Sejak awal kemunculan isu kudeta Partai Demokrat, narasi mendorong Moeldoko mundur sebagai Kepala Staf Kepresidenan telah ramai menggema. Namun, alih-alih diganti Moeldoko justru mendapatkan tugas baru sebagai pengarah tim transisi pengambilalihan TMII. Apakah itu menunjukkan Presiden Jokowi masih percaya dengan Moeldoko?
Setelah Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dilebur ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), isu reshuffle jilid II santer terdengar. Berbagai posisi disasar, seperti Mendikbud, Menteri Pertanian (Mentan), Menteri Perdagangan (Mendag), hingga Kepala Staf Kepresidenan (KSP).
Terkhusus yang terakhir, isunya telah menggema sejak awal Februari. Tentu akibat usaha kudeta Partai Demokrat yang membawa nama Moeldoko. Ada berbagai nama yang muncul. Mulai dari Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gelora Fahri Hamzah, presenter Najwa Shihab, mantan Staf Khusus KSP Dimas Oky Nugroho, hingga mantan Kapolri Idham Azis.
Baca Juga: Ngabalin Atau Fahri, Siapa Pengganti Moeldoko?
Menariknya, di tengah dorongan yang ada, Moeldoko justru mendapatkan tugas baru sebagai pengarah tim transisi pengambilalihan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ia akan bekerja selama tiga bulan bersama dengan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) dan Sekretaris Kabinet (Seskab) yang juga berposisi demikian.
Sekilas, sekiranya tidak ada yang aneh dari penunjukan Moeldoko. Itu hanya penugasan biasa sebagai pejabat Istana. Namun, ceritanya agak berbeda dari kacamata para analis politik. Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, misalnya, melihat penunjukan tersebut bermakna unjuk kekuatan (show of force).
“Moeldoko tampaknya sengaja mencoba memanfaatkan isu TMII ini sebagai panggung untuk menunjukkan eksistensi dan kesan publik bahwa dirinya masih aman di Istana Presiden,” begitu tutur Umam.
Lantas, bagaimana penugasan tersebut dapat bermakna unjuk kekuatan seperti dalam analisis Umam?
Persepsi yang Terbentuk
Untuk menjawabnya, kita dapat menggunakan teori semiotika pragmatis dari filsuf Charles Sanders Peirce. Seperti namanya, teori semiotika Peirce lebih menekankan pada persoalan pragmatis atau kegunaannya. Selain disebut pragmatis, teori semiotika Pierce juga disebut sebagai teori yang bersifat trikotomis karena melibatkan tiga segi, yakni representamen, objek, dan interpretan.
Representamen adalah fenomena yang pertama kali ditangkap, sedangkan proses kognitif yang terbentuk dari penangkapan itu disebut dengan “objek”. Sementara proses hubungan dari representamen ke objek disebut semiomis, yang kemudian berlanjut ke dalam proses penafsiran atau “interpretan”.
Berbeda dengan teori semiotika lainnya, seperti teori semiotika Ferdinand de Saussure yang hanya menginterpretasi dalam satu proses, teori semiotika Pierce memiliki keunggulan karena interpretasinya melibatkan dua proses.
Siti Anisa Putri dalam tesisnya A Semiotic Analysis of Joko Widodo Political Cartoons in the Jakarta Post E-Paper menyebutkan, dalam semiotika Pierce, proses semiosis adalah proses tak berhingga (infinite process) karena interpretan dapat menjadi representamen baru, dan seterusnya.
Perhatikan gambar berikut untuk memudahkan.
Menggunakan semiotika trikotomis Peirce kita mendapatkan pemetaan berikut. Moeldoko ditunjuk sebagai pengarah tim transisi pengambilalihan TMII adalah representamen. Penugasan itu membentuk “objek”, Moeldoko diberi tugas baru oleh Presiden Jokowi. Ini kemudian membentuk interpretan, Moeldoko masih aktif sebagai pejabat Istana. Tidak ada yang menarik sampai titik ini.
Nah, ceritanya berbeda apabila interpretan tersebut menjadi representamen baru. Ini akan membentuk “objek”, posisi Moeldoko masih aman. Kemudian terbentuklah interpretan, Moeldoko masih dipercaya oleh Presiden Jokowi.
Ceritanya menjadi lebih menarik lagi apabila kita membentuk lagi representamen baru. Moeldoko yang masih dipercaya Presiden Jokowi membentuk “objek”, mantan Panglima TNI itu berhasil menjaga hubungannya dengan sang RI-1. Ini kemudian membentuk interpretan, seperti dalam analisis Umam, Moeldoko tengah menunjukkan ke depan publik bahwa ia masih aman di Istana.
Baca Juga: Tuah Moeldoko Lampaui Luhut
Akan tetapi, seperti namanya, semiotika adalah studi mengenai interpretasi tanda. Artinya, bisa jadi interpretasi ini tidak menggambarkan realitas sebenarnya? Probabilitas ini sekiranya tidak boleh dilupakan.
