Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyinggung orang kaya dan menengah yang banyak menikmati subsidi bahan bakar minyak (BBM). Lalu, mengapa salah sasaran subsidi itu dapat terjadi? Apakah kebijakan untuk mengatasinya bermuara pada kepentingan tertentu?
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko baru saja memberikan sentilan kepada sebagian kelompok masyarakat. Musababnya, masih ada kelompok masyarakat ekonomi atas dan menengah yang menikmati subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Menurut Moeldoko, mereka bahkan tidak malu menggunakan insentif pemerintah yang sesungguhnya ditujukan untuk kelompok masyarakat kurang mampu yang lebih membutuhkan.
Sentilan itu disampaikan dalam acara bertajuk “Seminar Wawasan Kebangsaan: Strategi Pemerintahan Jokowi Keamanan Nasional”. Disebutnya, ihwal itu membuat beban negara menumpuk dan pemerintah dihadapkan pada dilema ditengah situasi ekonomi yang kurang baik.
Memang, diskursus mengenai kenaikan harga energi belakangan terus mengemuka. Saat harga Pertamax naik misalnya, terdapat peralihan pengguna kendaraan bermotor ke BBM jenis Pertalite.
Pada akhir Mei lalu, pejabat sementara (Pjs.) Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menyebut sekitar 25 persen pengguna Pertamax beralih ke Pertalite. Sayangnya, tujuan untuk mengurangi beban subsidi kemudian terkesan menguap pasca Komisi VII DPR RI menyetujui penambahan kuota Pertalite.
Bukan tanpa solusi, Pertamina sebenarnya telah berupaya menertibkan penggunaan BBM agar tepat sasaran melalui penggunaan aplikasi My-Pertamina. Namun, kritikan berdatangan karena terobosan dengan memaksimalkan teknologi itu dinilai tidak dapat diterapkan secara konsisten dan merata di seluruh Indonesia.
Tidak hanya BBM, subsidi energi berupa gas elpiji 3 kg pun dianggap masih banyak yang salah sasaran. Namun, Irto mengatakan bahwa gagasan penggunaan aplikasi My-Pertamina sebagai syarat untuk pembelian gas melon itu masih dalam tahap pengembangan sistem.
Kendati demikian, satu pertanyaan mendasar muncul, yakni mengapa fenomena salah sasaran subsidi itu dapat terjadi di Indonesia? Lalu, apakah solusi kebijakan untuk mengatasinya memiliki keterkaitan dengan kepentingan politik tertentu?
Salah Berjamaah?
Sudut pandang masyarakat sebagai konsumen agaknya dapat menjadi pintu masuk analisis untuk memahami mengapa persoalan klasik subsidi salah sasaran dapat terjadi di Indonesia.
Oliver E. Williamson mengemukakan konsep oportunisme konsumen dalam bukunya yang berjudul Markets and Hierarchies: Analysis and Antitrust Implications. Konsep itu dijelaskan sebagai tindakan individu (konsumen) yang menggunakan kebebasan statusnya sebagai pembeli untuk kepentingannya sendiri dengan mengorbankan pihak lain.
Menurut Williamson, terdapat tiga penjelasan yang melandasi munculnya sikap itu, yang agaknya sekaligus dapat menjawab perilaku konsumen BBM di Indonesia sebagaimana disentil oleh Moeldoko.
Pertama, karakteristik mendasar konsumen adalah mereka dapat menggunakan berbagai cara memuaskan kepentingan maupun keinginan dalam sebuah interaksi ekonomi.
Kedua, konsumen kerap merasionalisasi begitu saja cara untuk memuaskan kepentingannya, meskipun berbenturan dengan asas-asas seperti keadilan dan kepuasan kebersamaan.
Terakhir, komitmen konsumen untuk membatasi konsumsi dalam koridor ideal menjadi hal yang cukup sulit untuk terealisasi, terutama di negara berkembang.
Ditambah, menurut John Stuart Mill dalam esainya tentang ekonomi politik, disebutkan bahwa manusia adalah homo economicus di mana seseorang memiliki kapasitas tak terbatas untuk membuat keputusan rasional dalam interaksi ekonomi.
James Chen dalam Homo Economicus mengistilahkannya sebagai rasionalitas instrumental ketika manusia akan terus menyempurnakan kepentingannya sebagai konsumen.
Selain dari sisi konsumen, aspek objek konsumsi, yaitu BBM, menjadi ihwal berikutnya yang kiranya turut memengaruhi. Berbeda dengan kebutuhan energi mendasar lain seperti listrik yang penggunaannya diatur dengan tarif, nilai bahan bakar ditentukan oleh harga.
Meskipun belum seratus persen sempurna, pengaturan 13 golongan listrik non-subsidi dan dua golongan listrik bersubsidi tampaknya menjadi lebih mudah untuk memenuhi aspek ketepatan sasaran.
Aspek regulasi kemudian menjadi kata kunci dari pengaturan tersebut dan turut menjadi pemantik berikutnya mengapa subsidi yang salah sasaran jamak terjadi di konsumsi BBM negara +62.
Realitas di lapangan – yaitu oportunisme konsumen dan hakikat penetapan nilai BBM – kiranya memiliki keterkaitan dengan rumitnya pembuatan regulasi yang mengatur penyaluran subsidi secara tepat.
