Site icon PinterPolitik.com

Monas adalah Milik Anies?

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (Foto: Kumparan)

Anies Baswedan telah lama digadang-gadang sebagai kandidat paling potensial untuk maju di Pilpres 2024. Gubernur DKI Jakarta ini disebut sebagai representasi kelompok religius. Apakah “faktor Monas” menjadi variabel pembeda Anies dengan kandidat lainnya?


PinterPolitik.com

“Symbols mean a lot in politics. They indicate a will and create new realities.” — François Hollande, mantan Presiden Prancis

Saat ini kita tengah menonton pacuan kuda politik. Kandidat-kandidat potensial, khususnya Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan Anies Baswedan tengah berlomba menjadi yang terdepan di puncak-puncak survei elektabilitas. Tentunya dengan memperlihatkan kinerja dan pendekatan ke masyarakat.

Terkhusus Anies, telah lama namanya digadang-gadang akan maju di kontestasi pilpres. Pada 2013, misalnya, Anies bersama dengan tokoh-tokoh besar lainnya mengikuti konvensi calon presiden Partai Demokrat. Sekalipun tidak keluar sebagai pemenang, momentum itu menjadi indikasi kuat bahwa Anies memiliki ambisi untuk menjadi RI-1.

Setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2017, ambisi tersebut mendapatkan batu loncatan yang luar biasa. Sama seperti Joko Widodo (Jokowi), posisinya sebagai Gubernur DKI Jakarta juga disebut sebagai pijakan penting untuk maju di Pilpres 2024.

Baca Juga: Kenapa PSI Selalu Serang Anies?

Tidak hanya di Indonesia, signifikansi ibu kota secara politik juga terjadi di berbagai belahan dunia. Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson, misalnya, pernah menjabat sebagai Wali Kota London yang merupakan pusat pemerintahan dan bisnis di Britania Raya. Menurut Heike Mayer dan David Kaufmann dalam The Political Economy of Capital Cities, ibu kota memainkan peran signifikan karena merupakan identitas politik, ekonomi, sosial, dan budaya suatu negara.

Mengutip Ross Tapsell dalam bukunya Media Power in Indonesia, konteks ibu kota menjadi semakin signifikan di Indonesia karena Jakarta merupakan tempat berkumpulnya hampir semua kantor pusat media. Imbasnya, secara tak langsung menyebabkan pemberitaan media-media akan berkiblat pada ‘kepentingan Jakarta’ yang pada akhirnya membuat isu regional Jakarta seolah-olah menjadi isu nasional.

Kembali pada Anies, selain faktor menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, ada satu lagi faktor signifikan yang membuat Anies begitu menarik secara politik, yakni faktor Monas. Ya, monumen yang mulai dibangun pada 17 Agustus 1961 ini memiliki signifikansi politik tersendiri bagi Anies.

Monas yang Sakral

Sejak 2016, publik sekiranya melihat bagaimana Monas telah berulang kali menjadi arena pergerakan politik, khususnya bagi kelompok Islam seperti FPI dan PA 212. Sejak saat itu pula, Anies kerap terlihat di Monas ketika terjadi berbagai aksi massa.

Mengutip Kelebogile T. Resane dalam tulisannya Statues, Symbols and Signages: Monuments Towards Socio-Political Divisions, Dominance and Patriotism?, monumen – seperti Monas – memang memainkan peran untuk menjadi pengikat ingatan kolektif atas pergerakan sosial-politik yang pernah dilakukan.

Artinya, dengan terus digunakannya Monas sebagai arena pergerakan politik oleh kelompok tertentu, secara tidak langsung, Monas sebenarnya telah menjadi semacam simbol dari pergerakan tersebut. Ketika ramai-ramainya demonstrasi di Monas, bahkan terdapat istilah “jamaah Monas” yang digunakan untuk merujuk pihak-pihak yang menggunakan Monas sebagai basis tempat pergerakannya.

Konteks ini kemudian menjadi argumentasi yang digunakan berbagai pihak untuk menyimpulkan Anies mendapatkan dukungan dari kelompok Islam, khususnya mereka yang bergerak di Monas.

Menarik ke belakang, kuatnya interpretasi Monas sebagai simbol pergerakan pada dasarnya tidak terjadi sejak massa 212.  Selain sebagai simbol kelompok yang melawan kekuasaan, Monas juga menjadi simbol gerakan bagi mereka yang mencari keadilan. Pada Maret 2017, misalnya, kelompok aktivis yang tergabung dalam Koalisi untuk Kendeng Lestari menggelar aksi #DipasungSemen2 di kawasan Monas.

