Internet mampu mempermudah semua, bahkan kegiatan yang berkaitan dengan pemerintahan. Sayangnya, akses internet masih belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Apakah impian masyarakat digital di Indonesia hanya sebuah utopia?
PinterPolitik.com
Harapan adalah mimpi dari seorang yang terjaga. ~ Aristoteles
[dropcap size=big]T[/dropcap]ransportasi dan toko online (daring), mungkin sudah bukan hal yang baru bagi masyarakat perkotaan. Keberadaannya, terbukti sangat membantu warga yang sebagian besar sibuk dan memiliki waktu senggang terbatas. Bahkan menurut penelitian yang dikeluarkan AC Nielsen, pulsa menjadi kebutuhan pokok (top mind) tertinggi masyarakat, mengalahkan kebutuhan makan dan rokok.
Kemajuan teknologi digital yang merebak dihampir segala bidang, perlu diakui sangat membantu dan mempermudah tugas maupun kegiatan. Kemampuannya menembus ruang dan waktu, tak hanya mampu memecahkan persoalan komunikasi, tapi juga urusan administratif lainnya. Dari urusan sepele seperti pemesanan makanan, hingga masalah negara seperti pajak dan imigrasi.
Negara yang saat ini telah berhasil memanfaatkan ekonomi digital untuk memakmurkan rakyatnya, adalah Tiongkok. Negara yang hampir 30 tahun menutup diri ini, memanfaatkan internet nyaris diberbagai urusan. Bahkan untuk berbelanja, warga Tiongkok sudah tidak lagi repot-repot menggunakan uang tunai, tapi cukup dengan menggunakan e-pay.
Di Indonesia sendiri, khususnya Jakarta, penggunaan e-pay juga sudah mulai marak. Mulai dari pemakaian e-money untuk transportasi, hingga maraknya e-commerce serta transportasi daring. “Dengan e-commerce dan e-pay, bangsa Indonesia akan mengalami kemajuan sangat besar. Mari memikirkan dan ikut serta dalam digitalisasi bangsa Indonesia,” ajak pendiri Lippo Group, Mochtar Riady, seperti dikutip dalam Suara Pembaruan, Rabu (29/3).
Bankir yang terkenal dengan pemikirannya yang visioner ini, percaya kalau ekonomi digital mampu mengangkat kesejahteraan seluruh warga. “Kalau kita masuk ke e-commerce dan e-payment, saya yakin Indonesia akan mengalami kemajuan besar,” katanya. Ia mengingatkan, Indonesia tidak bisa lolos dari kejaran ekonomi digital. Sehingga bila tidak sensitif terhadap perubahan teknologi, akan kalah bersaing.
Kota Digital Internasional
Persaingan atau kompetisi di dunia digital memang masih menjadi tantangan bagi Indonesia. Jangankan di dunia, dengan sesama negara ASEAN pun, Indonesia masih kalah jauh dengan Thailand dan Singapura. Dari kecepatan layanan internetnya saja, Indonesia hanya menempati posisi dua terendah setelah Filipina, dengan kecepatan laju sekitar 4,5 Mbps saja.
Fakta ini sebenarnya agak miris, karena sebenarnya penggunaan internet di Indonesia sangat banyak, jumlahnya sekitar 78 juta jiwa, yaitu lebih banyak dari pada pendudukan Kanada. Tak heran bila dari kategori pengguna internet, Indonesia menduduki posisi ke empat di dunia, setelah Tiongkok, India, dan Jepang.
Dalam Laporan Teknologi Informasi Dunia tahun 2016, memperlihatkan bahwa negara-negara yang mendapatkan gelar “negara digital” adalah yang mampu memanfaatkan teknologi informasi. Baik diterapkan pada perekonomian, politik, regulasi, dan infrastruktur. Kesiapan pebisnis, pemerintah, dan masyarakat terhadap perkembangan teknologi juga menjadi faktor penentu dalam mengembangkan ekonomi digital.
Di laporan tersebut, Singapura ditempatkan sebagai negara paling maju dalam pemanfaatan internet selama dua tahun berturut-turut. Mengalahkan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Disebutkan pula bahwa pemerintah Singapura memiliki agenda khusus dalam mempromosikan perekonomian digital.
Salah satu yang menempatkan Singapura sebagai Negara Digital, adalah pencanangan inisiatif Smart Nation dengan menerapkan serangkaian usaha penggunaan teknologi dalam meningkatkan taraf hidup rakyat dan usaha berbasis kreatif. Global Information Technology Report ini sendiri dilakukan oleh Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) yang menganalisa 139 negara pengguna Teknologi Informasi Komunikasi (TIK).
