Site icon PinterPolitik.com

Moeldoko dan Misi Pemerintah ala Turki?

Moeldoko dan Misi Pemerintah ala Turki?

Jokowi dan Moeldoko (Foto: istimewa)

Munculnya sosok Moeldoko sebagai sosok Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang bisa membuka peluang munculnya kebijakan. Hal ini terjadi karena ada sosok pemerintah di partai nonpemerintah.


Pinterpolitik.com

Apakah mungkin Partai Demokrat akan dukung pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi)? Pertanyaan ini bisa saja muncul setelah dilantiknya Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebagai ketua umum pada Kongres Luar Biasa (KLB) beberapa waktu lalu.

Bukan tanpa alasan pertanyaan itu muncul. Sebagai orang Istana, Moeldoko tentu lebih dekat dengan lingkar kekuasaan Jokowi. Hal ini berbeda dengan posisi Demokrat selama ini yang memang bukan bagian dari partai pendukung pemerintah.

Sebenarnya, kepemimpinan Partai Demokrat sendiri statusnya masih tergolong abu-abu. Di atas kertas, pemerintah tampak masih mengakui Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai ketua umum partai tersebut. Banyak petinggi Demokrat sendiri yang menolak hasil KLB yang dihelat di Deli Serdang tersebut.

Baca juga: Menunggu Jokowi Satukan “Kumandra”

Munculnya nama Moeldoko sebagai ketua umum secara tiba-tiba kemudian membuat berbagai spekulasi bergulir bak bola panas. Salah satu yang mengemuka adalah soal kudeta kepada AHY di posisi teratas Demokrat.

Hal itulah yang kemudian yang membuat banyak pihak mengendus kemungkinan Demokrat akan bergabung dengan barisan partai pendukung Jokowi. Lalu, apa jadinya kalau Demokrat benar-benar dukung pemerintah?

Aktor Pemerintah di Partai Nonpemerintah

KLB mendadak yang terjadi di Deli Serdang beberapa waktu lalu mengagetkan publik dan tentu saja kader Partai Demokrat. Isu kudeta yang lama berhembus, ternyata akhirnya menampakkan wujud berupa terpilihnya Moeldoko sebagai ketua umum versi KLB Deli Serdang.

Bagi Demokrat, peristiwa ini jelas merupakan hal yang membingungkan. Sebab, ada orang yang bukan kader tulen partai tiba-tiba saja menjadi ketua umum dengan proses yang penuh kontroversi. Pantas saja kalau kemudian ada yang menggunakan istilah kudeta untuk menggambarkan kondisi tersebut.

Di luar itu, ada hal spesifik yang bisa disoroti dari kejadian tersebut. Hal tersebut adalah munculnya sosok petinggi di lingkar Istana yang tiba-tiba dikukuhkan sebagai ketua umum partai nonpemerintah.

Pemerintah sendiri sejauh ini tidak menganggap aneh langkah pejabat Istana mengambil alih kekuasaan partai nonpemerintah. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin misalnya merasa tidak ada yang harus ditindak dari kejadian itu.

Meski demikian, banyak orang dan pengamat merasa cukup khawatir dengan munculnya sosok Moeldoko sebagai pemimpin Demokrat versi KLB Deli Serdang. Banyak pihak merasa kondisi itu bisa menjadi ancaman bagi demokrasi.

Kekhawatiran ini bukannya tak memiliki dasar. Selama ini, Demokrat memilih jalan berbeda dengan banyak partai lain. Di saat banyak partai memilih merapat dan menjadi bagian dari kekuasaan, partai yang identik dengan warna biru itu justru berada di luar pemerintahan dan berusaha untuk tetap kritis.

Jika kemudian petinggi Istana menjadi ketua umum partai tersebut, ada kemungkinan Demokrat akan diubah haluannya. Partai yang semula bersuara keras bisa saja kemudian ikut teriak setuju pada semua kebijakan pemerintah.

Berdasarkan kondisi tersebut, pihak oposisi bisa semakin kehilangan taringnya. Jika hal itu benar-benar terjadi, praktis hanya PKS yang tak menyatakan diri mendukung pemerintah. Sebelumnya, partai seperti PAN sudah menyatakan mendukung Jokowi meski tak kebagian jatah menteri.

Menyentuh Oposisi

Jika melihat indikasinya, lingkar kekuasaan pemerintah saat ini terlihat kerap memiliki langkah khusus kepada oposisi. Apabila nanti Demokrat benar-benar dukung pemerintah, indikasi ini akan semakin kuat dirasakan publik.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, PAN sudah terlebih dahulu menyatakan diri mendukung pemerintah. Padahal, partai ini semula kerap kritis kepada pemerintahan Jokowi.

