“Karena kemarin kita selalu diserang, bahkan ada kampanye PKI segala, ya mau tidak mau kita lebih ofensif sekarang,” – Erick Thohir
Pinterpolitik.com
[dropcap]T[/dropcap]im nasional sepak bola Belanda pernah jaya dengan gaya permainan menyerang mereka. Total football, merupakan gaya sepak bola menyerang tim oranye tersebut di bawah racikan pelatih Rinus Michels dan Johan Cruyff sebagai bintangnya di lapangan. Banyak orang yang kagum dengan mode menyerang ala Belanda tersebut.
Tampaknya gaya menyerang tersebut tidak hanya akan berlaku di ranah sepak bola saja. Pada Pilpres 2019, tim sukses Joko Widodo dan Ma’ruf Amin mengutarakan niat mereka untuk tidak lagi bertahan dan mulai keluar menyerang.
Niatan tersebut diungkapkan langsung oleh Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Erick Thohir. Ia terlihat tidak lagi ingin berdiam diri atas berbagai serangan bertubi-tubi yang dialamatkan pada kandidat yang ia usung.
Strategi menyerang seperti ini meski lazim, tetapi tergolong jarang dideklarasikan secara terang-terangan. Lalu, seefektif apa mode menyerang ala TKN Jokowi ini? Lalu, apa strategi yang akan mereka jalankan untuk mendukung mode menyerang ini?
Masuk Mode Menyerang
Serangan terhadap Jokowi memang terjadi bertubi-tubi. Beragam isu, mulai dari kebijakan hingga urusan pribadinya, kerap menjadi sasaran tembak bagi pihak-pihak yang berseberangan dengannya. Serangan seperti itu sebenarnya sudah menimpanya sejak Pilpres 2014 lalu.
Tampaknya diserang dari berbagai lini membuat Jokowi dan pendukungnya tak bisa lagi tinggal diam. Oleh karena itu, Erick sebagai ketua tim sukses secara terang-terangan menyebut sekarang saatnya bagi mereka untuk lebih ofensif.
Strategi menyerang ini dimaksudkan untuk menekan semua tudingan miring yang dialamatkan kepada Jokowi. TKN Jokowi enggan jika berbagai kebohongan yang menimpa kandidat yang mereka usung menjadi keyakinan publik karena dibiarkan tanpa perlawanan.
TKN Jokowi menyebut bahwa kampanye menyerang yang dimaksud bukanlah strategi menghancurkan lawan. Mereka menyebut bahwa mode menyerang yang akan mereka jalankan adalah dengan menggunakan data dan informasi yang menggambarkan keunggulan Jokowi.
Selain itu, Erick menyebut bahwa data dan fakta akan digunakan untuk menyerang pertahanan lawan. Ia menyebut bahwa pihaknya tidak akan menghalalkan segala cara tanpa mengacu pada data dan fakta tersebut.
Tim pemenangan Jokowi ini menyebut bahwa mereka akan menggunakan narasi tersendiri saat menjalankan strategi tersebut. Mereka mengakui bahwa selama ini mereka terpaku pada mengklarifikasi dan menjawab tudingan yang dialamatkan oleh penantang.
Sejauh ini, Jokowi sendiri memang sudah mulai terlihat gerah dengan berbagai serangan yang ditujukan padanya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa mode menyerang yang diserukan Erick seiring dan sejalan dengan langkah yang belakangan tengah dilakukan oleh Jokowi.
Kandidat petahana itu misalnya belakangan tengah terkenal dengan istilah “politik sontoloyo” dan “politik genderuwo” untuk menyerang balik para penyerangnya. Tak hanya itu, ia juga akhir-akhir ini tampak aktif menjawab tudingan miring yang diarahkan padanya.
Strategi Efektif
Kampanye menyerang atau kerap disebut sebagai attack ad merupakan hal yang lazim dalam dunia politik. Banyak politisi di seluruh dunia yang menggunakan strategi semacam ini untuk mendorong keterpilihan mereka jelang suatu pemilihan.
Di atas kertas, sebenarnya banyak orang yang merasa tidak nyaman dengan jenis kampanye semacam ini. Berbagai studi menunjukkan bahwa kampanye menyerang atau ofensif dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas atau bahkan dianggap melanggar nilai dan etika yang ada di masyarakat.
Erik Tohir bilang akan lebih ofensif dalam kampanye. Tapi kalau cuma sebar opini dan main-main di media sosial itu namanya bukan menyerang. Tapi cuma sibuk lomba pemandu sorak…https://t.co/KtTuxet2CM
— Eko Kuntadhi (@eko_kuntadhi) December 16, 2018
Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa para politisi menjauhkan diri dari kampanye semacam itu. Umumnya, mereka merasa kampanye seperti ini tergolong efektif. Pandangan seperti itu disepakati oleh beberapa pengamat melalui observasi dan studi mereka tentang attack ad atau kampanye menyerang.
