Di balik ramainya pemberitaan kudeta Partai Demokrat, terselip satu isu menarik soal pencalonan Moeldoko sebagai Capres 2024. Lalu, seperti apa peluang politik mantan Panglima TNI itu sesungguhnya?
Dalam tiga hari terakhir, nama Moeldoko menjadi salah satu tajuk utama menarik dalam perbincangan politik tanah air. Dirinya diduga menjadi salah satu dari lima aktor di balik skenario mengambil alih Partai Demokrat dari kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Sejak pertama kali disoroti, berulang kali Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) itu menampik eksistensi skenario tersebut. Menariknya, di saat yang sama Ia tak membantah bahwa sejumlah kader partai berlambang bintang mersi itu pernah beberapa kali melangsungkan pertemuan dengannya meski tak merinci dalam rangka apa.
Reaksi yang terkesan masih meninggalkan tanda tanya itu agaknya justru membuka ruang interpretasi lain perihal signifikansi sosok Moeldoko sendiri. Hal ini berkaca dari sejumlah pernyataan elite Partai Demokrat seperti Herzaky Mahendra Putra hingga Rachland Nashidik yang secara terang-terangan menyinggung perihal Moeldoko dan konteks Capres 2024.
Cukup mengejutkan memang ketika narasi di balik isu kudeta Partai Demokrat tak hanya terkait adanya intervensi eksternal, melainkan berkembang secara spesifik pada rencana mengusung Moeldoko dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024 mendatang.
Hal itu kiranya sekaligus menguak satu perspektif lainnya bahwa sosok berlatar belakang militer, selain Prabowo Subianto tentunya, mungkin masih memiliki peluang untuk bertarung dan memperebutkan kursi pemimpin negeri.
Bukan hal baru memang, namun jika menengok pada tren historis dan reputasi perbandingan kasar pemimpin sipil dan militer di Indonesia sampai detik ini, tak menutup kemungkinan bahwa kembalinya eksistensi pemimpin dengan background serdadu cukup diharapkan.
Baca juga: Moeldoko for Presiden 2024?
Jajak pendapat yang dilakukan Segitiga Institute pada tahun 2016 silam misalnya, menyatakan bahwa 40,5 persen masyarakat Indonesia masih mengidamkan pemimpin yang berasal dari kalangan militer.
Persentase itu hampir dua kali lipat dari ekspektasi terhadap kepemimpinan sipil yang berada di kisaran 21,4 persen. Sementara 27,3 persen lainnya menunjukkan bahwa latar belakang sipil ataupun militer dalam kepemimpinan Indonesia bukanlah menjadi soal.
Dari relevansi tersebut, tampaknya memang cukup menarik untuk melihat bagaimana kans Moeldoko dalam kemungkinannya mendistorsi nama-nama yang lazim telah ada dalam bursa Capres 2024 selama ini.
Pesona Kepemimpinan Militer
Bayang-bayang dan ekspektasi pada sosok militer dalam kepemimpinan posisi sipil atau bahkan pemimpin negara tampaknya memang tidak bisa dikesampingkan begitu saja dalam konteks Indonesia.
Gagasan kompetensi sosok berlatarbelakang militer dalam jabatan sipil memang terus ada dan dipertahankan hingga kini dalam hubungan sipil-militer, baik yang murni karena kecakapannya, maupun sebagai bagian dari upaya melanggengkan maupun mengonsolidasikan kekuasaan, seperti yang dikemukakan oleh peneliti politik dan militer Ulf Sundhaussen dalam The Road to Power: Indonesian Military Politics.
Mengingat berdasarkan aspek historisnya, terutama di era Soeharto, pengaruh militer ke dalam sendi-sendi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya telah tertanam cukup dalam.
Soeharto yang notabene juga seorang tentara, dalam perjalanannya tak hanya membawa pemerintahan Orde Baru (Orba) melakukan intensifikasi paradigma kepemimpinan militer di berbagai level dan lini, namun juga secara tidak langsung menghasilkan kader-kader pemimpin militer yang bahkan cukup memiliki prospek untuk memimpin negara.
Setelah Presiden kedua RI itu tumbang oleh tuntutan reformasi, sejumlah nama perwira tinggi militer yang mengisi pos-pos vital di penghujung era Soeharto mulai mencuat dan menunjukkan kapasitas sesungguhnya.
Baca juga: Operasi Intelijen di Balik Kudeta Demokrat
Barry Posen dalam The Source of Military Doctrine, menyodorkan konsep military maverick, untuk mendeskripsikan para perwira militer dan eks perwira militer yang memiliki cara berpikir relatif berbeda dan dapat mengusulkan serta mewujudkan perubahan signifikan, termasuk tentang posisi ideal peran militer di panggung politik.
Peneliti dari Rajaratmnam School of International Studies (RSIS) Adhi Priamarizki dalam jurnalnya yang berjudul Military Reform and Military Maverick, mengatakan bahwa pada konteks Indonesia, military maverick itu terlihat pada tiga sosok yang tampil cemerlang jelang kejatuhan dan sepanjang transisi Orba ke era yang baru, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Wirahadikusumah, dan Agus Widjojo.
Ketiganya disebut Priamarizki tampil memainkan peran penting dalam upaya mereformasi militer dan mendukung agenda demokratisasi di penghujung 1990-an dan di awal 2000-an.
Ihwal yang dalam perjalanannya kemudian dinilai menjadi faktor penentu yang membawa satu dari tiga sosok itu, yakni SBY, ke tampuk kepemimpinan tertinggi sebagai Kepala Negara pada tahun 2004.
