah umat muslim Indonesia mencapai 85 persen dari total 250-an juta penduduk negara muslim terbesar di dunia ini.
Pada saat yang sama, kesejahteraan – secara ekonomi dan sosial – nyatanya tidak berpihak pada kelompok mayoritas ini. Hal ini dikarenakan sejak tahun 1980-an paham neoliberalisme – dengan laissez faire atau ekonomi tanpa intervensi pemerintah – telah meningkatkan persaingan ekonomi di Indonesia dan melahirkan kesenjangan sosial yang sangat lebar.
Kesenjangan sosial ini dapat terjadi karena neoliberalisme menempatkan negara (pemerintah) sebagai nachtwächterstaat atau sekedar ‘penjaga malam’ yang hanya mengurusi isu-isu politik dan keamanan (militer) tanpa campur tangan di bidang ekonomi.
Kondisi ini membuat orang kaya semakin kaya, dan orang miskin semakin miskin, sementara negara tidak punya andil apa pun untuk memperbaiki hal tersebut, bahkan penguasa yang korup justru mengambil keuntungan dari kondisi tersebut.
Jika melihat kondisi Indonesia saat ini, ketimpangan ekonomi memang cukup terasa. Bahkan, berdasarkan data dari lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, Indonesia ada di urutan 4 dalam daftar negara dengan ketimpangan ekonomi terburuk di dunia.
Credit Suisse menyebut saat ini, 1 persen orang Indonesia menguasai 49 persen total kekayaan nasional. Artinya, dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang mencapai Rp 12.536 triliun pada tahun 2016, sekitar Rp 6.200 triliun atau separuhnya dikuasai oleh hanya 2 juta penduduk negara ini – kelompok yang tentu saja minoritas. Sementara, sekitar 240-an juta lainnya berebut separuh bagian dari ‘kue’ kekayaan tersebut.
Hal ini tentu saja buruk. Namun, karena mekanisme pasar ‘terlalu abstrak’ untuk dikritik, maka isu yang digunakan adalah nilai-nilai yang diterima oleh kelompok mayoritas. Dalam hal ini, dengan sekitar 210 juta pemeluk, agama Islam menjadi saluran ‘perlawanan’ mayoritas terhadap ketimpangan ekonomi tersebut. Apalagi, Islam direpresi selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru.
Dengan demikian, sangat mungkin sentimen agama dan rasial lahir tidak semata-mata karena alasan doktrin ideologi agama semata, tetapi merupakan muara dari persoalan ekonomi. Pada titik inilah moral marketing mendapatkan bentuknya. Ia mengisi ceruk-ceruk protes terhadap ketimpangan ekonomi dengan isu rasial dan agama sebagai corongnya.
Maka, jangan heran jika istilah ‘asing’, ‘aseng’, dan yang lainnya menjadi bagian dari kampanye dengan tajuk ‘bela agama’ yang terjadi belakangan ini.
Sayangnya, moral marketing pada titik tertentu justru digunakan oleh kelompok-kelompok yang ingin berkuasa atau menjatuhkan kekuasaan yang ada. Oligarki politik dan konglomerasi besar ikut menunggangi aksi ‘bela mayoritas’ ini untuk menjatuhkan kekuasaan atau mengamankan kepentingan politik dan ekonominya, dan pada saat yang sama menyebabkan aksi tersebut kehilangan bentuk aslinya sebagai perlawanan terhadap kapitalisme ekonomi.
Profesor Vedi dan Inaya bahkan menunjuk kasus yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan gelombang protes besar ‘Bela Islam’ di belakangnya sebagai salah satu contoh moral marketing. Kasus Ahok dianggap sebagai perwujudan dari moral marketing ketika penistaan agama menyerempet kepentingan bisnis dan ekonomi, serta pada akhirnya mempengaruhi kontestasi politik.
Di tahun politik ini, kemungkinan hal yang sama untuk terulang kembali sangat besar terjadi. Jika melihat Jokowi sebagai tokoh politik yang linear dengan Ahok, maka isu yang sama boleh jadi akan digunakan menghentikan langkah pria kelahiran Solo tersebut untuk berkuasa lagi.