Pada 7 September 2017, ada pula aksi istri Munir, Suciwati bersama ratusan aktivis lainnya yang berkumpul di seberang Taman Pandang Istana, Monas untuk menuntut pemerintah membuka dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) kasus kematian Munir.

Baca Juga: Mengapa Monas Penting Untuk Anies?

Dari namanya saja, Monumen Nasional, Monas telah menunjukkan makna simbol yang luar biasa. Monumen yang dirancang oleh Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono ini didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sejak awal, Monas telah dimaksudkan sebagai simbol dari kebebasan, perjuangan, dan semangat juang.

Tidak heran kemudian, berbagai aksi sosial-politik, seperti Petani Kendeng, Munir, hingga massa 212 memilih Monas sebagai tempat pergerakan mereka.

Di berbagai belahan dunia, tempat yang menjadi simbol pergerakan politik seperti Monas juga lumrah ditemukan. Di Turki, misalnya, ada Gezi Park yang menjadi semacam basis pergerakan massa anti-pemerintah. Ihsan Eliacik, seorang pemimpin spiritual Muslim anti-kapitalis bahkan memberikan istilah khusus pada gerakan demonstrasi yang berpusat di Gezi ini dengan sebutan Gezi Spirit.

Gezi Spirit telah bertransformasi menjadi simbol pergerakan politik yang terus merongrong pemerintah. Seperti kata Eliacik, ini adalah gerakan yang melawan dominasi kapitalisme dan sekulerisme yang disebutnya tidak mencerminkan semangat Islam yang sebenarnya.

Anies Diuntungkan Pandemi

Kembali pada Anies, lekatnya Gubernur DKI Jakarta ini dengan massa Islam, khususnya 212 kemudian jamak disebut sebagai salah satu modal politik (political capital) terbesar Anies. Mengutip Kimberly L. Casey dalam tulisannya Defining Political Capital, ini dapat disebut sebagai modal sosial dan modal simbolis.

Modal politik tersebut kemudian semakin kuat karena terjadi dua fenomena yang menguntungkan Anies, yakni masuknya Prabowo Subianto ke pemerintahan Jokowi, dan adanya pandemi Covid-19.

Seperti yang jamak diketahui, masuknya Prabowo ke lingkar kekuasaan telah memantik kekecewaan dari massa 212. Ini semakin diperkuat setelah Sandiaga Uno mengikuti Ketua Umum Gerindra tersebut ketika menerima pinangan sebagai menteri pada Desember 2020.

Lalu dengan adanya pandemi, praktis tidak lagi terjadi aksi massa di Monas. Imbasnya, kandidat-kandidat selain Anies tidak lagi dapat mencari simpati di massa Islam yang menggunakan Monas sebagai pusat pergerakan. Persepsi kelompok 212 dapat dikatakan menjadi tertutup pada Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Selain itu, Anies juga memainkan manuver jitu dengan menjaga komunikasi dengan tokoh-tokoh penting, khususnya para ulama yang ikut dalam pergerakan di Monas. Pada 14 November 2020, misalnya, ulama karismatik Ustadz Abdul Somad (UAS) bersilaturrahmi dengan keluarga besar Anies. Momen ini diunggah UAS di akun Instagramnya @ustadzabdulsomad_official.

Baca Juga: Jokowi Dukung Anies-Puan di 2024?

Well, mungkin dapat dikatakan, jika Anies berhasil menjaga persepsi bahwa dirinya mendapat dukungan luas dari kelompok religius, ini akan menjadi modal politik dan daya tawar besar di hadapan partai-partai politik. Penegasan ini bertolak dari survei Poltracking Institute pada 2018 yang menempatkan faktor agama di urutan pertama dengan 19,4 persen sebagai alasan masyarakat menentukan calon presiden.

Konteksnya juga tergambar dalam pernyataan politisi senior PDIP Effendi Simbolon pada 1 Juni 2021, yang menyebutkan pasangan Anies-Puan berpeluang mendapatkan suara maksimal karena Anies memiliki kantong suara dari golongan religius, sementara Puan dari golongan nasionalis.

Kita lihat saja, apakah Anies akan menjadi pemenang dalam pacuan kuda politik ini atau tidak. Mari menanti satu atau dua tahun lagi. (R53)

Exit mobile version