Dalam kalkulasi politik, cukup aneh dan mengherankan melihat Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko berusaha merebut Partai Demokrat. Menimbang pada faktor elektabilitas yang rendah dan citra politiknya yang memburuk, apakah Moeldoko adalah dalang kudeta, atau justru hanyalah wayang?
“Perang adalah tipu muslihat” – Sun Tzu, dalam buku The Art of War
Di luar sana, mungkin banyak yang mengatakan politik itu dinamis, sangat cair, dan susah untuk ditebak. Singkatnya, semua dapat terjadi dalam politik. Namun, benarkah demikian?
Faktanya tidak. Sedinamis atau secair apa pun politik, nyatanya politik dapat dikalkulasikan asalkan kita memiliki variabel-variabelnya. Ketidaktahuan atas variabel-variabel itu yang membuat politik dipersepsikan sulit ditebak.
Michael D. Ward dan Nils Metternich dalam tulisannya Predicting the Future Is Easier Than It Looks menyebutkan, tidak hanya sekadar membuat kalkulasi, dengan adanya revolusi di bidang statistika, konfigurasi variabel-variabel politik telah memungkinkan kita untuk membuat prediksi masa depan.
Ward dan Metternich misalnya mencontohkan kalkulasi yang dilakukan oleh Quincy Wright dalam A Study of War. Di sana, Wright memetakan indikasi-indikasi yang tidak hanya dapat digunakan untuk mengetahui kemungkinan perang, melainkan juga tingkat ketegangan umum suatu negara.
Nah, postulat tersebut yang akan kita gunakan untuk mengalkulasi manuver Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang tengah berjuang merebut kepemimpinan Partai Demokrat dari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Di titik ini, mungkin kita sepakat bahwa Moeldoko tengah mengincar Pilpres 2024. Bau-bau syahwat kekuasaan ini sebenarnya telah tercium sejak 22 Mei 2015 ketika Moeldoko masih menjabat Panglima TNI. Saat itu, Moeldoko mendapat pertanyaan terkait apakah ia tidak berkeinginan untuk maju di 2019 untuk memimpin negeri?
Baca Juga: Benarkah Moeldoko Titisan Moertopo?
Menariknya, Moeldoko terlihat tidak membantah. Ia hanya menjawab diplomatis. “Itu pertanyaan sembrono namanya. Panglima TNI masih dinas sekarang. Jangan macam-macam,” jawabnya singkat.
Terkait peluang di 2024, ada analisis menarik dari pengamat politik Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago. “Jika pengambilalihan secara paksa Partai Demokrat adalah ambisi pribadi Moeldoko yang katanya ingin maju sebagai calon presiden 2024, tindakan ini adalah kebodohan dan bunuh diri,” begitu penegasan Pangi.
Pandangan Pangi sangat beralasan. Pasalnya, jika benar-benar berkeinginan untuk maju di 2024, Moeldoko tentunya tidak ingin merusak citra politiknya seperti yang terlihat saat ini.
Atas keanehan tersebut, seperti yang dicetuskan oleh Pangi, mungkinkah Moeldoko hanyalah pion, atau tumbal politik?
Hanyalah Wayang?
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Di Balik Puan-Moeldoko vs JK-AHY, telah disiratkan pertanyaan penting. Apakah kudeta Partai Demokrat adalah operasi intelijen atau proyek intelijen?
Jika itu hanya operasi intelijen, maka tujuannya sederhana, yakni merebut kepemimpinan AHY. Akan tetapi, jika itu adalah proyek intelijen, maka merebut Partai Demokrat hanyalah salah satu dari sekian banyak operasi intelijen yang telah dirumuskan dalam suatu proyek intelijen besar.
Tujuannya? Bisa untuk menyiapkan karpet merah bagi kandidat tertentu di 2024. Asumsi ini yang menjadi jantung pembahasan dalam artikel AHY Hanyalah Mangsa Pertama?. Namun, bisa juga tujuannya untuk mengondisikan wacana presiden tiga periode. Dugaan ini dikemukakan oleh Pangi pada 9 Maret kemarin.
Jika benar Moeldoko hanyalah pion, kita mudah memahaminya melalui teori puppet leader. Dennis R. Young dalam tulisannya Puppet Leadership: An Essay in honor of Gabor Hegyesi menjelaskan puppet leader sebagai metafora untuk menggambarkan pemimpin yang ditempatkan dan dikendalikan oleh pihak lain – tepatnya kekuatan lain.
