Komika Mongol Stres resmi gabung ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Berbagai pihak mempertanyakan, khususnya mengapa komedian bergabung ke partai politik. Apakah komedian tidak cocok di dunia politik?
“Humor is one of the elements of genius,” — Johann Wolfgang von Goethe, penyair Jerman
Bagi mereka yang tertarik dan mengikuti stand-up comedy, pasti mengenal komika Mongol Stres. Beberapa waktu yang lalu, komika bernama asli Rony Immanuel ini mengundang perhatian karena pembahasannya soal gereja setan di podcast Deddy Corbuzier. Dan, sekarang, Mongol kembali menarik atensi publik.
Namun, kali ini berbeda. Ini bukan soal gereja setan atau materi komedi yang tajam, melainkan soal keputusannya bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Disebutkan, Mongol bergabung karena seayun dengan perjuangan PSI dalam melawan korupsi dan intoleransi. PSI juga dinilai sebagai partai transparan dan jujur dalam menggunakan uang rakyat.
Well, terlepas dari apapun alasan Mongol untuk bergabung dengan PSI, tampaknya warganet tidak memberikan sambutan hangat. Dalam unggahan infografis PinterPolitik di Instagram, misalnya, berbagai pihak menyayangkan keputusan tersebut, bahkan ada pula yang memberi cibiran. Seperti judul artikel ini, kira-kira komentar warganet berbunyi, “ngapain komedian gabung parpol?”
Berbagai pihak menilai, partai politik seharusnya diisi oleh cendekiawan atau orang-orang yang memiliki latar belakang akademik mumpuni. Bukan tanpa alasan, asumsi semacam itu berdiri di atas tugas partai yang memberikan pendidikan politik dan merekrut kader, yang mana itu menentukan produk undang-undang dan pembuatan kebijakan publik.
Lantas pertanyaannya, apakah seorang komika seperti Mongol tidak seharusnya bergabung ke partai politik atau terjun ke dunia politik?
Menguji Philosopher King
Menarik akarnya, pemahaman bahwa partai harus diisi oleh cendekiawan dapat ditarik dari gagasan filsuf Yunani Kuno, Plato tentang philosopher king. Menurut Plato, filsuf adalah sosok yang ideal untuk menjadi raja atau penguasa. Bahkan, menurut Plato, hanya filsuf yang dapat dipercaya untuk memerintah dengan baik karena filsuf memiliki moral dan intelektual yang cocok untuk memerintah.
Penegasan tersebut bertolak dari bayangan Plato tentang filsuf yang memiliki moral baik karena mencintai kebenaran dan bebas dari keserakahan, serta nafsu untuk menyalahgunakan kekuasaan. Filsuf juga dinilai memiliki intelektualitas yang baik karena memperoleh pengetahuan yang utuh tentang realitas. Ini membuat filsuf dapat menentukan bentuk-bentuk kebajikan, kebaikan, dan keindahan.
Baca Juga: Apakah Parpol Baru Gagal seperti PSI?
Di tatanan konsep, apa yang ditegaskan Plato sekiranya dapat diamini. Namun, apakah benar filsuf cocok sebagai politisi?
Di era kontemporer, bayangan Plato soal philosopher king sekiranya memiliki bantahan — setidaknya sebagai variabel penguji. Pada Januari 2015 lalu, di tengah gejolak politik yang dialami Yunani akibat krisis ekonomi, filsuf ekonomi Yanis Varoufakis ditunjuk sebagai Menteri Keuangan (Menkeu). Yanis yang dinilai memiliki pemikiran cerdas dan kritis diharapkan dapat menyelamatkan perekonomian Yunani.
Namun, alih-alih menjadi penyelamat, Varoufakis ternyata hanya bertahan sampai Juli 2015. Ia diganti karena gagal mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa (UE) perihal kerja sama ekonomi yang dipercaya dapat menyelamatkan perekonomian Yunani.
Mengutip Pavlos Eleftheriadis dalam tulisannya Losing to the European Union: A Review of Yanis Varoufakis’ Book “Adults in the Room”, alih-alih mengakui kesalahannya, Varoufakis dalam bukunya Adults in the Room justru melakukan politik “kambing hitam” dengan menyebut UE sebagai organisasi yang tidak demokratis dan menindas.
Menurut Eleftheriadis, kegagalan Varoufakis sebenarnya diakibatkan karena filsuf ekonomi tersebut tidak mengetahui cara kerja UE dan aturan hukum yang bekerja. Eleftheriadis juga mengurai berbagai kebijakan ekonomi Varoufakis yang dinilai tidak berguna dalam menghadapi krisis — seperti mengeluarkan mata uang paralel dan menghapus independensi Bank of Greece.