Pandangan seperti itu dikemukakan misalnya oleh Joan Phillips, seorang profesor di bidang marketing. Ia menyebut bahwa kampanye menyerang atau attack ad masih terus dilakukan karena kampanye seperti itu memang bekerja dengan baik.
Phillips menyebut bahwa kampanye menyerang tergolong efektif karena masyarakat cenderung memberi perhatian pada informasi negatif. Kampanye seperti itu cenderung lebih menonjol, mampu menakuti masyarakat, dan memiliki kecenderungan lebih besar untuk diingat.
Selain itu, menurut Steven E. Finkel dan John G. Geer, kampanye seperti ini dapat merangsang pemilih pada titik di mana mereka benar-benar peduli dengan hasil Pemilu atau dengan meningkatkan dukungan pada kandidat yang sesuai dengan partai mereka.
Secara khusus, dalam artikel yang ditulis Sam Delaney di laman The Guardian, dalam sebuah kampanye, serangan adalah bentuk terbaik dari pertahanan. Ia menyebutnya sebagai aturan emas dalam kampanye politik.
Delaney menggambarkan aturan emas dalam kampanye itu melalui kasus kampanye Partai Konservatif di Inggris, berhadapan dengan Partai Buruh. Ia menggambarkan bahwa Partai Konservatif menjadi partai pemenang karena memainkan strategi untuk menyerang duluan, menyerang dengan keras, dan terus menyerang.
Berbagai pandangan tersebut menunjukkan bahwa kampanye menyerang memang memiliki efektivitas dalam ranah politik. Oleh karena itu, wajar jika panglima kampanye Jokowi, Erick Thohir tergoda untuk masuk dalam mode menyerang.
Siap Menyerang?
Berdasarkan kondisi tersebut, mode menyerang yang diserukan oleh Erick Thohir bisa saja memberikan keuntungan tersendiri bagi Jokowi. Apalagi, selama ini ia tergolong lebih banyak diam ketimbang bergerak secara lebih agresif.
Meski demikian, penyebutan kata “ofensif” atau “menyerang” dari kubu Jokowi ini bukannya tanpa risiko. Memang, dalam banyak kasus, kampanye seperti ini efektif untuk memberikan kemenangan atau setidaknya mampu membentuk kesadaran masyarakat. Akan tetapi, seperti sudah disebutkan sebelumnya, kampanye semacam ini dapat membuat pendengarnya merasa tidak nyaman.
Secara khusus, Jokowi sendiri terlanjur dikenal sebagai sosok yang santun, alih-alih agresif menyerang pihak lain. Pada titik ini, masyarakat bisa saja merasa terkejut atas perubahan strategi mantan Wali Kota Solo tersebut. Hal ini tergambar misalnya tatkala sang petahana melontarkan pernyataan tentang “politisi sontoloyo” dan “politisi genderuwo”. Jokowi dianggap terlampau ofensif dan jauh dari citranya selama ini yang penuh ketenangan.
Erick Thohir: Sudah Waktunya Kami Ofensif.
Saya jg sdh tak sabar lihat mereka yg sebar isu tdk jelas utk menjatuhkan pemerintah. Jgn biarkan politik kotor merajalela.
Bravo pak @erickthohir #01JokowiLagi #01SalamSatuJempol https://t.co/3hWgVWqmrE pic.twitter.com/JqbZfhOuiP— Rizma Widiono (@RizmaWidiono) December 14, 2018
Pada titik ini, kampanye menyerang yang dilakukan Jokowi idealnya bukanlah semata-mata dalam bentuk attack ad. Kampanye bertipe contrast ad boleh jadi cara yang lebih pas untuk kubu Jokowi, alih-alih agresif menyerang kubu lawan.
Jika disarikan secara umum, contrast ad merupakan jenis kampanye menyerang yang berbasis pada perbandingan. Pada kampanye seperti ini, sisi positif pelaku kampanye akan disorot, sementara lawan akan diperlihatkan kelemahannya. Melalui kampanye menyerang seperti ini, suatu kandidat akan terlihat kontras dibandingkan kandidat lawannya.
Mode menyerang ala Erick Thohir lazim digunakan dan dianggap efektif. Share on XDalam kadar tertentu, kampanye seperti ini bisa saja lebih diterima oleh masyarakat, alih-alih melakukan serangan secara langsung kepada lawan. Menurut Kim Leslie Fridkin dan Patrick J. Kenney, dikarenakan contrast ad masih mengandung pesan positif, maka kampanye seperti ini umumnya dianggap lebih tidak merusak jika dibandingkan attack ad atau kampanye menyerang biasa.
Pada titik ini, mode menyerang yang digaungkan oleh Erick memang wajar dilakukan dan diakui efektif oleh banyak pihak. Akan tetapi, dengan penerimaan publik yang belum sepenuhnya memandang baik kampanye menyerang, kampanye contrast ad tampaknya akan menjadi strategi yang lebih ideal bagi Jokowi dalam memulai serangan. Pada akhirnya, penting untuk ditunggu, apakah mode menyerang ini akan berhasil atau justru berbuah petaka? (H33)