Setelah era SBY berakhir, lantas muncul nama Prabowo Subianto yang datang membawa ambisi kepemimpinan serupa, namun dengan modal yang berbeda. Meskipun harus kalah dalam dua edisi Pilpres oleh Joko Widodo (Jokowi), Prabowo nyatanya mendapatkan persentase suara yang tak terlampau jauh dari Eks Wali Kota Solo.
Kecenderungan itu agaknya menggambarkan relevansi survei Segitiga Institute yang menunjukkan harapan atas kepemimpinan dari kalangan militer masih cukup tinggi di Indonesia dengan berbagai pertimbangan, baik dari segi historis, kredibilitas, hingga faktor karismanya.
Oleh karenanya, Prabowo yang masih menjadi misteri apakah akan bertarung kembali di Pilpres 2024, membuka peluang bagi generasi baru dengan background militer yang telah punya modal politik seperti Moeldoko untuk turut berkompetisi di ajang tersebut, setelah sebelumnya juga mengemuka nama Gatot Nurmantyo.
Dan agaknya menjadi tak mengherankan ketika nama Moeldoko yang menyeruak di tengah isu kudeta Partai Demokrat, kemudian dikaitkan dengan probabilitas mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu sebagai Capres 2024.
Lalu, seperti apa sesungguhnya peluang Moeldoko?
Momentum Tepat Gantikan Sipil?
Meskipun dapat dikatakan tak merepresentasikan military maverick seperti halnya sosok SBY atau memiliki modal sosial politik yang komplit seperti Prabowo, signifikansi Moeldoko sebagai sosok Capres dan kemungkinannya untuk dapat terpilih tak lantas tertutup begitu saja.
Apalagi belakangan, penanganan pandemi Covid-19 dan dampak turunannya membuat kepemimpinan sipil di Indonesia di bawah Presiden Jokowi acapkali dinilai sedang berada di titik terendah dalam hal kinerja dan rengkuhan kepercayaan publik.
Baca juga: Jokowi Goyah Tanpa Moeldoko
Robert D. McKinlay dan A.S. Cohan dalam publikasi berjudul Comparative Analysis of the Political and Economic Performance of Military and Civilian Regimes, meneliti dan membandingkan kinerja negara-negara yang dikelola oleh kepemimpinan dengan background militer dan negara-negara yang dikelola sipil dalam aspek politik, pertahanan, dan ekonomi. Hasilnya? Ternyata tak banyak perbedaan di antara keduanya.
Hal itu menunjukkan bahwa sosok berlatar belakang militer seperti Moeldoko, memiliki peluang yang cukup terbuka untuk dapat mengambil alih simpati atas sentimen dan preseden minor yang ditunjukkan oleh kepemimpinan sipil sejauh ini.
Tinggal memang terdapat sejumlah tantangan konkret jika memang Moeldoko nantinya akan diprospek atau mencalonkan diri sebagai Capres dalam pesta demokrasi 2024 mendatang.
Tantangan pertama, tentu adalah faktor elektabilitas. Sampai saat ini, dirinya tak tampak dalam radar persaingan menuju Pilpres 2024. Dari perwakilan berlatar belakang militer, Prabowo sendiri masih memimpin popularitas, dan Moeldoko bahkan dinilai masih tertinggal dibanding Gatot Nurmantyo yang sudah tak terlihat lagi manuvernya.
Kedua, terkait dengan partai politik (parpol) pengusung. Moeldoko yang meninggalkan Partai Hanura pada 2018 lalu, statusnya masih mengambang jika berbicara soal Pilpres 2024. Dan jika elektabilitasnya sendiri kurang memadai, parpol manapun agaknya akan berpikir beberapa kali untuk mengusung Moeldoko.
Ketiga, terkait dengan isu kekinian, impresi minor mungkin telah tersemat kepada Moeldoko sejak namanya mencuat dalam pusaran isu kudeta Partai Demokrat.
Bahkan belakangan, pendiri lembaga riset dan survei SMRC, Saiful Mujani menyarankan agar Moeldoko mundur dari jabatan Kepala Staf Kepresidenan akibat polemik itu. Pengakuannya bertemu dengan kader Demokrat dinilai mencederai marwah lembaga kepresidenan ataupun Presiden Jokowi sendiri.
Terakhir, kemudaratan yang dibawa kepemimpinan sipil juga masih berpeluang digantikan oleh opsi sipil lainnya. Apalagi dalam konteks bursa Capres 2024, nama-nama alternatif dari kalangan sipil juga masih mendominasi.
Serangkaian faktor itulah yang kemudian membuat peluang Moeldoko ketika berbicara mengenai diskursus Capres sesungguhnya masih menjadi pertanyaan tersendiri. Yang jika ditarik lebih jauh lagi, pada akhirnya mungkin konteks isu Moeldoko sebagai Capres bukanlah ihwal sesungguhnya yang mewarnai isu kudeta Partai Demokrat.
Bagaimanapun, bergulirnya dinamika politik tanah air tampaknya masih sangat dinamis ke depannya. Selain itu, intrik politik panas seperti yang belakangan terjadi juga bukan tidak mungkin masih akan terjadi dengan aktor yang berbeda, seiring dengan mengerucutnya strategi dan proyeksi kandidat serta koalisi politik jelang 2024. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Baca juga: Menguak Strategi Duo Luhut-Prabowo
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.