Tentunya, kasus Varoufakis tidak dapat digeneralisir untuk menyebut konsep Plato sepenuhnya keliru. Kasus ini dimunculkan untuk membantah anggapan bahwa tidak ada sosok yang ideal sebagai pemimpin atau politisi.
Dari Komedi Jadi Politisi
Melihat faktanya, kasus komedian yang terjun ke dunia politik bukanlah perkara baru di Indonesia. Sebelumnya, komedian Narji juga disebut bergabung dengan Partai Demokrat. Eko Patrio juga sekarang duduk di kursi DPR dengan mengenakan seragam PAN.
Di luar negeri, kasus-kasus komedian yang menjadi politisi sukses juga tidak jarang terjadi. Di Italia, ada aktor komik dan satiris Beppe Grillo yang mendirikan Five Star Movement (M5S) pada 2009. Gerakan ini mengangkat lima isu utama, yakni air sebagai barang publik, transportasi berkelanjutan, pembangunan berkelanjutan, hak atas akses Internet, dan lingkungan. Hebatnya, pada tahun 2018, M5S menjadi partai individu terbesar di Parlemen Italia.
Kemudian, ada badut profesional Francisco Oliveira Silva alias Tiririca yang berhasil menjadi anggota Kongres Brasil sebagai perwakilan dari Sao Paulo dengan 1,3 juta suara pada 2010. Tiririca juga terpilih kembali pada 2014 dengan suara telak.
Di Slovenia ada komedian dan satiris Marjan Šarec yang berhasil menjadi Wali Kota Kamnik pada 2010. Hebatnya, pada 2018 Šarec berhasil menduduki kursi sebagai Perdana Menteri Slovenia.
Baca Juga: Kenapa PSI Selalu Serang Anies?
Lalu, ada komedian Luka Maksimović yang menarik perhatian pada 2017 karena mencalonkan diri sebagai presiden Serbia. Menariknya, perolehan suara Maksimović berada di urutan ketiga dengan 9 persen. Dan yang paling dikenal saat ini mungkin adalah komedian Volodymyr Zelensky yang menjadi Presiden Ukraina pada 2019 dengan memperoleh 73 persen suara – benar-benar kemenangan telak.
Kasus Eko Patrio yang berhasil duduk di Senayan, Marjan Šarec yang menjadi Perdana Menteri Slovenia, Volodymyr Zelensky yang menjadi Presiden Ukraina, dan berbagai contoh lainnya adalah bantahan terhadap asumsi politik bukanlah tempat bagi komedian.
Kecerdasan Stand-Up Comedy
Lucas Johnson dalam tulisannya Comedians must be cognizant of their role as social commentators menyebutkan bahwa, secara historis, komentar sosial telah menjadi inti dari materi komedian. Bahkan, komedian juga dinilai memiliki kemampuan untuk mempengaruhi konsensus sosial.
Johnson, misalnya, memuji kecerdasan pembawa acara The Daily Show yang berasal dari Afrika Selatan, Trevor Noah, yang mampu memberikan refleksi masalah sosial-politik dengan dikemas secara informal. ”Trevor Noah menggunakan tawa untuk membuat penontonnya berpikir kritis,” tulisnya.
Kemudian, apabila secara khusus membahas soal stand-up comedy, ada pembahasan menarik dari Gil Greengross dalam tulisannya Comedians’ Smarts, Humor, and Creativity. Menurutnya, komika profesional merupakan sosok cerdas. Ini ditarik dari studi yang menunjukkan komika profesional mendapat skor lebih tinggi pada semua gaya humor, kemampuan humor, dan kecerdasan verbal daripada mahasiswa.
Komika profesional tidak hanya memiliki kemampuan produksi humor spontan jangka pendek, melainkan juga keterampilan dalam menyusun dan menyempurnakan tindakan efektif untuk menyampaikan materi kepada audiens yang memiliki selera humor yang berbeda.
Bertolak dari Johnson dan Greengross, sekiranya dapat dikatakan, sebagai komika profesional, Mongol memiliki keterampilan refleksi sosial dan penyampaian materi yang begitu baik. Dengan bekal tersebut, Mongol diharapkan memberikan teknik penyampaian kritik baru bagi PSI. Tidak lagi secara lugas, melainkan dapat berbentuk kritik informal dan satir tetapi menghujam dengan dalam.
Baca Juga: Jokowi, PAN, dan Cemburu PSI
Well, terlepas apapun alasan Mongol bergabung dengan PSI, tentu harapannya, komika profesional satu ini dapat memberi input bagus bagi PSI. Kita lihat saja sepak terjang Mongol Stres di dunia perpolitikan. (R53)