Kendati puppet leader umumnya ditemukan di pemerintahan otoritarianisme, dalam pemerintahan demokratis, puppet leader dapat muncul dengan dua elemen fundamental.
Pertama, adanya penarik tali (string-pullers), yakni kelompok atau individu kuat yang ingin mengontrol tindakan dan keputusan pemimpin terkait tanpa dianggap melakukannya. Kedua, kandidat puppet leader bersedia untuk berkompromi di bawah kondisi tersebut jika nantinya terpilih.
Kenneth Rapoza dalam tulisannya No, Ukraine’s New President Zelenksiy Is Not Putin’s Puppet menyebut Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky kerap disebut sebagai puppet leader dari Presiden Rusia, Vladimir Putin – alat Kremlin.
Sementara Jonah Fisher dalam tulisannya Volodymyr Zelensky: Why Ukraine’s new president needs second election win menyebut Zelensky kerap diisukan sebagai boneka oligark Ukraina, Igor Kolomoisky.
Baca Juga: Operasi Intelijen di Balik Kudeta Demokrat
Nah, apakah Moeldoko adalah Zelensky versi Indonesia? Entahlah. Namun yang jelas, jika berkaca pada kalkulasi politik, seperti citra dan elektabilitas, sekiranya sulit membayangkan Moeldoko dapat sukses menjadi RI-1, kendatipun nantinya berhasil merebut Partai Demokrat.
Betapa tidak, dalam survei Parameter Politik Indonesia (PPI) yang dirilis pada 22 Februari, elektabilitas Moeldoko hanya 0,2 persen. Ini sangat jauh dari elektabilitas Prabowo Subianto yang mencapai 22,1 persen. Pun begitu masih tertinggal dari AHY yang memiliki elektabilitas 5,3 persen.
Meskipun kita mengenal istilah rebranding politik, dengan citra minor saat ini, sekiranya sulit mendongkrak elektabilitas Moeldoko untuk menyaingi nama-nama populer seperti Prabowo, Ganjar Pranowo, hingga Anies Baswedan. Konteks ini dapat kita lihat dari kasus Puan Maharani yang selalu gagal maju sebagai kandidat di gelaran pilpres karena elektabilitasnya yang rendah dan stagnan.
Dalang “Kecil”?
Dengan berbagai variabel yang ada, mungkin sudah ada yang menyimpulkan bahwa Moeldoko hanyalah pion, sebagaimana disebutkan oleh Pangi. Akan tetapi, bagaimana apabila Moeldoko memang benar-benar memiliki ambisi pribadi yang besar untuk merebut Partai Demokrat dan maju di Pilpres 2024?
John McBeth dalam tulisannya Military Ambitions Shake Indonesia’s Politics, misalnya, menyebutkan Moeldoko telah memperlihatkan syahwat kekuasan sejak sebelum pensiun sebagai tentara pada Juli 2015.
Lalu ada pula gestur Moeldoko yang menunjukkan diri tengah menerapkan “politik Jawa”. Ihwal tersebut telah dibahas dalam artikel AHY Hanyalah Mangsa Pertama? di bab “Politik Jawa Moeldoko?”.
Nah, kemungkinan itu dapat kita refleksikan melalui tulisan Robert J. Sternberg dalam tulisannya Why Smart People Can Be So Foolish. Menurut Sternberg, mereka yang cerdas dapat saja bertindak kurang tepat karena melakukan satu atau lebih dari lima kesalahan kognitif berikut.
Pertama, optimisme yang tidak realistis. Kepercayaan bahwa dirinya begitu pintar sehingga merasa dapat melakukan apa pun yang diinginkan dan tidak mengkhawatirkannya.
Kedua, egosentrisme. Fokus pada dirinya sendiri dan apa yang menguntungkan baginya, sehingga mengabaikan atau bahkan sama sekali menghiraukan tanggung jawab kepada orang lain.
Ketiga, omniscience (maha mengetahui). Percaya bahwa dirinya mengetahui segalanya, sehingga lupa mencari apa yang tidak diketahui.
Keempat, omnipotence (maha berkuasa). Percaya bahwa dirinya dapat melakukan apapun yang diinginkan karena merasa sangat berkuasa.
Kelima, invulnerability (kekebalan). Percaya bahwa dirinya akan lolos dari apa pun yang dilakukannya, tidak peduli betapa tidak pantas atau tidak bertanggung jawabnya hal tersebut.