Perubahan sikap disinyalir terjadi setelah kubu yang lebih kritis kalah dalam pemilihan ketua umum beberapa waktu lalu. Akhirnya, PAN secara publik kerap memberikan dukungan kepada pemerintah meski secara formal tak punya jatah menteri atau wakil menteri sekalipun.

Berbagai langkah yang menyentuh oposisi ini boleh jadi mirip dengan langkah yang dilakukan oleh pemimpin Turki Recep Tayyip Erdogan. Meski punya sikap yang lebih ekstrem, Erdogan dan lingkar kekuasaannya kala itu tergolong cukup sering bersentuhan dengan oposisi.

Sikap Erdogan ini tergambar pada berbagai kebijakan yang diambil jelang perubahan konstitusi di Turki pada tahun 2017. Kala itu, memang banyak kekuatan oposisi yang melemah seiring dengan tindakan pemerintah pascaisu kudeta pada tahun 2016.

Berbagai kekuatan oposisi seperti pendukung Fethullah Gullen dan organisasi-organisasi Kurdi harus menelan pil pahit.

Baca juga: Jokowi di Antara Tumpukan Keraguan Biden?

Sikap-sikap kepada oposisi ini kemudian mulai mengarah kepada oposisi formal di parlemen jelang perubahan konstitusi. Ada banyak anggota partai oposisi yang harus berurusan dengan hukum pada periode tersebut.

Hal ini tergambar misalnya pada penangkapan 11 anggota parlemen Peoples’ Democratic party (HDP) dengan tuduhan terorisme. Hal ini kemudian membuat mereka tak bisa ikut serta dalam pengambilan suara untuk memutuskan perubahan konstitusi.

Kondisi serupa kemudian disinyalir terjadi pula pada oposisi lain yaitu Republican People’s Party (CHP). Kader partai tersebut menyebut adanya intimidasi kepada mereka karena bersikap keras pada proses voting.

Pada akhirnya, parlemen kemudian meloloskan rencana referendum konstitusi Turki setelah berbagai kontroversi. Sebuah langkah yang kemudian mengubah aturan sehingga Erdogan bisa maju kembali sebagai presiden Turki untuk periode ketiga.

Muluskan Ide Unik?

Jika Demokrat di bawah Moeldoko akhirnya benar-benar memilih untuk mendukung pemerintahan Jokowi, boleh jadi akan terjadi manipulasi oposisi di negeri ini. Terkait dengan manipulasi oposisi ini, ada temuan dari Ellen Lust-Okar dalam jurnalnya berjudulDivided They Rule: The Management and Manipulation of Political Opposition.

Ia menggambarkan bagaimana pemerintahan di Maroko mengatur oposisinya. Oposisi kala itu dikontrol aktivitas politiknya oleh Istana dan diminimalkan perannya. Sebagai gantinya, ada beragam subsidi yang diberikan oleh pihak penguasa kepada partai-partai ini.

Jika diperhatikan, kontrol atau manipulasi ini boleh jadi akan mirip saat Demokrat versi Moeldoko benar-benar mendukung pemerintahan Jokowi. Ada kontrol dan pembatasan langkah oposisi pada partai berlogo mercy tersebut.

Kontrol atau manipulasi ini bisa saja memuluskan beragam kebijakan yang dicanangkan partai-partai di lingkar pemerintah. Dalam kadar tertentu, perubahan konstitusi seperti yang terjadi di Turki bisa saja dilakukan seiring dengan minimnya penentang formal di dalam unsur legislatif.

Di Indonesia sendiri, isu terkait amendemen UUD 1945 sempat beberapa kali berhembus. Meski belakangan perkara ini tak jadi tajuk utama, publik bisa saja kembali teringat dengan perubahan konstitusi seiring dengan dinamika politik yang terjadi.

Tentu, jika amendemen yang dimaksud bertujuan baik seperti penguatan DPD, berbagai langkah ini mungkin tak akan jadi persoalan yang benar-benar besar. Namun, bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya?

Kekhawatiran ini cukup beralasan sebab sebelumnya, sempat muncul wacana untuk menghidupkan kembali GBHN lewat amendemen UUD 1945. Di luar itu, bagaimana jika muncul ide “unik” seperti perubahan masa jabatan presiden?

Ide unik ini bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal. Di Turki misalnya, sebagaimana disebut di atas, Erdogan memiliki peluang untuk melaju hingga tiga periode. Di Indonesia, ide unik ini sudah beberapa kali muncul dari mulut politisi.

Lalu, apakah berbagai drama terkait dengan Demokrat ini bisa berujung perubahan konstitusi? (H33)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version