Hasil yang sama juga dilaporkan hasil penelitian dari Akamai, perusahaan content network asal Amerika Serikat. Menurutnya, saat internet dunia mengalami penurunan kecepatan, namun di Singapura malah mengalami kenaikan sebesar 7,1% yaitu rata-rata maksimalnya 146,9. Sedangkan kecepatan koneksi internet rata-rata, masih dipegang Korea Selatan dengan 27 Mbps, dan Singapura di posisi 8 dengan 17,2 Mbps. Namun apa yang membuat internet Indonesia lemot?
Terkendala Infrastuktur
“Di Indonesia, salah satu masalah paling besar adalah efisiensi,” kata Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, saat berkunjung di tahun 2014 lalu. Menurutnya, arus data seluler di Indonesia terus mencatat pertumbuhan, tetapi tak semua pelanggan menikmati akses internet berkecepatan tinggi. Salah satu strategi yang diusulkannya, adalah penyedia konten daring harus bisa menekan penggunaan data seluler untuk semaksimal mungkin memanfaatkan bandwidth yang tersedia untuk mobile.
Menurutnya, koneksi internet sangat penting, bukan hanya untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia, melainkan juga bagi iklim budaya dan inovasi di seluruh dunia. Efisiensi bandwidth sebenarnya juga hanya salah satu faktor penyebab lambatnya akses internet di Indonesia. Pemerataan infrastruktur, regulasi, dan dukungan pemerintah juga disebut sebagai biang keladi permasalahan ini.
Hal ini dibenarkan oleh Kepala Sub Direktorat Penataan Frekuensi Dinas Tetap dan Berderak Darat, Denny Setiawan. Lulusan Teknik Elektro Universitas Indonesia ini mengatakan, lambatnya akses internet sangat berhubungan dengan infrastruktur dasar internet yang terbagi dalam tiga tulang punggung (backbone), yaitu jaringan international, jaringan domestik, dan jaringan lokal.
“Leletnya internet di Indonesia terjadi karena ketiga infrastruktur itu memang belum optimal,” terang Denny yang juga menjabat sebagai Ditjen SDPPI Kementerian Kominfo ini. Belum meratanya infrastruktur yang mendukung penerapan teknologi di seluruh Indonesia, juga diperparah dengan ketidaksiapan sumber daya manusia dalam mendukung penerapan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK).
Kenyataan ini tentu sungguh disayangkan, karena perkembangan internet yang begitu pesat ini sebenarnya dapat dimanfaatkan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan pemerataan pembangunan. “Penerapan TIK di Indonesia masih dalam tahap awal dan masih belum termanfaatkan secara maksimal,” kata Ketua Tim Pelaksana Dewan TIK Nasional (Wantiknas), Dr. Ing. Ilham Akbar Habibie, MBA.
Ketua Perhimpunan Alumni Jerman tersebut mengungkapkan, sebenarnya Indonesia juga sudah memiliki program pemberdayaan internet hingga ke pelosok wilayah, yaitu Indonesia Broadband Plan. Program ini rencananya akan mengembangkan penggunaan internet untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat atau yang disebut sebagai Meaningful Broadband Initiative.
Jaringan Palapa Ring
Pelaksanaan Indonesia Broadbrand Plan, tentu tidak akan bisa berjalan tanpa dukungan infrastruktur telekomunikasi yang mendukung. Namun menurut Ilham, Indonesia saat ini sebenarnya sudah punya infrastruktur internet yang memadai, yaitu jaringan fiber optik (pita lebar) yang disebut dengan Palapa Ring. “Hanya saja, fasilitas tersebut tak banyak digunakan karena harganya yang mahal,” ungkapnya.
Palapa Ring merupakan proyek infrastruktur telekomunikasi berupa pembangunan serat optik di seluruh Indonesia, panjangnya mencapai 36.000 kilometer. Proyek ini terdiri atas tujuh lingkar kecil serat optik (untuk wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi, dan Maluku) serta satu backhaul (pengalur jaringan utama) untuk menghubungkan semuanya.
Melalui jaringan serat optik nasional ini, diharapkan fasilitas internet dapat menjangkau 34 provinsi, 440 kota/kabupaten di seluruh Indonesia, dengan total panjang kabel laut mencapai 35.280 kilometer, dan kabel di daratan sejauh 21.807 kilometer. Pembangunan Palapa Ring ini, akan menjadi infrastruktur jaringan tulang punggung bagi telekomunikasi nasional.
Cikal bakal dari Palapa Ring sendiri adalah ‘Nusantara 21’ yang merupakan proyek awal pemerintah pada 1998. Namun, krisis ekonomi yang melanda Indonesia membuat proyek tersebut tidak berjalan. Januari 2005, pada ajang Infrastructure Summit I, wacana pembangunan infrastruktur telekomunikasi kembali mencuat ke permukaan. Dalam pembangunannya, pemerintah membagi menjadi tiga paket, yakni paket Barat, Tengah serta Timur.