Baca Juga: SBY Justru Manfaatkan Kudeta Demokrat?
Kita tentu sepakat Moeldoko adalah sosok cerdas sehingga mampu menjadi Panglima TNI dan sekarang disebut-sebut sebagai bagian dari Ring-1 Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kecerdasan ini sudah terlihat ketika Moeldoko meraih penghargaan Bintang Adhi Makayasa karena menjadi lulusan terbaik Akabri tahun 1981.
Blunder politik yang terlihat saat ini, kemungkinan besar karena Moeldoko telah melakukan kesalahan yang disebutkan oleh Sternberg. Yang mana kesalahan tersebut? Sekiranya kita dapat menginterpretasinya sembari meminum secangkir kopi.
Terbukanya Kotak Pandora?
Selain persoalan syahwat kekuasaan pribadi, “keberanian” Moeldoko yang mencoba merebut Partai Demokrat sebenarnya dapat pula dipahami sebagai ekses dari kebijakan Presiden Jokowi.
Pada 6 Oktober 2017, pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, pernah menyebutkan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak membuka kotak Pandora, yakni pelibatan militer dalam operasi militer selain perang, khususnya pelibatan TNI dalam politik praktis.
Terkait pernyataan Fahmi dan dugaan bahwa Presiden Jokowi memperluas pengaruhnya dengan cara merangkul TNI telah banyak dibahas oleh akademisi.
Evan A. Laksmana dalam tulisannya Civil-Military Relations under Jokowi: Between Military Corporate Interests and Presidential Handholding, misalnya, menyebut militer telah berperan penting dalam menjalankan agenda politik Presiden Jokowi pada periode pertama kepemimpinannya.
Menurut Evan, karena Presiden Jokowi tidak memiliki modal politik yang cukup untuk menjaga koalisi, serta tidak memiliki pengalaman untuk mengelola hubungan dengan militer, mantan Wali Kota Solo tersebut telah memainkan strategi dengan mengandalkan sosok berlatar belakang militer seperti Luhut Binsar Pandjaitan, A.M. Hendropriyono, Ryamizard Ryacudu, Wiranto, Agum Gumelar, dan tentunya Moeldoko.
Dalam rangka menyikapi kasus penurunan baliho Front Pembela Islam (FPI) yang melibatkan TNI, Fahmi kembali memberi penegasan penting. “Tentara kita ini lahir dari revolusi kemerdekaan. Militer yang lahir dari revolusi kemerdekaan, DNA-nya itu DNA politik,” begitu tegasnya.
Baca Juga: Jokowi dan Militerisasi Penanganan Corona
Terlebih lagi, dengan adanya dwifungsi ABRI yang terjadi selama puluhan tahun di bawah kepemimpinan Soeharto, sekiranya sulit membayangkan aktor-aktor militer lama, seperti Moeldoko tidak merasakan gairah untuk terjun ke dalam politik praktik.
Nah, jika benar upaya kudeta Moeldoko adalah ekses dari kebijakan Presiden Jokowi yang memberi ruang kepada militer, maka mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut perlu merefleksikan nasihat ahli perang dan strategi dari Tiongkok, Sun Tzu.
Mengutip Andri Wang dalam bukunya The Art of War: Menelusuri Strategi dan Taktik Perang ala Sun Zi, dalam bab “Operasi Pasukan”, Sun Tzu menulis, “Bila memberi makan kuda dari pangan pasukan dan makan daging dari memotong hewan, serta mengumpulkan alat dapur dan tidak mau kembali ke markasnya, ini berarti ada tanda-tanda para pasukan sedang mempersiapkan diri untuk melarikan diri (desersi).”
Maksudnya, jika bawahan sedang mempersiapkan perbekalan atau modal politik, maka dapat disimpulkan mereka sedang mempersiapkan kendaraan politiknya sendiri.
Konteks ini besar kemungkinan tengah dilakukan oleh Moeldoko. Bayangkan saja, Moeldoko sekarang berseteru dengan SBY, sosok yang mengangkatnya sebagai Panglima TNI.
Well, pada akhirnya tulisan ini hanyalah interpretasi teoritis semata. apakah Moeldoko adalah wayang atau dalang, itu kembali pada interpretasi kita masing-masing. Namun yang jelas, kita perlu memberi perhatian lebih terhadap potensi menguatnya pengaruh militer di politik praktis. (R53)