Nicolas Hayoz dalam tulisannya Political Friendship, Democracy and Modernity menyebut tidak adanya teori sosiologis yang tegas menentukan batas-batas persabahan atau kepercayaan personal di ruang publik membuat political friendship sangat sulit dihindari, bahkan dalam politik demokrasi.
Mengacu pada Hayoz, sekarang pertanyaannya, sejauh mana kira-kira kedekatan Moeldoko dengan Presiden Jokowi?
Kedekatan yang Ada
Analis politik dari Northwestern University, Jeffrey Winters menyebut, dengan status Presiden Jokowi sebagai outsider atau tidak berasal dari elite partai, mantan Wali Kota Solo itu adalah presiden terlemah secara politik sejak Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada awalnya, banyak kebijakan Presiden Jokowi yang dipengaruhi oleh Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri.
Ihwal tersebut juga diungkapkan oleh Kikue Hamayotsu dan Ronnie Nataatmadja dalam tulisannya Indonesia in 2015: The People’s President’s Rocky Road and Hazy Outlooks in Democratic Consolidation.
Untuk menyiasati, Presiden Jokowi melakukan manuver menarik. Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Evan A. Laksmana dalam tulisannya Civil-Military Relations under Jokowi: Between Military Corporate Interests and Presidential Handholding menyebut militer berperan penting dalam menjalankan agenda politik Presiden Jokowi pada periode pertama kepemimpinannya.
Karena sang presiden tidak memiliki modal politik yang cukup untuk menjaga koalisi, serta tidak memiliki pengalaman untuk mengelola hubungan dengan militer, mantan Wali Kota Solo itu mengandalkan purnawirawan TNI seperti Luhut Binsar Pandjaitan, A.M. Hendropriyono, Ryamizard Ryacudu, Wiranto, Agum Gumelar, dan Moeldoko.
Stephen Wright dalam tulisannya Indonesia: Army’s influence sparks fear for democracy juga memberi afirmasi atas penjelasan Evan. Mengutip Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Agus Widjojo, Presiden Jokowi disebut kurang percaya diri tanpa tentara di sisinya.
Terkhusus Moeldoko, sepertinya terdapat hubungan yang begitu erat. Pasalnya, pada acara pernikahan putri Presiden Jokowi, Kahiyang Ayu, 8 November 2017 lalu, Moeldoko menjadi wakil keluarga sang presiden memberikan kata sambutan. Di belakangnya ada Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.
Dalam sesi kuis kilat bersama Kumparan pada 20 April 2018 lalu, Presiden Jokowi justru menjawab Moeldoko ketika diminta memilih antara Prabowo Subianto atau Gatot Nurmantyo. Selain itu, Moeldoko juga sempat digadang-gadang menjadi pasangan mantan Wali Kota Solo itu di gelaran Pilpres 2019. Meskipun urung terealisasi, itu jelas menunjukkan kedekatan yang tidak biasa.
Akan tetapi, apabila kita menengok analisis pakar isu keamanan dan militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, interpretasinya mungkin akan berbeda. Menurut Fahmi, di periode kedua ini, Presiden Jokowi sudah memiliki pengaruh dan pengalaman yang cukup untuk mengelola hubungan dengan militer.
Evan juga memberikan pandangan serupa, meskipun memprediksi Presiden Jokowi akan tetap memberikan ruang kepada purnawirawan militer dalam pemerintahannya.
Lalu, kembali pada political friendship. Konsep yang dikemukakan Aristoteles ini membagi pertemanan menjadi tiga jenis, yakni pertemanan untuk kesenangan (pleasure), pertemanan untuk utilitas (utility), dan pertemanan atas dasar nilai (virtues).
Nah, dengan mengacu pada posisi Presiden Jokowi yang tidak dapat maju di 2024 dan sudah seharusnya menyiapkan legacy politik, di periode kedua ini, pertemanan untuk utilitas sekiranya yang menjadi perhatian utama.
Baca Juga: Pertengahan Tahun, Andika Jadi Panglima?
Jika itu benar, dengan derasnya wacana reshuffle saat ini, mungkinkah Moeldoko akan segera didepak? Apalagi, jika mengacu pada kalkulasi politik, mengganti Moeldoko dapat memberikan pesan bahwa Presiden Jokowi tidak memberi restu terhadap kudeta Partai Demokrat.
Pun begitu sebagai akomodasi kegeraman publik kepada mantan politikus Hanura itu karena mencoba merebut pimpinan partai mercedes dari tangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Well, pada akhirnya hanya waktu yang dapat menjawabnya. Apakah political friendship Presiden Jokowi dengan Moeldoko berbasis pada kesenangan, utilitas, atau nilai, hanya pihak-pihak terkait yang mengetahuinya. (R53)