Saat ini pembangunan Palapa Barat dan Tengah, telah selesai walaupun belum sepenuhnya dipergunakan. Sedangkan Palapa Timur, pengerjaannya baru akan dimulai tahun ini. “Pembiayaan proyek Palapa Ring Paket Timur telah terpenuhi, sehingga pemasangan kabel optik di wilayah Timur Indonesia sudah bisa dimulai,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, di Istana Negara, Rabu (29/3).
Proyek Palapa Ring ini akan mengintegrasikan jaringan yang sudah ada (existing network) dengan jaringan baru (new network) pada wilayah timur Indonesia (Palapa Ring-Timur). Palapa Ring-Timur akan dibangun sejauh 4.450 KM yang terdiri dari sub marine cable sejauh 3.850 km dan land cable sepanjang 600 KM dengan landing point sejumlah lima belas titik pada 21 kota/kabupaten.
Program Meaningful Broadband
Pembangunan Palapa Ring Timur, menurut Rudiantara, diperkirakan akan selesai tahun 2018 mendatang. Bila jaringan ini sudah terpasang secara merata, ia yakin kehadirannya akan mampu memberikan peluang bisnis baru bagi industri Usaha Kecil Menengah (UKM) di pelosok daerah, serta dapat juga meningkatkan taraf hidup masyarakat lewat kegiatan ekonomi digital.
Saat ini, Menkominfo juga sedang giat-giatnya melakukan kampanye untuk pertumbuhan e-commerce dan startup lokal. Oleh karena itu, adanya aliran internet berkecepatan tinggi di seluruh Indonesia, juga menjadi cita-cita pemerintah. Apalagi Presiden Jokowi juga memiliki target untuk menciptakan 1000 startup di Indonesia. “Dengan adanya infrastruktur pendukung ini, diharapkan target itu akan segera terealisasi,” harapnya.
Menyambung harapan Menkominfo, Ilham juga berharap program Meaningful Broadband dapat segera menjangkau pelosok Indonesia. Menurutnya, saat ini sudah ada tujuh kota dan kabupaten yang dijadikan sebagai pilot project atau proyek percontohan pengembangan internet di Indonesia. “Kota tersebut, adalah Banda Aceh, Parepare, Kabupaten Sragen, Singkawang, Ambon, Mataram, dan Bandung,” tegasnya.
Program ini sendiri merupakan model reformasi sosial ekonomi dan lingkungan, penyusunannya berdasarkan riset yang dilakukan Meaningful Broadband Working Group (MBWG). Yaitu institusi yang berdiri di tahun 2013, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa dan berada di bawah Wantiknas.
Risetnya sendiri dilakukan hampir dua tahun oleh Prof Craig Warren Smith, Ketua Digital Divide Institute, yaitu organisasi dunia untuk menutup kesenjangan digital. Selain itu, riset ini juga didukung oleh World Bank dan komunitas Teknopreneur lokal, selain kampus-kampus seperti ITB dan UI.
Program ini akan melakukan kampanye besar-besaran mengenai aplikasi komputer melalui sinergi campuran lokal dan internasional, dengan sasaran utamanya adalah pada lembaga-lembaga pendidikan. “Fokus baru kementerian pendidikan tentang pembelajaran interaktif dapat lebih cepat dicapai dengan bantuan broadband,” kata Prof Smith, pemimpin riset dan penggagas konsep Meaningful Broadband.
Aspek lain dari rencana Meaningful Broadband adalah pengembangan broadband dengan strategi antisipasi perubahan iklim, yang mengandalkan elektrifikasi “pintar” dan “hijau”. “Kami berharap broadband tidak hanya terbatas pada lokasi dengan listrik yang cukup, namun juga menjangkau seluruh lapisan masyarakat,” kata Wim Tangkilisan, mantan Staf Khusus Presiden Yudhoyono, yang juga termasuk jajaran pimpinan MBWG.
“Kemajuan tidaklah mungkin tanpa perubahan, dan mereka yang tidak bisa mengubah pikiran mereka, tidak bisa mengubah apa pun,” kata George Bernard Shaw, penulis dan peraih Hadiah Nobel (1925). Masuknya jaringan internet ke pelosok Indonesia, akan memberi perubahan mendasar di masyarakat. Melalui internet, jendela dunia ikut terbuka. Sehingga impian Indonesia menjadi masyarakat dengan perekonomian digital yang diimpikan Mochtar Riady pun bukan hanya utopia belaka. (Berbagai sumber/R24)