Penentuan harga BBM oleh Pertamina sendiri ditentukan oleh Indonesia Crude-Oil Price (ICP) atau harga minyak mentah, kurs rupiah, pungutan pajak, wilayah operasional, dan kebijakan pemerintah – termasuk regulasi.
Mengacu pada apa yang dikemukakan Chen, rasionalitas instrumental (sisi konsumen) akan selalu berbenturan dengan rasionalitas nilai, yakni aspek regulasi serta kebijakan pemerintah yang pada hakikatnya “tidak pernah sempurna”.
Kendati demikian, pemerintah – termasuk Moeldoko – kemungkinan cukup memahami perilaku konsumen Indonesia yang oportunis plus rumitnya “menyempurnakan ketidaksempurnaan” regulasi maupun kebijakan dalam konteks subsidi BBM yang tak tepat sasaran.
Selain pemahaman atas penyebab fenomena subsidi yang salah sasaran, di titik ini dapat dipahami pula mengapa ketidaksempurnaan kebijakan dan regulasi bisa saja dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Kiranya bukan rahasia lagi ketika mengatakan bahwa harga BBM dan subsidinya kerap menjadi variabel seksi dalam dinamika politik dan pemerintahan.
Kandidat calon presiden (capres) misalnya, kerap mengklaim mampu menurunkan harga BBM untuk menarik simpati. Sementara bagi pemerintah yang berkuasa, harga BBM yang terjangkau kerap menjadi salah satu indikator kepuasan masyarakat yang bermuara pada dukungan politik.
Oleh karena itu, penentuan regulasinya tidak jarang memiliki tendensi politis tertentu untuk memengaruhi masyarakat dalam aspek sosio-politik.
Korelasi itu, selaras dengan apa yang dikemukakan pakar hukum terkemuka asal Amerika Serikat (AS), Roscoe Pound, ketika menyebut hukum adalah alat rekayasa sosial dan alat kontrol.
Dengan kata lain, solusi berupa kebijakan serta regulasi pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan terkait BBM, bisa saja memiliki irisan dengan kepentingan politik tertentu.
Berangkat dari situ, solusi untuk mengatasi subsidi BBM salah sasaran yang dikemukakan Moeldoko kiranya cukup menarik untuk ditelaah lebih dalam. Mengapa demikian?
Ujung-Ujungnya Aplikasi?
Menyiapkan skema baru atas subsidi BBM menjadi jalan keluar yang dimunculkan pemerintah melalui Moeldoko. Mantan Panglima TNI itu menyebut insentif materiil sedang didesain agar dapat langsung menyentuh masyarakat atau konsumen yang membutuhkan.
Jika benar-benar diwujudkan, solusi itu sendiri tampaknya akan bermuara kepada semacam bantuan langsung tunai, dan harga seluruh jenis BBM boleh jadi tak lagi akan mendapat subsidi di saat bersamaan.
Akan tetapi, skema itu kemungkinan tidak akan berjalan mulus seperti yang diharapkan dengan mengacu pada “hakikat ketidaksempurnaan kebijakan” dan rekam jejak pemanfaatan bantuan tunai yang jamak tidak sesuai peruntukannya.
Tidak menutup kemungkinan bahwa solusi dari Pertamina dengan memaksimalkan aplikasi seperti My-Pertamina ujung-ujungnya akan jadi jalan ninja pemerintah.
Terlebih, penerima bantuan sosial (bansos) Kementerian Sosial sebelumnya diminta memasang aplikasi bernama Cek Bansos untuk memantau kepesertaan.
Namun, pemanfaatan aplikasi bukan hanya memiliki potensi masalah dari konsistensi dan cakupan akses, tetapi juga dari berbagai data konsumen yang diinput ke dalamnya.
Selain peluang untuk diretas dan disalahgunakan, peneliti keamanan siber Communication and Information System Security Research Center (CissRec) Ibnu Dwi Cahyo menyebut data tersebut bisa digunakan untuk kepentingan politik melalui analisis perilaku pengguna.
Hal itu juga dijabarkan William David Watkin dalam Cambridge Analytica Used our Secrets for Profit dengan memberikan sampel kasus peran konsultan politik Cambridge Analytica di pemilihan umum (Pemilu) AS 2016.
Saat itu, Cambridge Analytica mengaku “memanfaatkan” algoritma dari 87 juta data pengguna Facebook untuk memprediksi perilaku pemilih berdasarkan aktivitas digital, usia, aspek geografis, hingga isu yang diminati.
Dengan begitu, konsultan politik asal Britania itu bisa menentukan bagaimana cara dan sasaran kampanye bagi seorang politikus yang membayar jasa mereka, termasuk dugaan sokongannya terhadap Donald Trump tujuh tahun silam.
Apa yang dijelaskan Watkin kiranya dapat menjadi antisipasi bersama dari maraknya penggunaan aplikasi digital – yang meminta berbagai data pribadi – dengan dalih solusi atas persoalan tertentu saat ini.
Kendati demikian, dengan diiringi antisipasi, berbagai solusi yang diupayakan pemerintah kiranya harus terus didukung masyarakat. Apalagi yang terkait kepentingan bersama seperti menekankan rasionalitas nilai dalam penggunaan BBM sesuai peruntukannya.
Diharapkan, gagasan yang disampaikan oleh Moeldoko untuk mengatasi permasalahan laten subsidi BBM tak tepat sasaran juga dapat benar-benar menjadi solusi pamungkas dan tak memiliki kepentingan apapun di baliknya. (J61)