Trend Moral Marketing dan Aksi Jegal Jokowi
Jika melihat trend yang terjadi, moral marketing selalu mengambil corong yang berbeda-beda di setiap masanya.
Pada 2005 hingga 2012, salah satu sentimen yang disebarkan adalah anti-Ahmadiyah. Lalu, pada 2010 terjadi kebencian pada kelompok Syiah. Pada 2013 hingga sekarang, sentimen yang dijalankan adalah kebencian pada kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseks, dan Transgender), komunitas Tionghoa, segala sesuatu yang berhubungan dengan Tiongkok, anti-asing, dan komunis.
Isu-isu tersebut sangat manjur karena berhubungan dengan agama sebagai nilai yang diterima oleh mayoritas. Hal ini pun masih akan menjadi fokus utama politik nasional dalam beberapa tahun ke depan dan dipercaya akan mempengaruhi semua sektor, termasuk juga timbal baliknya terhadap ekonomi nasional secara makro.
Dampaknya terhadap ekonomi juga akan sangat terasa. Bukan tanpa alasan lembaga pemeringkat internasional sekelas Fitch Ratings di pertengahan 2017 mengeluarkan pernyataan bahwa isu sentimen agama akan menjadi hal yang paling dominan dalam politik domestik Indonesia beberapa tahun ke depan.
Moral marketing akan mendatangkan dampak yang sangat besar. Istilah marketing saja sudah menjadi ‘alat’ yang sangat powerful – demikian kata-kata banyak ahli pemasaran.
Maka, ketika marketing diadopsi ke dalam politik dengan moral sebagai ‘komoditas’ utamanya, bisa dipastikan bahwa sentimen agama dan SARA akan menjadi hal yang sangat vital, bahkan boleh jadi cenderung ‘berbahaya’.
‘Buih-buihnya’ sudah mulai terlihat ketika tokoh oposisi Jokowi dari Partai Gerindra macam Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, menyebut menggunakan SARA untuk kampanye diperbolehkan, sejauh tidak menghina. Artinya, arah politik di tahun ini dan di 2019 sudah sangat terlihat. Moral marketing akan mengambil porsi yang sangat besar di dalamnya.
Fadli Zon Sebut Isu SARA Dibolehkan, Asal Tak Menghina – Poskota News https://t.co/MAcmLavsxw
— Fadli Zon (@fadlizon) January 8, 2018
Dengan bersumber dari isu ketimpangan ekonomi, sangat mungkin muara sentimen agama ini akan melahirkan tabrakan yang bisa berujung chaos dalam masyarakat. Jika chaos ini tidak terkontrol, maka sangat mungkin negara akan masuk dalam fase kekacauan yang tentu saja akan sangat berbahaya.
Apalagi jika menilik barisan analis, konsultan dan marketer politik di barisan lawan Jokowi yang terlihat sangat memahami moral marketing, boleh jadi pertarungan politik di 2018 dan 2019 akan menjadi kontes demokrasi terpanas sepanjang republik ini berdiri.
Walaupun Jokowi tidak melakukan kebijakan ‘seekstrim’ yang dilakukan oleh Ahok – misalnya ketika pria yang sekarang berada di balik jeruji besi itu menggusur banyak pemukiman warga, yang dalam konteks ini menggambarkan secara jelas ‘pertarungan’ antar-kelas ekonomi – sang presiden tetap akan diserang melalui isu SARA dan agama. Apalagi jika Jokowi tidak mampu menggandeng kelompok religius dan basis ulama.
Persoalannya tinggal bagaimana Jokowi memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Bagaimanapun juga, moral marketing sangat efektif digunakan di negara dengan ketimpangan ekonomi yang cukup besar seperti Indonesia. Jika Jokowi tidak mampu membuktikan kerja pemerataan kesejahteraan yang dicita-citakannya, sangat mungkin ia juga akan ‘di-Ahok-kan’ oleh lawan politiknya.
Apakah hal ini mungkin terjadi? Hanya waktu yang bisa menjawab. (S13)